25. Keputusan

608 51 5
                                    

"Pikirkan ini baik-baik. Kehamilan kamu itu berbahaya" dokter menegaskan pada Aizi sekali lagi.

"Umur, fisik, mental dan keadaan jantung kamu yang lemah itu bisa bahaya. Bukan cuma kamu yang terkena dampaknya tapi anak kamu juga"

Sofia melirik Aizi khawatir. Sofia yang mengetahui kehamilan Aizi ini tentu sangat senang tapi mendadak sirna karena kabar ini.

Aizi belum siap mengandung bahkan justru sekarang Ia butuh pengobatan. Kondisi fisik Aizi tidak mendukung dirinya untuk mempertahankan anak dalam rahimnya.

"Dengerin kata dokter, Zi." Sofia membujuk Aizi yang tetap keras kepala. Yachi gagal membujuk Aizi, begitupun Bundanya sendiri dan Sofia harapan terakhir.

"Aizi nggak akan gugurin kandungan ini, Ma. Aizi harus minta persetujuan Nathan, ini juga anak Nathan, Ma" Aizi kekeuh pendiriannya.

"Nathan koma udah hampir tiga minggu, Zi. Sebelum janinnya terbentuk kamu harus gugurin, kalau udah terbentuk nggak akan mungkin lagi untuk melakukan aborsi" Sofia meremas bahu Aizi menyadarkannya.

Nathan masih koma. Aizi stress karena Nathan tak kunjung sadar di tambah lagi dengan dilema kehamilannya semakin membuat kondisi mentalnya jatuh.

"Nathan akan nyaranin kamu untuk lepasin bayi ini. Dia akan melakukan itu karena ini demi keselamatan kamu"

"Itu benar. Tolong mengertilah, kami hanya ingin yang terbaik untukmu" dokter menambahkan. Sungguh, ini jalan terbaik.

"Ma. Mama itu seorang Ibu, kalau Mama di posisi Aizi, apa Mama rela kehilangan bayi ini?"

Aizi kini menangis. Sofia juga sudah menangis melihatnya. Raut wajah lelah begitu terpancar dari wajah Aizi.

Aizi hanya ingin mempertahankan anak ini. Ia menunggu Nathan sadar, Aizi rasa Nathan mungkin akan mendukung keputusannya ini. Bahkan jika Nathan memintanya untuk menggugurkan bayi ini, dengan tegas Aizi akan menolaknya.

Percayalah bahwa jiwa seorang ibu sedang mengambil alih tubuh Aizi. Pikirannya hanya mengatakan bahwa anak ini berhak hidup.

"Mama nggak akan rela. Tapi kalau itu membahayakan nyawa Mama, apa yang bisa Mama lakukan selain merelakan?"

"Kalau Mama disuruh memilih menyelamatkan nyawa Mama sendiri atau nyawa Nathan, apa Mama akan memilih nyawa Mama juga?"

Aizi menatap sendu ibu mertuanya itu.

"Mama akan pilih nyawa Nathan. Tapi, kasusnya berbeda dengan yang kamu alami, Zi" Sofia menangkup wajah Aizi.

"Anak dalam rahim kamu belum memiliki wujud. Bagaimana bisa kami semua membahayakan nyawa kamu untuk sesuatu yang belum pernah kami lihat. Kami lebih baik merelakannya dibanding merelakan kamu"

"Tolong ikuti kata dokter, jangan keras kepala"

"Kamu kelak akan jadi Ibu jika sudah siap, tapi sekarang relakan dia" Sofia menyentuh tangan Aizi yang masih setia menyentuh perut rata miliknya. Kehidupan lain sedang ada disana.

"Anak ini berhak hidup, Ma"

Aizi tersenyum sendu.

"Anak ini nggak bersalah sama sekali, tapi kenapa dia harus pergi?"

"Aizi rasa dia harus hidup, meski Aizi harus mempertaruhkan nyawa untuk dia"

"KENAPA KAMU KERAS KEPALA?" Bentak Sofia keras. Dokter juga tersentak apalagi Aizi.

Sofia mencengkram Bahu Aizi. Aizi sudah takut melihatnya.

"Kami cemas memikirkan Nathan! Kami juga cemas memikirkan kamu! Tolong dengarkan kami, Nak!"

NATHARAIZITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang