Hari ini setelah menjalani kemoterapi tempo hari, Dyra masuk kuliah lagi dengan semangat, karena ia benar-benar ingin menjadi dokter maka hari-hari yang ia jalani di kampus selalu bersemangat.Meskipun dokter sudah menyuruh Dyra untuk perbanyak istirahat, tapi Dyra bisa meyakinkan dokternya bahwa ia baik-baik saja.
"Ra, abis ini mau kemana?" Tanya Jessy, teman barunya di kampus.
"Belum ada rencana, kenapa?"
"Nyalon yuk! Warna rambut gitu."
Dyra terdiam, ia memang belum memberitahu temannya jika ia mengidap penyakit kanker leukimia dan tengah menjalani kemoterapi serta terapi-terapi lainnya. Ia pun takut jika suatu saat nanti rambutnya akan rontok semua.
Beberapa hari kebelakang, saat menyisir rambut, ia sudah merasakan beberapa helai yang terbawa.
"Nggak deh, makan aja yuk?"
Jessy mengangguk antusias, ia sebagai anak tunggal yang kesepian tentu merasa semangat saat diajak kesana kemari oleh temannya.
"Yuk!"
Akhirnya Dyra dan Jessy memutuskan untuk makan di mall, makan makanan ala Korea yang sangat terkenal. Jessy bercerita bahwa ayah kandungnya berasal dari Korea dan ibu nya memiliki keturunan Amerika. Namun keduanya bercerai hingga memiliki keluarga masing-masing, dan Jessy memilih untuk hidup bersama sang ibu.
"Lo masih beruntung punya mama, Jes. Dua lagi." Canda Dyra, ia terkekeh.
Jessy tertawa, "ya itu menurut lo beruntung, menurut gue kan nggak, gak enak punya banyak orang tua."
"Tapi, lo punya adik?"
Jessy mengangguk, "punya, Tante Stevie punya anak satu, dan dia cowok, papa sama Tante Stevie belum punya anak. Kalau suaminya mama punya anak perempuan, tapi dia tinggal sama mama nya, gue gak suka sama dia."
"Kenapa gak suka?"
Jessy mengangkat bahunya, "yaa menurut gue dia agak sedikit caper, nggak tau tapi ya aslinya gimana."
"Gak boleh suudzon gitu, siapa tau emang dia anaknya hyperaktif."
"Gatau deh."
Selesai makan, Dyra hendak membeli skincare nya untuk sehari-hari yang sudah habis.
Saat sedang memilah-milah, ia menoleh kesana kemari, merasa sedang diperhatikan oleh seseorang. Ketika menoleh ke sebelah kiri, ia melihat seorang perempuan berambut pendek yang buru-buru mengalihkan pandangannya.
Dyra yang penasaran dan sadar bahwa perempuan itu adalah perempuan yang bersama Riki, mencoba menghampirinya setelah pamit kepada Jessy.
"Hai?"
Perempuan itu langsung gelagapan tak menentu, ia tersenyum kikuk sembari menggaruk tengkuknya, seperti seseorang yang sudah sangat lama tidak mengobrol dengan orang lain.
"O-oh..hai?"
Dyra tersenyum tipis, "Lo mau ngobrol sama gue?"
Perempuan itu membulatkan matanya, darimana dia tau? Batinnya.
"Ah...i-iya, boleh ngga?"
Dyra mengangguk sembari tersenyum lebih lebar, "boleh banget, ayok!"
Akhirnya Dyra dan perempuan asing itu duduk di sebuah coffee shop yang tak jauh dari sana, awalnya hanya keheningan yang menemani mereka, hingga perempuan itu mencoba berbicara susah payah seperti sedang menahan rasa grogi nya.
"G-gue, gue...nama gue...Rere." perempuan yang menyebut dirinya Rere itu pun menghela nafas pelan-pelan.
"Gue temennya Riki."
"Iyaa, gue tau."
Rere menoleh ke arah Dyra dengan tatapan terkejut sekaligus bertanya-tanya, "Lo tau?"
"Tau kok."
"Wah hebat." Cicit Rere, berdecak kagum.
Dyra terkekeh, "gue Dyra."
"Ah iya, Riki sering cerita tentang lo."
"Oh ya?"
Rere mengangguk semangat, ia nampak mengingat-ingat, "katanya, Dyra itu orangnya sabar banget, dalam keadaan apapun selalu bertutur kata lembut. Pokoknya, Dyra the best deh."
"Masa ngomong gitu?" Dyra tertawa, geli sendiri mendengar Rere mengatakan hal itu dari Riki.
"Iyaa! Gue sampe speechless, ada ya cowok bucin zaman sekarang."
"Ah ngga, Re. Kita sama-sama bucin, kok."
Rere mengangguk, "gitu ya?"
"Iya, btw, lo mau ngobrolin apa?"
"Ehm, gini, Ra. Beberapa hari kebelakang, Riki sering bareng sama gue, banyak yang salah faham dan ngira gue sama Riki selingkuh. Padahal, Riki cuma kasihan sama gue karena gue udah nggak punya siapa-siapa lagi disini, papa dan mama gue meninggal delapan tahun yang lalu. Gue disini cuma tinggal sama adek gue, tapi ya...dia tuh senengnya foya-foya sama temen-temennya, padahal harta yang ditinggalin papa sama mama benar-benar udah menipis, tinggal cukup buat makan beberapa hari kedepan."
Dyra mendengarnya dengan seksama, ia tak menyangka kehidupan perempuan di depannya ini sedemikian miris. Ia saja yang ditinggalkan oleh sang bunda masih sering mengeluh dan menangis, tapi Rere tampak lebih tegar dan kuat.
"Dan gue kenal Riki dari SD, waktu itu kita tetanggaan, gue sempet pindah ke Surabaya tinggal sama oma dan opa, terus balik kesini lagi karena gue mau kuliah disini. Terus, beberapa hari kebelakang, Riki temenin gue nyari kerjaan, bantuin gue buat nyadarin adek gue, untungnya kerjaan udah dapet, adek gue-nya yang belum waras." Keluh Rere, ia memijit dahi nya seraya terkekeh miris.
"Ohh, gitu. Sabar ya, Re, gue nggak pernah berfikiran macam-macam kok sama Lo dan Riki, tapi gue gak suka aja dia bohong, harusnya jujur aja gue juga gak akan marah kok."
"Makasih ya, Ra, lo emang baik banget ternyata."
Dyra tersenyum lalu menggenggam tangan Rere, "Lo punya gue sekarang, anggap aja gue ini temen lo mulai sekarang, oke?"
Rere tersenyum haru, "oke, makasih banyak Ra, makasih."
"Sama-sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Riki as My Boyfriend
RandomKata-kata andalan seorang Riki, untuk pacarnya, "Makasih banyak-banyak buat Dyra." Terimakasih, atas datangnya Dyra pada kehidupan seorang Riki Aryasepta.