37. Sealing Gel

4.5K 458 36
                                    

Kalau ini terjadi beberapa bulan lalu, mungkin Kale akan senang. Hidup tanpa gangguan dari Cinnamon adalah keinginannya sedari dulu. Tidak ada lagi suara pekikan yang memekakkan telinga, tidak ada lagi yang akan keluar-masuk ke dalam ruangannya sesuka hati, dan tidak ada lagi yang membuatnya pusing tujuh keliling. Namun, kini rasanya berbeda. Terbiasa mendapati wanita itu berada di restorannya dengan penampilan nyentrik membuat Kale ... kehilangan. Di setiap sudut restorannya, selalu ada jejak Cinnamon. 

Biasanya, Cinnamon akan menyemangati para karyawan saat sedang bekerja, tak jarang dia juga membawa oleh-oleh supaya mereka lebih giat bekerja, tapi kali ini tidak lagi. Kale bukannya tidak tahu kalau beberapa kali, karyawannya, terlebih Rara, menatap ke arah pintu, berharap Cinnamon datang dan menyapa dengan penuh riang. Mereka segan untuk bertanya kepada Kale, lantaran wajah atasannya itu tampak kusut. Persis seperti cucian yang tidak disetrika selama berhari-hari.

Karena masalahnya dengan Cinnamon yang belum selesai, suasana hati Kale menjadi sangat buruk. Dia bahkan memarahi karyawannya untuk hal-hal sepele. Dia benar-benar berubah perfeksionis. Kesalahan sedikit saja bisa berakibat fatal baginya meski tidak sampai memecat. Paling-paling hanya menegur di depan semua karyawan. Kale akui, hari ini dia sangat tidak profesional. Dia seperti remaja labil yang sedang patah hati. 

Omong-omong, mengenai Ceyanne. Wanita itu memilih untuk mengundurkan diri dari restoran. Kale tidak berusaha untuk menahan, karena ini adalah konsekuensi yang harus Kale tanggung. Dia tidak bisa berada di antara dua wanita. Sebagai seorang pria, dia harus memilih salah satu di antara keduanya dan melepaskan yang satunya. 

Berat memang, apalagi Ceyanne sudah lama berada di restoran, banyak membantu Kale. Namun, apa yang bisa Kale lakukan? Kale tak kuasa untuk membiarkan Ceyanne supaya tetap berada di sisinya. 

Meski Kale memilih Cinnamon, Kale belum datang ke rumah wanita itu. Bukannya ingin membiarkan masalah semakin berlarut-larut dan membuat Cinnamon salah paham, tapi dia rasa Cinnamon memang perlu waktu. Kalau Kale datang di saat emosi Cinnamon yang masih belum stabil, yang pikirannya masih diisi hal-hal negatif, tentu semuanya tidak akan beres. Alih-alih selesai, yang ada keduanya semakin tersulut amarah. 

Di tengah-tengah kemelut yang menyiksa Kale, pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. Kale yang sebenarnya sedang tidak ingin menerima tamu dari mana pun, hanya bisa mengembuskan napas kasar. Dia tidak bisa sembarangan mengusir, barangkali ada perlu penting dengannya. 

"Masuk." 

Bertepatan dengan suara Kale, pintu ruangannya terbuka, menampilkan sosok perempuan yang sangat Kale kenal. "Briea? Kamu ngapain ke tempat kerja abang?" tanya Kale seraya bangkit dari duduknya. 

"Bukan aku yang pengin ketemu, tapi mama." Begitu Briea menyingkir dari pintu, tampak ibu Kale yang sudah berada di belakang adiknya. Kale benar-benar tidak sadar, kalau bukan Briea yang memberitahu. 

"Loh, Ma? Mama ngapain ke sini? Kalau ada perlu, bisa tunggu Kale pulang." Kale cepat-cepat menghampiri ibunya, hendak memeluk wanita paruh baya itu tapi segera ditepis oleh si empunya. Kale bingung dengan tindakan sang ibu. Perasaan, kemarin-kemarin mereka masih baik-baik saja. Atau jangan-jangan...

"Kamu nggak jadi nikah sama Ceyanne, Kal?" 

Benar saja. Ibunya menyinggung masalah ini. Seharusnya Kale tahu kalau keluarganya dan keluarga Ceyanne memiliki hubungan yang cukup akrab. Dan, Kale baru saja menghancurkan hubungan dua keluarga itu dengan keputusan tergesa-gesanya. 

Tidak, kalau dibilang tergesa-gesa, tidak juga. Keputusan ini murni dari hatinya, setelah merenung selama semalaman penuh. 

"Iya." 

"Kenapa?" 

"Mama duduk dulu, ya. Pasti capek panas-panasan ke tempat kerja Kale. Mama mau minum apa? Nanti Kale kasih tahu karyawan Kale." Kale menggiring ibunya menuju sofa yang sudah diduduki oleh Briea. Anak itu seolah-olah tuli, lebih fokus dengan camilan yang berada di atas meja Kale daripada mendengarkan omelan ibunya yang sepanjang kereta api.

"Mama pakai mobil, jadi nggak bakal kepanasan. Lagi pula, kenapa kamu bisa mutusin hubungan kamu sama Ceyanne, Kal? Kalian mau nikah, loh. Masa kandas di tengah jalan? Mama nggak enak sama keluarga Ceyanne. Kamu udah kasih harapan ke dia, tapi kamu juga yang hancurin harapan itu." 

Kale menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Jujur saja, dia bingung harus memulai cerita dari mana. Tidak mungkin juga dia berkata kalau Cinnamon yang sudah menjadi orang ketiga di hubungannya dengan Ceyanne. Kale tak ingin ibunya membenci Cinnamon. 

"Jadi, gini Ma. Mama tahu, kan, kalau Kale sama Ceyanne belum ada status pasti? Kale juga nggak pernah mengiyakan pertanyaan Mama tentang pernikahan kami berdua. Dan, seiring berjalannya waktu, perasaan Kale ke Ceyanne cuma sebatas teman doang, nggak lebih. Mau gimanapun Kale berusaha, rasanya tetep sama. Kale nggak cinta sama dia." 

"Terus, kamu cintanya sama siapa, Kal? Mama nggak suka kalau kamu gantungin anak orang seenak jidat. Kalian udah kenal lama banget, Kal. Wajar kalau Ceyanne kecewa karena kamu yang labil begini." Ibu Kale memijit pelipisnya, pusing. Dia juga terkejut saat menjenguk ayah Ceyanne bersama Briea. Alih-alih mendapat sambutan hangat, ibu Hazel justru mendapat tatapan dingin dan aura permusuhan yang begitu kentara dari keluarga Ceyanne, yang membuat ibu Kale bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.

Kecewa terpancar di wajah ibu Kale begitu mendengar fakta dari sang anak bungsu, Briea. Alhasil, dia langsung pergi ke restoran Kale untuk meminta penjelasan lebih lanjut.

"Kalau Kale bilang, cintanya sama Cinnamon, gimana menurut Mama?" Sebenarnya, Kale tak meminta persetujuan ibunya. Mau setuju atau tidak, dia akan tetap memperjuangkan Cinnamon. Namun, barangkali dia bisa memberi pengertian kepada sang ibu supaya menerima Cinnamon sepenuh hati.

"Cinnamon?" Ibu Kale manatap anak sulungnya yang mengangguk. 

"Kamu ninggalin Ceyanne karena Cinnamon?" 

Kale langsung menggeleng. Dia berjongkok di hadapan sang ibu, menggenggam tangan wanita paruh baya itu. "Cinnamon nggak salah apa-apa, Ma. Kale yang salah karena nggak pernah tegas dari dulu. Awalnya, Kale biasa aja sama Cinnamon. Tapi, lama-kelamaan, Kale sadar kalau ada dari diri Cinnamon yang nggak ada di diri Ceyanne, yang bikin Kale tertarik. Kale yang kaku, butuh Cinnamon yang ceria. Dia memang anak yang aktif, tapi Kale suka. Dia selalu punya cara untuk bikin Kale nyaman sama dia. Asal Mama tahu, gara-gara dia, Kale selalu penasaran sama apa yang dia lakuin di hari esok, yang bikin Kale selalu semangat untuk nunggu hari berganti." 

"Uhuk!"

Kale seketika menoleh saat mendengar suara batuk. Dia memberi tatapan peringatan kepada Briea yang bersikap seolah-olah akan muntah, mungkin geli mendengar ucapan kakaknya yang sedikit alay. Kale yang dikenal Briea tidak suka menebar kata-kata manis begitu.

"Jadi, kamu memilih Cinnamon daripada Ceyanne?"

Kale mengangguk cepat. "Iya, Ma. Mama restuin kami, kan?" 

Ibu Kale terdiam selama beberapa saat sebelum menghela napas panjang. "Mama nggak pernah larang kamu sama siapa aja, Kal. Tapi, yang mama nggak suka adalah sikap kamu yang nggak bisa tegas. Rasanya mama pengin masukin kamu ke perut mama lagi."

"Maaf, Ma." Kale menunduk, seperti anak kecil yang dimarahi oleh ibunya.

"Terus, di mana Cinnamon?" tanya ibu Kale, membuat anaknya mendongak. Sambil meringis, dia menjawab, "Lagi ngambek, Ma."

***


Ada yang udah makan? Aku belum. Mau makan dulu wkwkwkwk

Ps. 3 part lagi menuju ending. Ada kata-kata?

Bali, 18 Mei 2023

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang