Selir

136 20 0
                                    

"Sebelumnya saya mohon maaf yang mulia, usia pernikahan yang mulia sudah memasuki usia yang ke tiga tahun, namun sampai saat ini yang mulia Ratu Andira belum kunjung mendapat keturunan. Kerajaan Ambarawa ini harus segera mempunyai seorang pewaris yang mulia. Saya rasa usaha yang mulia selama ini tidak ada yang berhasil, sebaiknya yang mulia harus memiliki selir untuk bisa mendapatkan keturunan. Kerajaan Ambarawa ini harus punya penerus yang nantinya akan menjaga tahta Kerajaan Ambarawa kedepannya yang mulia. Dengan memiliki selir, yang mulia pasti akan mendapatkan keturunan dan kerajaan ini akan segera memiliki pewarisnya. Maafkan saya jika ucapan saya tidak sopan, tetapi memang inilah jalan satu-satunya yang mulia."

"Berani-beraninya kau berbicara seperti itu perdana menteri, dan berani-beraninya kau menyuruhku untuk memiliki selir? Memiliki selir? Dalam pikiranku saja tidak pernah ada pemikiran seperti itu, dan sampai kapan pun bisa aku pastikan bahwa aku tidak akan pernah melakukan hal itu. Kerajaan ini memang membutuhkan penerus kedepannya, tapi untuk saat ini benteng kerajaan ini masih kokoh dan bisa ku pastikan tidak akan ada kerajaan lain yang akan berani untuk menyerangnya, bahkan untuk menginjakkan kaki di kerajaan ini itu tidak akan pernah terjadi. Jangankan menginjakkan kaki, mendengar namaku dan nama adikku saja kaki mereka bisa saja gemetar. Jika kau berbicara seperti itu lagi, berarti kau meragukan kemampuan rajamu sendiri perdana menteri."

"Mohon maaf yang mulia, saya tidak pernah sesekali pun meragukanmu, tetapi saat ini yang mulia memang harus segera mempunyai keturunan untuk penerus Kerajaan Ambarawa ini yang mulia, dan menurutku hanya cara itulah yang bisa membuat Kerajaan Ambarawa ini mempunyai penerusnya, dan itu akan membuat Kerajaan Ambarawa ini semakin kuat yang mulia."

"Sekali lagi ku katakan, apakah kau lupa kerajaan apa yang saat ini sedang kau tempati perdana menteri? Ini Kerajaan Ambarawa, kerajaan pertama di muka bumi ini. Apakah kau lupa bahwa tidak ada satu pun kerajaan lain yang lebih kuat dari kerajaan ini? Lagi pula siapa dirimu yang berani mengaturku? Aku sangat menghormati istriku, dan aku tidak akan pernah membuatnya sakit hati karena itu. Aku mencintainya dan bahkan aku sangat menyayanginya lebih dari apapun. Lagi pula, aku menikahinya bukan hanya ingin mendapatkan seorang keturunan saja, tapi aku menikah dengannya karena memang aku begitu mencintainya dengan sangat tulus. Aku menerima kelebihan maupun kekurangannya. Aku mencintainya lahir maupun batin. Aku mendapat tanggung jawab untuk selalu berada disisinya, dan aku tidak akan pernah meninggalkannya, jadi buang saja saran kotormu itu."

"Aku tahu dirimu memang sangat menyayangi Ratu Andira yang mulia, namun Kerajaan Ambarawa ini butuh penerus. Bagaimana jika Ratu Andira tidak bisa memberikan keturunan yang mulia?"

"Jaga bicaramu perdana menteri, jika tidak maka bisa ku pastikan pedangku akan menebas lehermu itu. Apa yang kau katakan itu? Jangankan mengucapkan hal itu, dengan mengadakan sidang seperti ini sebenarnya kau tidak berhak perdana menteri. Siapa dirimu yang berani mengatakan hal seperti itu? Apa kau Tuhan? Apa kau yang mengendalikan kehidupan ini?"

"Maafkan saya yang mulia."

"Sekali lagi kutanya, apa kau seorang Tuhan?"

"Tidak yang mulia."

"Lalu kenapa kau bisa berbicara seperti itu perdana menteri? Apa kau lupa siapa yang sedang kau bicarakan? Apa kau lupa siapa dia? Dia istriku, dia seorang ratu di Kerajaan Ambarawa ini, kuharap kau tidak melupakan hal itu. Jadi sebelum bicara, tolong pikirkan baik-baik siapa yang sedang kau bicarakan."

"Aku tau tentang itu yang mulia, tapi perlu yang mulia ketahui bahwa saya hanya memikirkan bagaimana masa depan dari Kerajaan Ambarawa ini. Saya hanya takut jika Kerajaan Ambarawa ini tidak punya penerusnya yang mulia, saya takut suatu saat nanti Kerajaan Ambarawa ini tidak mempunyai seorang raja yang bisa memimpinnya. Saya hanya menghawatirkan tentang hal itu yang mulia, dan mohon maaf jika ucapanku itu menyakiti hatimu."

"Baiklah, aku memahami tentang kekhawatiranmu perdana menteri. Tapi tidak seharusnya kau mengatur hidupku kan?"

"Maafkan aku yang mulia."

"Perdana menteri tidak salah Andrian, dia berhak mengatakan hal itu karena ia memikirkan bagaimana masa depan dari kerajaan ini. Jadi disini dia tidak bersalah, tetapi Ratu Andira lah yang salah disini. Sudah tiga tahun dia menjadi istrimu, tetapi tetap saja sampai saat ini dia belum memberikan seorang anak untuk kerajaan ini. Aku saja dalam waktu setahun sudah bisa melahirkanmu ke dunia ini, lantas apa yang menyebabkan istrimu itu tak kunjung mengandung sampai saat ini? Kurasa saran dari perdana menteri itu sangat tepat. Dengan menikah lagi kau pasti akan segera mempunyai anak, dan Kerajaan Ambarawa ini akan punya pewarisnya kembali. Seorang raja memang sudah biasa mempunyai selir, jika saat ini kau belum siap mungkin suatu hari nanti kau bisa menerimanya. Kabari aku jika kau sudah siap, akan kupastikan kau mendapatkan seorang gadis yang akan memberikanmu keturunan dan pewaris untuk kerajaan ini." ucap Ibu Suri.

"Aku tidak menyangka bahwa sesama wanita akan saling menjatuhkan seperti ini Bunda, semoga saja wanita diluaran sana tidak mendapatkan sosok ibu mertua dengan pikiran sepertimu Bunda. Aku tau kalian mengkhawatirkan masa depan Kerajaan Ambarawa ini, tapi perlu kalian tau aku dan istriku bukanlah Tuhan. Kami juga berusaha untuk mendapatkan buah hati kami, jadi tolong jika kalian menyayangi kami maka doakan kami supaya bayi itu ada di antara kami. Satu hal lagi mengenai selir, disini aku ingin bertanya apa kalian para wanita mau diduakan? Apa kalian mau suami kalian menikah dengan gadis lain? Coba katakan padaku. Istriku saat ini sedang sakit, bukannya mendoakan kesembuhannya, kalian malah membicarakan yang tidak-tidak tentangnya. Terus terang saja saat ini aku butuh dukungan kalian, bukan semua ini. Sidang ini selesai." ucap Raja Andrian kemudian pergi meninggalkan sidang istana.

•••••

Setelah meninggalkan sidang istana, kini Raja Andrian tengah berada di ruangannya untuk menemani istrinya yang sedang sakit. Menaruh tangannya dikening sang istri, dan merasakan panas di kening istrinya. Dia memandangi wajah sang istri yang tengah tertidur pulas tanpa adanya beban di wajahnya.

"Jangan khawatir Dira, aku akan selalu ada bersamamu. Biarkan saja orang lain mau berbicara apapun itu, aku tetap tidak akan pernah meninggalkanmu, dan aku berjanji akan hal itu. Kita akan menjalaninya bersama-sama dengan tangan yang selalu berpegangan erat." bisik Raja Andrian lalu mencium kening istrinya.

Kemudian ia meletakkan kepalanya tepat diatas perut sang istri, mata yang awalnya terbuka perlahan-lahan tertutup dengan sendirinya.

'Disana masih banyak rintangan yang akan kalian hadapi, tapi aku yakin kalian berdua pasti melewatinya dengan kesabaran.'

Ucapan dari pendeta saat pernikahannya itu tiba-tiba terlintas di pikiran Raja Andrian, ia pun terbangun dan menatap wajah sang istri. Dengan mencoba mencerna apa yang pendeta itu maksud, Raja Andrian sedikit demi sedikit mengaitkannya dengan apa yang mereka alami setelah menikah. Sejauh ini tidak satupun ada ujian-ujian besar yang menghampiri keduanya, tapi badai besar itu hadir ketika keduanya tidak kunjung memiliki seorang anak. Akankah itulah yang pendeta itu maksud?

'Apakah ini rintangan yang dimaksud oleh pendeta itu?' batin Raja Andrian.

Sesaat kemudian senyuman terulas di bibir Raja Andrian, dia menemukan penyelesaian dari apa yang selama ini membuatnya dan istrinya resah.

"Aku menemukan caranya Dira, aku menemukannya. Kita pasti akan segera mempunyai bayi kecil." bisiknya pada sang istri lalu mencium keningnya.

•••••

Jangan lupa vote and coment juga yaa

See you next time

Sumenep, 27 Juny 2022

Revisi 16 Agustus 2024

AMBARAWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang