22. Tone Up Cream

4.4K 515 51
                                    

Cinnamon menatap pintu berbahan jati itu dengan gelisah. Hampir lima menit dia sudah berdiri di depan ruangan Kale tanpa melakukan apa pun, sementara Rara terus menyemangati sambil melayani pelanggan. Apa dia memang harus mengajak Kale ke acara reuni itu? Bagaimana kalau misalnya Kale menolak? Atau ... Kale justru mengolok-olok Cinnamon setelah mengetahui fakta masa lalunya?

Tak dipungkiri kalau Kale memang lebih sering menolaknya daripada mengiyakan, dan Cinnamon seharusnya sudah siap dengan itu. Lagi pula, bukankah bagus kalau Kale menolak? Artinya, Cinnamon tak perlu datang ke acara reuni yang sangat dia hindari. Hanya saja, perlakuan manis Kale tempo lalu-meski mulutnya masih setajam pisau-membuat Cinnamon menaruh harapan kepada pria itu.

Logika Cinnamon mungkin tidak ingin datang ke sana, tapi hati kecilnya mengatakan kalau dia harus menghadapi ketakutannya, sekaligus membuktikan kalau dia sudah berubah. Cinnamon yang sekarang bukanlah Cinnamon enam tahun lalu. Dia tidak bisa membiarkan ketakutannya di masa lalu menguasai diri, karena masa depan harus disambut dengan hari dan kenangan yang baru.

Cinnamon ... ingin pergi ke acara reuni. Barangkali Kale bisa ikut, pasti lebih bagus lagi. Setidaknya Kale bisa membuatnya sedikit rileks.

Baru saja tangan Cinnamon terangkat, hendak meraih gagang pintu ketika pintu ruangan Kale tiba-tiba dibuka dari dalam. Refleks, Cinnamon mundur tanpa perhitungan hingga membuatnya hampir jatuh kalau saja tak ada tangan yang meraih tubuhnya lebih dulu.

"Hati-hati, Cin." Kale memperingati seraya melepas tubuh Cinnamon saat dirasa sudah berhasil menyesuaikan keseimbangan. 

"Kamu buka pintu nggak bilang-bilang. Jadi, aku kaget." Cinnamon berdeham, menutupi salah tingkahnya. Untuk kesekian kali, Kale sukses membuatnya mati kutu, persis seperti wanita polos yang baru pertama kali digoda. Padahal, sebelumnya dia selalu bersikap agresif dan tak tahu malu kepada pria itu. 

"Kamu yang tiba-tiba ada di depan pintu ruangan saya. Mau ngapain? Ada yang pengin kamu bicarain sama saya?" tanya Kale tepat sasaran. Kalau dilihat dari ekspresi Cinnamon yang tampak gelisah, sepertinya memang Cinnamon ingin membahas sesuatu dengannya. 

Cinnamon menggigit bibir bawahnya dengan jari-jari yang saling bertautan. "Jadi, gini..." 

Kale mengangkat sebelah alisnya. "Apa?" 

Tatapan Cinnamon meliar ke segala arah, mencari kalimat yang tepat untuk mengajak Kale ke acara reuni. Pasalnya, Kale adalah pria yang cukup introvert, tidak suka keramaian tak berarti dan berbasa-basi dengan orang asing tanpa ada tujuan yang jelas. Kemungkinan penolakan pria itu sangat besar. Pasti Kale ogah pergi ke acara yang dirasa tidak bermanfaat itu. 

"Masuk ke ruangan saya. Kita bicara di dalam." Kale langsung membuka pintu ruangannya, membiarkan Cinnamon masuk terlebih dahulu. 

"Jadi, mau bicara apa?" Begitu pintu ditutup, Kale kembali bertanya. Dia bersandar di pintu dengan tangan tenggelam di saku, menatap Cinnamon yang berdiri di hadapannya. Sebenarnya, dia tidak punya waktu banyak untuk berbicara dengan Cinnamon lantaran hari ini dia ada jadwal makan siang bersama keluarga untuk merayakan anniversary orang tuanya. INi saja dia sudah telat, entah sudah berapa banyak pesan dan panggilan dari orang tua maupun adiknya. Briea, yang masuk ke ponsel Kale. 

Namun, dia merelakan waktunya yang berharga terbuang sia-sia demi mendengarkan maksud dan tujuan Cinnamon—sampai menghampirinya ke ruangan dengan gelisah—yang tak kunjung keluar dari mulut wanita itu. 

"Aku sebenarnya nggak mau bicarain hal ini ke kamu, Kal. Aku juga ragu banget, takut kalau kamu nggak mau." 

"Memangnya apa? Kamu nggak bisa langsung mengambil kesimpulan begitu ke saya. Kalaupun kamu berpikir kalau saya nolak, kenapa kamu masih berusaha untuk membicarakannya dengan saya?" 

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang