"Riki? Ini..."Riki tersenyum sembari merapihkan makanan yang sudah ia tata rapih di depannya.
"Duduk dulu, ga baik makan sambil ngomong sambil berdiri, nanti kayak kuda."
Dyra terkekeh, "kamu nyiapin ini sendirian?"
"Iya dong, Riki gituloh!"
"Makasih."
"My pleasure."
Riki mendekatkan kursinya, agar tidak terlalu jauh jarak dirinya dan juga Dyra. Belakangan ini, Riki menjadi susah untuk menatap lamat-lamat wajah pacarnya itu, dikarenakan beberapa hal.
"Kenapa liatin aku gitu banget?"
"Gapapa, kangen aja liat kamu."
"Dih?"
Riki memegang telapak tangan Dyra lalu mengecupnya pelan.
"Ra." Panggilnya.
"Hm?"
"Aku tau kamu ga bisa bohong, mata kamu ngewakilin semuanya, Dyra."
Tidak seperti kebanyakan perempuan yang telah tersakiti, Dyra hanya tersenyum menunggu kalimat yang akan Riki lontarkan.
"Jadi, tolong kasih aku pertanyaan."
Dyra mengangguk. "Oke, jawab yang jujur ya?"
"Iyaa."
"Kamu bohong atau ngga kemarin-kemarin?"
Riki mengangguk. "Aku bohong, dan aku mau jelasin semuanya sekarang, boleh minta waktunya kan, nona cantik?"
Dyra terkekeh, ada-ada saja tingkah Riki disaat-saat seperti ini.
"Boleh, silahkan."
Menghela nafas lega, Riki mulai mengingat-ingat kejadian dimana semuanya 'dimulai.'
"Gue mau lo jagain adek gue, Ki. Dia satu-satunya alasan gue hidup di dunia ini."
"Tapi bang--"
"--gue udah punya cewek."
Pemuda di depan Riki menghela nafasnya. "Gapapa, buat adek gue seolah-olah bahagia sama lo, jangan fikirin cewek lo dulu. Please, Ki, hitung-hitung lo bantuin gue."
"Bang."
"Gue pengen dia bahagia sebelum ajal jemput dia, ga ada yang tau kapan ajal datang Ki."
"Tapi yang gue lakuin cuman kepura-puraan bang, sedangkan cewek gue juga harus nahan sakit nantinya."
"Ki, noleh dulu ke cewek yang suka sama lo dari kecil, ya? Gue mohon, kali ini aja."
Riki menghela nafasnya. "Lo, udah berharap adek lo mati, bang?"
"Engga, ga pernah. Tapi, gue pengen dia bahagia dulu, setidaknya kalaupun dia meninggal, dia punya kenangan yang indah sama orang yang dia sayang selain gue."
Riki sedikit ragu namun tak lama ia mengangguk.
"Dyra bukan cewek yang gampang terpengaruh, gue yakin Dyra ngerti kalau gue jelasin semuanya." Batin Riki.
"Jadi, gitu deh."
Dyra mengangguk mengerti, ia mengelus pundak Riki.
"Ih hebat banget Riki, bisa bikin orang lain bahagia."
Riki sedikit speechless, tak menyangka respon Dyra akan sebegini santainya.
Bahkan Dyra tak sedikitpun menyalahkan Riki atau Arhesa--orang dibalik semuanya yang artinya, ia adalah kakak dari Zheya, gadis yang tadi berangkat bersama Riki.
"Kamu ga marah?"
"Buat apa aku marah? Kan kamu udah jelasin semuanya, detail lagi."
Riki memeluk Dyra, mengecup puncak kepala Dyra berkali-kali.
"Aku sayang banget sama kamu, Ra, sumpah."
Dyra terkekeh geli. "Udah berapa kali sih ngomong gitu? Ga bosen?"
"Ga, ga akan."
"Tapi...Zheya tau kalau abangnya yang nyuruh kamu begitu?"
Riki menggeleng. "Mungkin dia tau, secara aku deket banget sama abangnya."
"Kasihan banget Zheya, sakit apa dia?"
"Kanker darah."
Dyra mengangguk mengerti. "Yaudah, gapapa kok kamu mau jalan atau ngapain kek sama Zheya, aku kan udah sering."
Riki terkekeh, "kedengeran kayak istri pertama sama istri kedua tau, Ra."
"Ish! Mana ada, siapa juga yang mau jadi istri pertama kamu?"
Riki menguyel-uyel pipi Dyra gemas. "Terus maunya apa dong?"
"Jadi istri satu-satunya Riki aja."
Jawaban dari Dyra membuat reaksi lebay Riki kembali kambuh, ia memegang dadanya sembari merintih, drama.
"Aduh dada aku, Ra, mau meledak rasanya."
Dyra tertawa, "drama banget kamu tuh."
"Gapapa asalkan Riki pacarnya Dyra."
"Ahahahaha! Kebiasaan, jawabannya ngawur."
Melihat kedekatan dan kebucinan sejoli yang tengah dimabuk asrama itu, tanpa disadari Riki dan Dyra, di ujung sana seorang perempuan yang memakai cardigan berwarna lilac menatap ke arah mereka dengan tatapan nanar.
"Kak Dyra...baik banget, aku yang payah ini bisa apa?"
...
malem ini otak ku lagi encer
KAMU SEDANG MEMBACA
Riki as My Boyfriend
RandomKata-kata andalan seorang Riki, untuk pacarnya, "Makasih banyak-banyak buat Dyra." Terimakasih, atas datangnya Dyra pada kehidupan seorang Riki Aryasepta.