hari pertama

10 1 0
                                    


Tidak terasa, hari pertama menjadi seorang mahasiswa baru setelah melewati rangkaian tes dan juga pertanyaan-pertanyaan dari teman, keluarga, serta pacar, untuk meyakinkan Dyra bahwa apakah ia tetap akan berkuliah kedokteran sementara kesehatannya masih belum pulih.

Sang ayah menganjurkan untuk Dyra kuliah tahun depan, tetapi Dyra enggan, ia memaksa untuk kuliah di tahun sekarang, agar sama seperti Riki meskipun berbeda jurusan.

Riki jurusan management bisnis, sedangkan Dyra kedokteran.

Dan karena jarak dari fakultas Dyra dengan fakultas Riki lumayan memakan waktu, Dyra menunggu Riki di sebuah taman yang biasanya akan dipakai para mahasiswa untuk sekedar duduk-duduk santai atau mengerjakan tugas, atau yang berpacaran pun ada.

Hampir dua puluh menit lamanya Dyra menunggu Riki, ia mengetuk-ngetukan kakinya ke tanah, menghilangkan rasa bosan.

Merasa ada yang mengalir dari hidungnya, Dyra mengambil ponsel dan berkaca. Mencari tissue, Dyra sedikit terkejut melihat darah yang mengalir dari hidungnya.

"Riki mana sih?" Gumam Dyra.

Beberapa saat kemudian Riki mengirimkan Dyra pesan yang membuat Dyra sedikit merasa kesal setelah membacanya.

Riki:
Ra, maaf
Riki:
aku nganter temenku dulu kasian dia sakit, temen-temen nggak ada yang searah, cuman aku doang
Riki:
Is it oke?

Dyra:
iya, hati-hati

Dyra meringis pelan ketika rasa pusing pada kepalanya tiba-tiba terasa, dalam keadaan seperti ini, ia tidak boleh panik.

Dyra:
bang, jemput bisa?

Bang Jayen:
Gue ada kerjaan Ra sorry ya
Bang Jayen:
gue suruh temen gue aja mau?

Dyra:
Kak Bian, Razka?

Bang Jayen:
Nggaa bukan, si Javi

Dyra:
ngerepotin gak

Bang Jayen:
santai

Dyra:
boleh deh

Bang Jayen:
hati-hati yaa
Bang Jayen:
Lo gapapa kan?

Dyra:
Gapapa bang

Bang Jayen:
👍🏻

Dyra mengambil botol minum dari dalam tas Tote bag-nya, kemudian meminum air yang ia bawa dari rumah.

Tidak lama kemudian, laki-laki yang tempo hari ia lihat muncul kembali di hadapannya.

"Dyra? Kuliah disini juga?"

"Eh, iya kak."

"Ini kenapa?"

Dyra memasukkan kembali tissue-nya kedalam tas, "nggak apa-apa kok."

"Mimisan?"

Laki-laki itu mengambil alih tissue dari tangan Dyra kemudian membuangnya. "Lo mau pulang kan? Ayo, gue anter."

"E-ehh, ngga usah--"

"Gue Javi, ayo, dianter."

"Ohh? Ini beneran gak apa-apa kak?"

"Gapapa santai aja."

Selama perjalanan, Dyra banyak terdiam karena jika ia merasakan pusing hal yang selalu ia lakukan adalah diam dan tidak banyak bergerak alias rebahan.

"Ini kan rumahnya?"

Sadar dari lamunannya, Dyra menoleh keluar jendela mobil kemudian mengangguk. "Iya kak, makasih banyak ya, eum...mau mampir?"

Javi membalasnya sembari tersenyum, "gak usah, udah mau hujan juga, gue duluan aja."

"Yaudah kalau gitu hati-hati ya kak."

"Iya, cepet sembuh Dyra."

Setelah mobil Javi menghilang dari balik tikungan kompleks, Dyra menghela nafasnya kemudian memasuki pekarangan rumahnya. Sedikit terkejut, ia mendapati Riki tengah berdiri di depan pintu rumahnya sembari memainkan ponsel.

"Udah lama?"

Riki menggeleng, "barusan."

"Masuk dulu?"

Riki mengangkat alisnya, "biasanya kamu langsung ajak aku masuk."

"Siapa tau urusan kamu belum selesai kan?"

"Udah, barusan."

Dyra mengangguk mengerti. "Yaudah ayo masuk."

"Ra, yang antar kamu tadi siapa?"

"Temennya abang."

"Yakin?"

Dyra mengerutkan alisnya tak suka. "Maksud kamu?"

"Nevermind."

"Riki, aku--"

"Iya sayang, udah ya? Yuk masuk, aku haus."

"Yaudah ayo."




Riki as My BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang