33. Booster

4K 425 48
                                    

Ayah Ceyanne akhirnya siuman, tepat ketika Kale dan Ceyanne baru saja datang dari kantin. Sedari tadi, belum ada makanan yang masuk ke dalam mulut Ceyanne karena kesehatan sang ayah mengganggu pikiran wanita itu. Kalau bukan karena perutnya yang berbunyi, Kale tidak akan tahu kalau Ceyanne sama sekali belum makan. 

Kale tentu khawatir, sebagai teman. Takut kalau-kalau Ceyanne juga ikut menjadi pasien, alih-alih menjaga ayahnya. Meski harus dengan sedikit paksaan, Ceyanne akhirnya mau diajak makan oleh Kale. Sementara ibu Ceyanne pamit pulang sebentar untuk mengambil baju ganti dan perlengkapan menginap lainnya. Malam ini, mereka sepakat untuk tidur di rumah sakit. 

Kale? Tak ikut. Walaupun ingin, Kale tahu batasan. Mereka sudah bukan mereka yang dulu. Kale juga harus menjaga perasaan Cinnamon. Dia tak mau wanita itu salah paham yang akan mengundang pertengkaran. Meninggalkan Cinnamon dalam keadaan tidur dan tanpa penjelasan saja dia sudah khawatir begitu banyak, apalagi sampai menginap. 

Namun, sepertinya Cinnamon belum bangun. Terbukti dari notifikasi ponselnya yang kosong, tak ada panggilan maupun pesan masuk dari Cinnamon. 

"Kale? Kamu datang juga?" Ayah Ceyanne tersenyum ke arah Kale, yang dibalas tak kalah ramah. 

"Halo, Om. Iya, saya datang. Pengin jenguk Om."

"Pasti Ceyanne yang kasih tahu, ya? Dia memang selalu begitu. Nggak bisa jauh-jauh dari kamu." Ucapan ayah Ceyanne hanya direspons senyuman tipis oleh Kale. Dia melirik Ceyanne yang hanya diam, barangkali bingung ingin menjawab apa. Kale pun juga kikuk sekaligus merasa bersalah. Kalau saja ayah Ceyanne tahu kebenarannya, entah apa yang akan dikatakannya. 

Kale belum berniat untuk memberitahu, entah sampai kapan. Niatnya yang ingin menjelaskan semuanya, mendadak hilang setelah mengetahui kesehatan ayah Ceyanne. Sepertinya dia memang harus menunggu sampai kesehatan ayah Ceyanne pulih. Cinnamon mungkin mengerti, dan dia harap wanita itu bisa menunggu. Ini tidak akan berlangsung lama, Kale akan pastikan itu. 

"Mulai sekarang, Om Bimo harus jaga kesehatan. Ceyanne pasti nggak mau papanya masuk rumah sakit lagi." Kale menarik kursi yang ada di sebelah ranjang pesakitan, meminta Ceyanne untuk duduk di sana. 

"Namanya juga udah tua, Kal. Maklum. Mungkin bentar lagi om nggak bakal ada lagi di dunia ini."

"Pa! Jangan bilang gitu." Ceyanne menggeleng, yang langsung mendapat elusan di bahunya. Dia mendongak, menatap Kale yang tetap fokus pada ayahnya, sementara tangan pria itu secara aktif mengelus bahu Ceyanne. 

"Nne, cepat atau lambat, papa bakal pergi atau kamu yang pergi. Bedanya, papa pergi jauh ke atas langit, sementara kamu mungkin pergi karena menikah." Ayah Ceyanne tertawa kecil sebelum menghela napas panjang. "Jadi, kapan kalian akan menikah?" 

Seharusnya, Kale tahu kalau pertanyaan ini akan muncul sewaktu-waktu, tapi tetap saja Kale terkejut. Dia bahkan menghentikan elusannya di bahu Ceyanne yang menegang. Ini yang Kale takutkan dari kedatangannya ke hadapan ayah Ceyanne. Maka dari itu, Kale selalu menahan diri untuk bertemu ayah Ceyanne, setidaknya sampai dia siap. Namun, keinginannya semakin memudar tatkala hadir Cinnamon di hidupnya. 

"Saya..."

"Papa jangan pikirin yang aneh-aneh dulu. Papa harus istirahat supaya cepet sembuh. Aku nggak suka kalau Papa masuk rumah sakit lagi." Ceyanne langsung memotong ucapan Kale. Dia tahu kalau Kale kesulitan untuk menjawab pertanyaan ayahnya. Jadi, Ceyanne membantu sedikit, sekaligus supaya ayahnya tidak tahu fakta yang sebenarnya terjadi di antara mereka. 

"Papa cuma pengin lihat kamu bahagia, Nne. Papa tahu kalau kamu cinta sama Kale. Udah cukup lama kalian berhubungan, tapi papa belum juga denger kabar baik." 

"Papa mending istirahat. Kale juga pasti ada kesibukan selain jenguk papa. Aku mau anterin Kale sampai ke depan." Ceyanne bangkit dari duduknya, lalu keluar lebih dulu dari ruangan sang ayah. 

"Om, saya pamit dulu. Nanti, kalau ada waktu luang, saya jenguk lagi." Kale menyalimi tangan ayah Ceyanne sebelum menyusul wanita itu. Ternyata, Ceyanne sedang menunggu di depan pintu dengan tangan bersedekap. 

"Maafin papa aku. Papa nggak tahu apa-apa, aku belum kasih tahu." 

Kale mengangguk. Dia tak akan memaksa Ceyanne untuk menjelaskan mengenai hubungan mereka kepada ayahnya. Di sini, Kale yang mengambil keputusan, jadi Kale juga yang harus bertanggung jawab atas pilihan yang sudah dia ambil. Apa pun resikonya. 

"Seharusnya aku yang minta maaf. Kamu pasti banyak pikiran dengan semua yabg terjadi secara bersamaan." 

Ceyanne menghela napas panjang. Rasa sakit karena kesehatan ayahnyya, ditambah lagi luka yang Kale beri, membuat Ceyanne sempat berpikir untuk pergi. Dia tertekan, sangat. Dunia seolah-olah tak mau berpihak kepadanya. Padahal, Ceyanne merasa tak pernah berbuat jahat kepada siapa pun, tapi kenapa justru dia tak bisa mendapat kebahagiaan? 

"Kal," panggil Ceyanne, setelah terdiam cukup lama. "Kita bener-bener nggak bisa kayak dulu lagi? Seenggaknya kalau bukan karena cinta, karena papa aku. Papa sakit, Kal. Dan, aku nggak tahu apa papa masih dikasih umur panjang atau enggak. Kamu lihat, kan, tadi? Papa udah berharap banget kalau kita nikah, Kal. Hubungan kita bukan sesuatu yang diijalani dalam waktu singkat. Kita udah jalan lama, rasanya nggak adil kalau kita berhenti kayak gini." 

Kale menggeleng. "Nne, ini bukan cuma perkara seberapa lama kita jalin hubungan atau kondisi papa kamu yang menurun, tapi lebih dari itu. Dari awal, mungkin memang aku nggak ada perasaan ke kamu. Aku cuma nyaman karena kita satu frekuensi. Maaf kalau ucapan aku agak tega, tapi aku lakuin ini supaya kamu nggak berharap sama hubungan semu kita." 

"Tapi, aku cinta sama kamu, Kal! Aku udah terlalu lama nunggu kamu. Apa kamu tega, kasih harapan palsu sama papa aku? Kamu tega bikin kondisi papa makin buruk?" Ceyanne menatap Kale dengan sorot luka yang membuat rasa bersalah Kale semakin memuncak. Dia mengacak rambutnya kasar. Semuanya menjadi semakin rumit. Permintaan ayah Ceyanne, desakan dari wanita itu, dan perasaan Cinnamon saat mengetahui kejadian ini. Kenapa tidak ada yang bisa dia selesaikan dengan mudah?

Kalau saja ini hanya perkara desakan Ceyanne yang masih belum terima dengan putusnya hubungan mereka, mungkin Kale tak akan sekalut ini, tapi kini ayah Ceyanne pun sudah terlibat. Menikah dengan Ceyanne? Bagaimana bisa? Tapi Kale tak mungkin langsung menolak, bisa-bisa berdampak pada kesehatan ayah Ceyanne. 

"Nne, gini. Bukannya aku mau nyakitin kamu, tapi demi Tuhan. Aku nggak bisa. Jangan memaksa sesuatu yang enggak mungkin terjadi. Aku ... bingung. Kayak yang aku bilang, aku cinta sama Cinnamon, dan aku nggak bisa nikah sama kamu. Aku harap kamu bisa ngerti ini." Telak. Kale mengucapkannya dengan ketegasan. Kemudian, pria itu undur diri, pergi meninggalkan Ceyanne yang langsung merosot ke lantai dengan wajah yang ditutupi tangan.

***


Ada yang mau ditanyain?

Bali, 14 Mei 2023

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang