34. Silky Powder

4.1K 407 43
                                    

"Kal, kamu dari mana aja? Rara bilang kamu keluar. Seharusnya kamu bangunin aku."

"Saya nggak mau ganggu tidur kamu, Cin. Lagi lelap banget kayaknya."

Cinnamon mengernyit, merasa aneh dengan Kale. Entah kenapa, wajah pria itu sedikit ... berbeda? Seperti sedang banyak pikiran. Padahal, beberapa saat lalu, Kale masih terlihat baik-baik saja. Semenjak Kale baru datang dari kepergiannya yang tidak tahu ke mana, dia jadi tidak bersemangat.

Meski memang, ekspresi Kale selalu sama setiap harinya; datar, tapi ini lebih kusut dari biasanya. Apa kepergiannya membawa berita buruk? Saat terbangun, orang pertama yang Cinnamon cari adalah Kale. Namun, Kale tidak ada, hanya jaketnya saja yang menutupi tubuh Cinnamon. Ketika bertanya dengan Rara, jawaban Rara juga tidak pasti. Hanya bilang kalau Kale pergi begitu saja setelah menitipkan Cinnamon kepada Rara.

"Are you okay, Kal? Lagi ada masalah atau apa? Mungkin kamu bisa cerita sama aku." Cinnamon maju, semakin mendekat ke arah Kale, lalu mengelus lengan Kale lembut.

Kale menggeleng pelan. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya kepada Cinnamon. Dia tidak ingin wanitanya khawatir. Ini masalahnya, yang berarti dia sendiri yang harus menyelesaikan. Cinnamon tidak ikut serta, dan tak akan pernah dia seret ke dalam permasalahannya. Meski cepat atau lambat, Cinnamon pasti akan mengetahui.

"Can i hug you?"

Cinnamon semakin khawatir. Kale tidak akan tiba-tiba seperti ini. Namun, Cinnamon memilih diam, dan menarik tubuh besar Kale untuk kemudian dipeluknya. Helaan napas berat Kale langsung mengenai leher belakang Cinnamon, yang semakin memperkuat dugaannya kalau Kale sedang tidak baik-baik saja.

"Aku memang nggak tahu apa yang terjadi sama kamu, Kal. Tapi yang harus kamu tahu, aku selalu ada di sini. Kapan pun diperlukan, aku bakal siap untuk peluk kamu. Aku bakal selalu nemenin kamu," ucap Cinnamon, setengah berbisik sambil mengusap punggung lebar Kale, naik-turun.

Kale tak menjawab, tapi pelukannya semakin dipererat. Dia menenggelamkan wajahnya di bahu Cinnamon, menghirup aroma manis Cinnamon dengan rakus, seolah-olah tak ingin melewatkannya sedetik saja. Demi Tuhan ... dia sayang dengan wanita ini. Belum pernah dia memiliki perasaan sebesar ini. Dia ingin menghabiskan hidupnya bersama Cinnamon, tapi apa bisa? Di saat kemelut mulai merasuki dada, apa Cinnamon masih mau bersamanya? Apa Cinnamon masih mau menerima pria yang tidak bisa tegas dengan pilihan hidupnya sendiri?

Atau justru ... dia akan kehilangan Cinnamon selamanya?

***

Dalam balutan kaus putih panjang dan celana training abu, Kale turun dari kamarnya, menuju ruang makan untuk makan malam. Rambut pria itu masih setengah basah dengan aroma shampoo yang menguar, pertanda kalau dia baru saja keramas. Kepalanya benar-benar pusing memikirkan masalah yang masih belum terselesaikan satu pun, jadi dia pikir dengan keramas bisa membuat kepalanya menjadi lebih dingin. Meski kenyataannya sama saja.

"Hai, Kal! Tadi adek kamu bilang kalau kamu masih di kamar mandi, jadi kami tunggu di bawah aja." Ibunya yang pertama kali menyapa ketika Kale sampai di ruang makan yang sudah dipenuhi oleh keluarganya.

"Hai, Ma. Iya, Kale yang minta adek untuk turun duluan." Kale menarik kursi di sebelah adiknya lalu duduk. Dia sempat mengacak rambut Briea, yang menimbulkan protesan dari perempuan manis itu.

"Iseng banget, sih, jadi orang!" Briea merapikan rambutnya yang diacak-acak oleh Kale.

"Kalian ini, berantem terus. Nanti kalau udah jauh-jauhan, saling kangen," ucap Olivia.

Kale hanya terkekeh pelan, tak ingin melanjutkan percakapan mereka. Pikirannya masih ramai, dan Kale belum menemukan solusi untuk permasalahan tersebut—sebenarnya ada, tapi dia tidak bisa. Waktunya tidak tepat. Kale masih memikirkan kondisi ayah Ceyanne kalau mendengar penjelasannya. Alih-alih sembuh, bisa jadi ayah Ceyanne semakin memburuk.

Kemudian, mereka makan dalam keheningan. Hanya ada suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Selebihnya, mereka fokus pada makanan masing-masing hingga tandas. Biasanya, setelah makan malam, keluarga Kale mengobrol sebentar—membahas mengenai hari yang mereka lalui—sebelum kembali ke kamar untuk istirahat. Namun, Kale sedang tidak ingin membicarakan apa pun. Dia lelah, ingin segera merebahkan diri di atas kasur, tapi ibunya justru tak sependapat dengannya. Karena ketika Kale hendak bangkit dari duduknya, sang ibu memanggil, membuat Kale mengurungkan niatnya untuk pergi.

"Kenapa, Ma?"

"Tadi mama sama papa jenguk papanya Ceyanne di rumah sakit." Ini baru awal pembicaraan, tapi Kale sudah duduk dengan gelisah. Dia sudah tahu ke mana arah pembicaraan ibunya, yang pasti akan sangat panjang.

"Om Bimo sakit, Ma? Sakit apa?" Bukan Kale yang bertanya, melainkan Briea. Terkadang, ada untungnya Kale memiliki adik yang cukup cerewet, persis seperti ibunya.

"Sakit jantung. Tadi masuk rumah sakit. Mama sama papa sempat bicara sama orang tua Ceyanne. Mereka berharap kamu dan Ceyanne bisa menikah secepatnya."

Kale hanya diam, sudah mengetahui kalau ibunya akan membahas mengenai hal ini. Apalagi memang? Ibunya dan orang tua Ceyanne sudah sangat menantikan momen tersebut. Di mana dia dan Ceyanne bisa bersanding di pelaminan. Berbeda dengan Kale, Briea justru terkejut, hingga tersedak air mineral yang diminumnya.

"Dek, pelan-pelan." Kale menepuk pelan punggung Briea.

"Pernikahan, Bang? Abang sama Mbak Anne?" tanya Briea dengan suara pelan. Kale hanya membalas dengan menyunggingkan senyuman singkat.

"Gimana, Kal?" Ibunya menunggu jawaban Kale.

"Ma, Kale—"

"Kalau aja hubungan kalian belum selama ini, mungkin mama masih maklum dan enggak terlalu menuntut. Masalahnya, hubungan kalian udah lama, loh, Kal. Kamu udah enggak bisa pakai alasan pekerjaan atau impian kamu lagi. Kalian udah sama-sama dewasa, udah cukup umur untuk membahas tentang pernikahan. Kamu nggak bakal selamanya menggantung Ceyanne, kan?" Ibunya melanjutkan. Ada sorot harap di netra wanita paruh baya itu.

"Ini bukan cuma perkara itu aja, Ma," ucap Kale sambil memijit pelipisnya. Dia sudah cukup pusing dengan semua yang terjadi secara bersamaan, dan ibunya ikut menambahkan.

"Tapi sikap kamu yang kurang tegas dengan hubungan kamu dan Ceyanne membuat kalian jalan di tempat. Sebagai sesama perempuan, tentu mama tahu gimana perasaan Ceyanne. Dia cuma bisa nunggu kepastian dari kamu, Kal. Daripada menunda-nunda, bukannya lebih baik pernikahan kalian dipercepat?"

Briea yang menyadari ketidaknyamanan di wajah Kale, hanya melirik dari ekor matanya tanpa bisa melakukan apa-apa. Briea ingin sekali membantu kakaknya, tapi umurnya yang belum dewasa, rasanya belum pantas untuk masuk ke dalam obrolan serius. Alhasil, tangan Briea yang ada di bawah meja, menepuk pelan punggung tangan Kale, menyemangati.

"Ma, jangan paksa Kale. Dia punya hak untuk memutuskan apa yang terbaik untuk dia. Kale udah cukup dewasa untuk setiap langkah yang dia ambil." Kini, giliran Carlo yang buka suara. Sedari tadi, dia sudah memperhatikan ekspresi semrawut yang terpampang di wajah Kale. Setelah memilih untuk diam, menyimak obrolan ibu dan anak itu, Carlo yang sudah tak tahan, akhirnya ikut menimpali. Walaupun terlihat tidak peduli, nyatanya Carlo lah yang paling mengerti perasaan anak-anaknya.

"Pa, tapi mama juga perlu nyadarin Kale kalau yang dia lakuin itu salah." Tatapan Olivia berpaling ke arah sang suami.

"Papa tahu, tapi papa yakin kalau Kale akan menyelesaikan ini semua."

"Kale ngantuk, mau tidur. Night, Ma, Pa. Bri, jangan begadang!" Kale langsung bangkit, memutus pembicaraan malam ini. Bukannya sedang melarikan diri, tapi Kale perlu ruang untuk memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah yang menggerogoti kepalanya.

***


Ada yang suka KPop di sini? Cung donggg!! Wkwk

Sampai jumpa!!

PS. Mungkin beberapa hari ini, aku gaada note karena sibuk nonton 🤣

Bali, 15 mei 2023

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang