35. Vitamin C

4.6K 470 64
                                    

Setelah memikirkan semalaman penuh—lingkaran di bawah mata seolah-olah menjelaskan semuanya—Kale akhirnya memantapkan hati untuk menyelesaikan masalah yang bersumber darinya. Kale sepenuhnya sadar kalau masalah ini terjadi karena ulahnya. Andai Kale tegas dan tidak berlarut-larut, mungkin sekarang dia sedang bersama Cinnamon, berdebat kecil ataupun mendengarkan celotehan wanita itu yang berujung gombalan untuknya.

Kale hanya ingin tenang. Dia ingin menikmati hidupnya dalam kedamaian seperti dulu. Maka, mula-mula, dia harus menyelesaikan apa yang sudah dia mulai. Dengan tekad yang penuh ditambah keberanian yang terpupuk—kalau-kalau dia akan mendapatkan tamparan atau semacamnya—Kale mulai melangkahkan kakinya menuju ruangan ayah Ceyanne.

Mungkin, menurut beberapa orang, saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan masalah, terlebih kondisi ayah Ceyanne belum sembuh total, tapi Kale tak bisa menunggu lagi. Sungguh. Dia tak ingin semakin terbebani dengan kebohongan yang dia lakukan. Dia tak mau masalah ini menjadi semakin rumit.

Sepanjang lorong yang dia lalui, hanya ada suara ketukan dari sepatu yang dia pakai yang memecah keheningan. Begitu sampai di depan pintu ruangan ayah Ceyanne, keraguan mulai menghampiri, tapi secepat kilat Kale tepis dengan keyakinan. Tangannya memutar gagang, lalu membuka pintu. Seketika, ketiga orang yang berada di dalam—ayah, ibu dan Ceyanne—menoleh ke arahnya. Kale menyunggingkan senyuman tipis sebagai sapaan.

"Nak Kale, datang lagi?" Ayah Ceyanne yang sedang makan, tersenyum sumringah melihat kedatangan Kale.

"Iya, Om. Gimana kabarnya? Udah baikan?" Kale mengambil tangan pria paruh baya itu, menyaliminya.

"Baik, baik. Sebentar lagi juga pulang."

Kale mengangguk. Dia membasahi bibirnya yang terasa kering. "Jadi, begini Om—"

"Kal. Bisa anterin aku sebentar?"

Perhatian Kale teralih kepada Ceyanne yang langsung bangkit dari duduknya. Kening Kale berkerut, bingung dengan tindakan wanita itu yang jelas-jelas ingin menghentikan niatan Kale untuk menjelaskan semuanya kepada sang ayah. Sementara Ceyanne menatap Kale dengan permohonan, sepakan meminta pria itu untuk tidak membahasnya sekarang.

"Kal, bisa minta tolong anterin aku?" pinta Ceyanne, sekali lagi. Ada penekanan dalam kalimat yang diucapkan, membuat Kale menghela napas panjang lalu mengangguk pelan, membiarkan Ceyanne keluar terlebih dahulu.

Di luar—agak jauh dari ruangan ayah Ceyanne—Kale langsung melayangkan protes. "Jujur, ya, Nne. Aku nggak suka sifat kamu yang begini. Sebenarnya, apa tujuan kamu? Aku bukannya nggak tahu kalau kamu sengaja ngelakuin ini. Biar apa? Biar kebohongan ini makin berlanjut? Aku nggak bisa, Nne. Mama udah mulai tanya-tanya tentang hubungan kita, papa kamu juga mulai berharap supaya kita nikah. Dan, kamu biarin semuanya terjadi gitu aja? Kamu biarin kesalahpahaman ini berlanjut? Sampai kapan?"

"Kal. Aku juga pengin semuanya kelar. Tapi, apa kamu tega lihat kondisi papa aku makin terpuruk? Lihat, Kal! Papa masih sakit!" Ceyanne menunjuk ruangan ayahnya. "Seenggaknya, kamu bisa nunggu sampai papa aku sehat dan kembali dari rumah sakit. Nggak lama, kok. Semakin kamu nggak membebani pikiran papa aku, maka papa aku bisa cepet pulang."

Kale membuang napasnya kasar dengan satu tangan yang bertolak pinggang. "Justru kalau nggak sekarang, kapan lagi? Kita nggak punya banyak kesempatan. Aku yakin, setelah papa kamu keluar dari rumah sakit, papa kamu semakin menuntut aku untuk segera menikahi kamu. Nikah, Nne. Nikah! Papa kamu pengin kita nikah, sementara kamu tahu kalau kita nggak bakal bisa lakuin itu."

"Jangan minta dipahami kalau kamu enggak mau memahami!" lanjut Kale saat mulut Ceyanne terbuka, ingin membalas ucapannya.

"Kamu mau papa aku makin sakit? Kamu enak, Kal, orang tua kamu masih sehat. Tapi, papa aku sakit. Kalau stres dikit aja, papa bisa drop. Apa susahnya tinggal sandiwara sedikit lagi? Walaupun papa pengin kita nikah, bukan berarti papa akan terus nuntut kamu untuk mempersunting aku. Papa juga pasti menghargai keputusan aku dan kamu."

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang