36. Acne Spot Care

4.6K 448 53
                                    

Untuk kesekian kalinya, Kale menghela napas panjang. Dia melirik Briea yang sedang mengobati luka di jari-jarinya dengan serius. Barangkali karena terlalu memikirkan masalah tadi, Kale bahkan tak bisa merasakan sakit saat Briea menuangkan betadine di lukanya. Kale bukan tanpa alasan memanggil Briea ke kamarnya, melainkan karena dia perlu saran dari adiknya itu. Memiliki gender yang sama dengan Cinnamon, Briea tentu tahu apa yang harus Kale lakukan supaya Cinnamon tidak marah lagi kepadanya, hingga kontak Kale diblokir dan sosial medianya di-unfollow.

Kale berpikir, mungkin Cinnamon masih perlu waktu untuk menenangkan diri, membuat Kale tidak menyusul ke rumah wanita itu. Kale juga harus memikirkan cara untuk menyelesaikan masalahnya. Mereka berdua perlu ruang sendiri.

"Jadi, Mbak Cinna denger percakapan Abang sama Mbak Anne?" tanya Briea setelah membalut tangan Kale menggunakan perban. Dia sempat terkejut saat melihat luka Kale, mengira kalau kakaknya usai adu jotos dengan orang lain. Namun, anehnya dia tak menemukan luka lain di wajah atau tubuh pria itu, membuatnya menghapus pikiran buruk tersebut.

Baru ketika Kale bercerita, Briea akhirnya tahu dari mana luka itu berasal. Beruntung, orang tua mereka sedang tidak ada di rumah. Kalau ibunya melihat Kale dalam kondisi begini, bisa-bisa ibunya histeris dan besar kemungkinan akan menjadi hiperbola. Tentu Kale tidak menyukainya. Kakaknya itu memang bukan tipe orang yang ribet, dan juga kurang peka. Briea yang hanya mendengarnya saja sudah kesal setengah mati dengan Kale, apalagi Cinnamon. Tak pelak kalau Cinnamon memilih untuk pergi daripada terus bersama pria yang tidak bisa tegas dengan pilihannya sendiri.

"Iya. Tapi cuma setengah, Dek. Abang mau jelasin, dia nggak mau denger. Abang harus gimana? Dia kayaknya bener-bener marah sama abang," ucap Kale dengan wajah lesunya. Jujur saja, Briea tak pernah melihat Kale seperti ini sebelumnya. Selama mengenal Kale, Briea tahu kalau kakaknya itu lebih suka memendam semua masalahnya sendirian, seberat apa pun. Kale berpura-pura kuat supaya tidak dikasihani, tapi kini dia seperti orang yang sedang patah hati. Berantakan.

"Ya, gimana Mbak Cinna mau dengerin kalau kata-kata Bang Kale malah bikin dia sakit hati. Bang, dengerin aku. Perempuan kalau lagi marah itu, butuh jawaban yang pasti. Butuh kalimat penenang sama pelukan. Masalahnya, bukannya nenangin, Abang makin bikin Mbak Cinna overthinking. Bentuk tanggung jawab karena udah mengacaukan hidup Bang Kale? Bisa-bisanya Abang bilang kayak gitu."

"Maksud Abang supaya dia bisa stay. Dia udah masuk ke dalam hidup Abang dan mengacaukan semua rencana Abang, jadi dia nggak boleh pergi gitu aja."

"Dan, Bang Kale berpikir kalau Mbak Cinna bakal ngerti? Bang. Mbak Cinna bukan ahli bahasa yang paham maksud tersirat Abang. Aku kalau jadi Mbak Cinna juga pasti mikirnya Bang Kale pengin aku pergi."

"Abang nggak butuh omelan kamu, Bri. Abang cuma perlu saran dari kamu. Kalian sama-sama perempuan, pasti tahu apa yang pengin pasangannya lakuin." Kale merebahkan dirinya di atas kasur, diikuti Briea yang tidur di sebelahnya dengan lengan Kale yang menjadi bantal. Sambil bersedekap, dia memalingkan wajahnya ke arah Kale yang menatap lurus ke langit-langit kamar.

"Pertama-tama, Abang harus selesaiin semua masalahnya dulu. Abang harus kasih tahu Om Bimo yang sebenarnya, nggak peduli kalau Mbak Anne ngelarang. Lagi pula, aku yakin kalau Om Bimo nggak bakal langsung meninggal waktu denger berita yang Bang Kale sampaiin. Kalaupun drop, Om Bimo, kan, udah ada di rumah sakit. Tinggal panggil dokter, urusan selesai. Bang Kale nggak ada sangkut-pautnya sama kesehatan Om Bimo. Inget, Bang Kale itu chef, bukan dokter."

Kale melirik Briea lalu menarik hidung adiknya hingga mengaduh sakit. "Pinter banget ngomongnya anak kecil ini."

"For your information aja. Aku bukan anak kecil lagi!"

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang