11. Peeling Cream

4.4K 536 53
                                    

Cinnamon tak menyangka kalau salah satu impiannya akhirnya terwujud. Makan siang bersama di satu meja dengan penuh kehangatan seperti ini seolah-olah menjadi simulasi baginya sebelum benar-benar masuk ke dalam lingkungan keluarga Kale. Terlebih, dia dan Kale duduk berhadap-hadapan, yang mana dia bisa leluasa menatap pria itu yang tampak anteng dengan makanannya.

Tiba-tiba, pemikiran iseng muncul di kepala Cinnamon. Melirik situasi terlebih dahulu—memastikan kalau tak ada yang menyadari gerak-geriknya—dia pun memajukan tubuh, lalu kakinya menyenggol kaki Kale, membuat pria itu seketika mendongak. Dengkusan pelan Kale luncurkan saat Cinnamon mengedipkan sebelah matanya dengan senyum menggoda. Sepertinya wanita itu semakin berani setelah kejadian beberapa waktu lalu.

Omong-omong, Cinnamon berhasil keluar dari persembunyiannya karena Kale mengelabui Briea dengan berpura-pura menanyakan keberadaan cokelat matcha meski sebenarnya Kale kurang menyukai rasa tersebut. Beruntung, Briea tak menaruh curiga sama sekali—barangkali adiknya itu lupa kalau Kale lebih suka rasa cokelat putih—dan mengambilkannya cokelat matcha di dapur.

Kale tak bisa membayangkan kalau Briea curiga padanya. Kemungkinan besar Cinnamon akan terus berada di kamarnya atau paling parah, Briea mengetahuinya dan membuat kehebohan besar. Sudah cukup Cinnamon mengaku-ngaku sebagai temannya. Kale tak ingin ada skandal baru dengan wanita itu di dalam keluarganya.

"Kamu suka olahan seafood, Cin?"

Cinnamon yang masih sibuk menganggu Kale, seketika gelagapan. Dia menoleh ke arah Olive sambil tersenyum tipis. "Suka, kok, Tante."

"Kebetulan banget. Tante tadi bikin bola-bola udang kesukaan Kale. Waktu kecil dia nggak bisa makan tanpa bola-bola udang. Bakal ngambek."

"Ma," tegur Kale, tak ingin Olive membuka aibnya di depan Cinnamon. Bisa-bisa wanita itu akan mengolok-oloknya.

"Kenapa? Mama bicara fakta, loh, Kal. Dulu kamu lucu banget kalau lagi ngambek cuma gara-gara bola-bola udang." Olive terkekeh pelan saat mengingat bagaimana ekspresi merajuk Kale saat tak dibuatkan bola-bola udang.

Kale hanya membalasnya dengan gelengan pelan. Dia memutuskan untuk melanjutkan acara makannya yang hampir selesai. Sementara Cinnamon yang melihat kepasrahan Kale, berusaha menahan tawanya supaya tidak pecah dan mencoreng citra kalemnya.

"Berarti dulu Bang Kale manja banget, Ma?" Kini, Briea ikut menimpali setelah menghabiskan sup iga.

Olive menggeleng. "Enggak. Abang kamu nggak pernah manja. Cuma karena bola-bola udang itu kesukaan dia, jadi begitulah. Gampang ngambek."

"Liv." Suara berat dari sosok yang sedari tadi hanya mendengarkan obrolan mereka mampu membungkam mulut Olive.

Carlo Oregano. Pria asal Italia yang merupakan ayah dari Kale dan Briea itu memiliki pembawaan yang tenang sekaligus mengintimidasi, membuat Cinnamon langsung paham dari mana asalnya sifat Kale. Apalagi, wajah Kale sangat mirip dengan sang ayah—mungkin duplikat versi mudanya—yang semakin menegaskan hubungan darah di antara keduanya.

Meski begitu, kalau dibandingkan ayahnya, Kale masih bisa Cinnamon ganggu. Sedangkan Carlo, jangankan untuk berbasa-basi, sekadar melirik saja Cinnamon sudah ketar-ketir, takut pria itu menerkamnya seperti singa. Ngeri!

"Terus, apalagi Ma? Ceritain lebih banyak tentang masa kecil Abang sebelum ada aku, dong!"

"Briea." Kali ini, giliran Briea yang mendapat peringatan dari Carlo. Hanya saja, berbeda dengan sang ibu yang menurut, si bungsu Oregano itu justru merengut.

"Ya, nggak apa-apa, Pa. Sekali-kali. Mama jarang banget cerita tentang Bang Kale."

"Apa yang mau diceritain tentang abang kamu, Bri? Hidupnya dari kecil itu teratur banget. Nggak kayak kamu. Terlalu banyak variasi warnanya." Olive melirik Kale yang hanya diam, lalu meletakkan piring berisi bola-bola udang di tengah-tengah meja makan. "Dicoba, Cin. Nanti kasih komentar, ya. Enak atau enggak."

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang