Cinnamon berjalan lebih cepat supaya bisa menyamakan langkahnya dengan Kale. Saat langkah mereka sudah sejajar, dia menoel lengan Kale menggunakan telunjuknya, membuat pria itu menoleh. Kale hanya mengangkat alisnya, menunggu Cinnamon berbicara. Namun, wanita itu tampak ragu, barangkali masih terkejut dengan kemarahannya saat di dapur.
"Kenapa?" tanya Kale dengan nada yang lebih rendah. Ekspresinya sudah tidak tegang lagi.
Cinnamon menautkan jari-jarinya, bimbang. "Tumben banget kamu marah sama Anne."
"Memang kenapa kalau saya marah sama dia? Nggak boleh? Kamu mau membela dia?"
"Eh? Bukan gitu maksud aku." Cinnamon buru-buru menggeleng, takut kalau-kalau giliran dia yang kena semprot. Masih terbayang kemarahan Kale yang membuat bulu kuduknya meremang. Pria itu seperti malaikat pencabut nyawa. Seram!
"Cuma agak aneh aja. Biasanya kamu adem ayem sama Anne. Kayak pasangan harmonis. Jadi, aku agak syok waktu kamu marah sama dia. Dan, sebenarnya aku sendiri yang setuju dengan tantangan yang dikasih Anne. Bukan dia yang maksa." Cinnamon tak berniat untuk membela Ceyanne, sungguh. Hanya saja, dia perlu meluruskan hal ini. Setidaknya, dia harus berkata jujur, kan?
"Kenapa?"
"Ya?" Cinnamon mengerjap dua kali. Mendadak, dia sulit menelan ludahnya sendiri melihat wajah Kale yang berubah serius. Apa dia juga akan dimarahi?
"Kenapa kamu terima tantangan dia? Kamu nggak bisa masak. Kalau saya nggak segera ke sana, saya nggak tahu apa yang bakal terjadi. Bisa aja ... kamu terluka—saya cuma nggak mau ada korban, dan kamu punya peluang untuk itu." Cepat-cepat, Kale meralat ucapannya supaya Cinnamon tak sala paham. Dia sendiri tidak mengerti kenapa bisa-bisanya dia bilang begitu. Tak ingin Cinnamon terluka? Kenapa dia harus bersimpati dengan wanita yang bahkan lebih menakutkan dari hantu?
Sementara Cinnamon, mati-matian menahan senyumnya. Padahal, hatinya sudah bersorak kegirangan. Meski masih tertutup gengsi, Cinnamon tetap senang karena Kale mengkhawatirkannya. Tahu begitu, lebih baik dia pura-pura terluka saja untuk mendapat perhatian dari Kale.
"Tapi, buktinya aku nggak apa-apa, kok. Santai aja," ucap Cinnamon malu-malu. Dia menutup wajahnya yang terasa panas lalu memukul lengan Kale pelan. Kalau tidak sadar sedang berada di parkiran restoran yang cukup ramai, sudah dipastikan dia akan berteriak sambil memeluk Kale.
Jaga image, Cin!
"Untung kamu nggak bakar restoran saya," celetuk Kale seraya berjalan menuju mobilnya.
Mendengar itu, Cinnamon berdecak. Mulut pria itu memang sangat pedas, sepedas cabai rawit. "Kalau nggak mau restoran kamu terbakar, ajarin aku masak."
Tepat ketika Kale hendak membuka pintu mobil, dia langsung berhenti. Alisnya terangkat tinggi-tinggi, meyakinkan diri kalau dia tidak salah mendengar. "Kamu mau belajar masak?"
Cinnamon mengangguk cepat. Dia menghampiri Kale dan berkata, "Iya. Aku mau belajar masak. Ajarin, ya, Kal? Aku, kan, juga pengin bisa masakin suami aku suatu hari nanti."
Kale mengernyit. "Memang ada yang mau sama kamu?"
"Ada lah. Kan, kamu yang bakal jadi suami aku."
Kale langsung menyentil kening Cinnamon. "Nggak usah kepedean!"
Dengan bibir cemberut, Cinnamon mengelus keningnya. "Ih, tapi serius, Kal. Aku pengin belajar masak. Ajarin, ya? Ya? Nanti aku ajarin kamu cara skincare yang benar."
Lagi, Kale dibuat mengernyit bingung oleh Cinnamon. "Buat apa?"
"Buat skincare-an bareng. Kayak couple-couple yang lain gitu, Kal. Biar sweet. Sekalian nanti kita bikin vlog gitu. Judulnya My Boyfriend Does My Makeup." Cinnamon tersenyum lebar. Hanya dengan membayangkannya saja, dia sudah sangat antusias. Itu adalah salah satu impian terbesarnya ketika mempunyai pacar.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Blessing In Disguise (END)
Romance#Romance-comedy #Make-up series #Food series Bagi Cinnamon, skincare dan make up adalah dua hal yang sangat penting untuk menunjang penampilannya sebagai beauty vlogger. Apalagi di masa kini, penampilan luar selalu dijadikan patokan untuk menilai se...