32. Dalam Bayang

463 62 11
                                    

Ku Lupakan Kamu dengan Bismillah

.
.
.

Selamat Membaca 🥰

***

Kayu bakar untuk merebus air habis, Rahmat segera mencari kayu tersebut ke hutan. Seharusnya itu bukan tugasnya, melainkan tugas bersama. Namun lelaki itu menolak, dia menginginkan melakukan hal itu sendiri.

Ada banyak kayu yang dia dapatkan, dia berhasil memasukkan ke dalam karung. Memenuhkan karung itu dengan waktu yang cepat.

"Abang ... kenapa kita butuh kayu bakar? Apa ga ada gas? Tradisional banget!"

Rahmat tersenyum kala bayangan itu datang,  yang waktu itu tidak dia jawab setiap kali Winda bertanya.

"Untuk memanfaatkan apa yang ada Winda."

Dan dia berkata sendiri, menjawab pertanyaan atas bayang-bayang Winda.

"Abang ... tahu kapan ulang tahun aku? Pasti tau dong, kan ada di google!"

Lagi-lagi Rahmat tersenyum.

"Dua puluh tujuh April, Winda. Tanpa di google saya tahu, saya mencari tahu tanggal lahir kamu dari dulu. Bahkan sebelum kamu jadi artis."

"Abang ... coba tebak, kenapa aku suka warna ungu?"

"Karena kamu menyukainya, Winda. Tidak ada alasan 'kan? Sama seperti jatuh cinta pada saya." Dan Rahmat tertawa karena berbicara dengan percaya diri.

"Abang tanggal sepuluh Agustus masih lama. Padahal pengen banget ngucapin Selamat ulang tahun buat Abang!"

"Kamu malah pergi sebelum harinya Winda."

Dia terus menjawab setiap bayang yang menghantui dalam pikirannya.

"Abang kalau ga sempat ketemu aku ucapin nih selamatnya. Selamat ulang tahun Abang! Semoga semua keinginan Abang terwujud, semua cita-cita Abang tercapai. Kalau Abang bingung mau jadi apa, jadi imam yang mendampingi aku seumur hidup aja boleh?"

Winda terkekeh setelah mengatakannya. "Yap, Asyifa Winda adalah orang pertama yang mengucap selamat tahun ini!"

Rahmat tersenyum. "Terima kasih, Winda."

***

"Ini apa, Bu? Ayah?" Rahmat begitu terkejut ketika mendapat sebuah tiket pesawat yang diberikan oleh kedua orang tuanya.

"Tiket liburan." Dhuha berkata dengan tulus. "Kamu butuh healing untuk hampa hati yang mendera dirimu. Ayah dan ibu sengaja membeli tiket ini supaya kamu bisa healing."

"Kenapa harus?" Rahmat tidak mengerti dengan maksud orang tuanya.

"Rahmat ... kamu itu putra ibu, ibu tahu kamu tidak baik-baik saja. Pergilah untuk menenangkan pikiran, pergilah untuk menghirup udara lebih segar. Ibu yakin, sepulang dari sana kamu akan lebih baik dari pada ini." Layla menjelaskan.

"Apa berarti udara disini ga segar?" tanya Rahmat.

"Sebenarnya segar, tapi jadi polusi karena kegalauan kamu. Pergilah, ini perintah." Layla menegaskan karena anaknya itu sangat keras kepala.

"Kenapa harus Bali?" tanya Rahmat. "Ibu tahu ... sepulang dari pulau itu Winda ---"

Dhuha segera menyela. "Maaf, ayah lupa. Kalau kamu ga mau, biarlah kami yang pergi."

Rahmat menggelengkan kepalanya. "Baiklah." Dia tak ingin membuat orang tuanya kecewa. "Aku akan pergi, mubazir tiketnya sudah dipesan. Tapi ayah ... ibu ... tolong doakan Rahmat sepulang dari sana bisa mengikhlaskan Winda."

Ku Lupakan Kamu dengan BismillahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang