7. Face Mist

4.8K 552 24
                                    

Selesai makan, Cinnamon yang memang belum ingin pulang hanya berdiri di samping pintu mobil, membuat Kale yang hendak masuk, langsung mengurungkan niatnya dan menatap Cinnamon dengan alis terangkat satu.

"Apalagi?" tanya Kale sambil bersandar di pintu mobil. Sejujurnya, dia lelah sekali setelah seharian ikut mengurusi acara ulang tahun ibunya. Dia ingin segera membaringkan tubuh di atas kasur, tapi gara-gara Cinnamon, rencana itu gagal. Padahal, besok dia harus datang lebih pagi untuk membuka restoran karena Rara libur.

"Gimana kalau kita jalan-jalan, Kal?" Berbanding terbalik dengan Kale, Cinnamon justru tak ingin melewatkan kesempatan yang langka ini. Kapan lagi dia bisa berduaan bersama Kale tanpa Ceyanne, kan? Biasanya, wanita itu selalu menempeli Kale bak lem dan perangko.

Kale mengembuskan napas. "Dari awal, tujuan saya itu membawa kamu pulang ke rumah, bukan malah mampir ke sana-kemari."

"Ya, kan, mumpung kita ada di sini, Kal. Sekalian. Lagi pula, sekarang malam Minggu juga." Cinnamon masih mencoba membujuk Kale. Namun, pria yang enggan untuk berlama-lama dengan Cinnamon itu tetap pada pendiriannya.

"Mending kamu masuk mobil, saya antar pulang. Sebentar lagi malam." Kale lebih dulu masuk ke dalam mobilnya. Ketika melihat Cinnamon yang masih tak bergerak, Kale menurunkan kaca mobil di sebelah Cinnamon.

"Gak masuk? Kamu mau pulang sendiri? Nggak masalah."

Mendengar ucapan Kale yang tak acuh, Cinnamon mendengkus. Andai Ceyanne yang memintanya, pasti Kale tak kuasa menolak. Bahkan, pria itu akan senang sekali karena bisa berduaan dengan sang pujaan. Perbedaan sikap Kale saat bersamanya tersebut berhasil menyentil hati Cinnamon. Alhasil, daripada semakin kesal, dia memilih untuk pergi dari sana dengan langkah terhentak. Biarkan saja kalau Kale memang ingin meninggalkannya. Dia bisa pulang menggunakan taksi.

Barangkali terlalu kesal, Cinnamon tak menyadari ada grill penutup saluran air dan menginjaknya, membuat salah satu tumit sepatu wanita itu patah. Cinnamon seketika mengerang sebal seraya melepas alas kakinya. Dia mencoba memasangkan kembali, tapi gagal.

"Sial banget, sih, nasib aku?" sungut Cinnamon. Dia meneruskan langkahnya dengan bertelanjang kaki untuk mencari taksi, sementara tangannya menenteng sepatu tersebut. Hancur sudah keinginannya untuk berjalan-jalan. Dalam keadaan begini, dia benar-benar terlihat seperti wanita yang sedang putus cinta.

Cinnamon berhenti di penyebrangan jalan. Kendaraan yang hilir mudik semakin banyak karena biasanya jam-jam segini orang-orang sedang dalam perjalanan pulang. Begitu lampu pejalan kaki berwarna hijau, Cinnamon hendak menyeberang, tapi tiba-tiba tangannya ditarik seseorang, membuatnya spontan berbalik.

Mata Cinnamon sontak membulat sempurna tatkala melihat sosok bertubuh jangkung yang berdiri di hadapannya. "Kale?"

"Sebenarnya mau kamu apa, Cin?" tanya Kale, kesal. Titik-titik keringat membasahi kening pria itu dengan napas terengah-engah.

"Maksud kamu?"

"Kalau saya suruh pulang, ya, pulang. Jangan jadi orang yang keras kepala. Mama nitip kamu sama saya supaya saya bisa antar kamu pulang dengan selamat. Kamu udah dewasa, bukan anak kecil lagi yang suka ngambek."

Cinnamon yang tak terima dengan kata-kata Kale, langsung melepas pegangan pria itu di pergelangannya. "Kamu suruh aku pulang sendiri, kan? Harusnya kamu senang, dong, nggak perlu lagi bolak-balik untuk antar aku. Tapi kenapa kamu malah marah-marah kayak gini?"

"Karena mama minta saya untuk antar kamu pulang. Yang berarti, saya berkewajiban untuk memastikan keselamatan kamu."

"Ya, udah. Bilang sama mama kamu kalau aku udah pulang dengan selamat. Toh, mama kamu nggak tahu juga, kan, kalau aku pulang sendiri."

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang