Sebelumnya, Cinnamon cukup enggan berkutat dengan peralatan dapur. Dia lebih memilih untuk mencoba make up terbaru atau latihan merias diri di dalam kamarnya. Dia merasa memasak membuat tangannya melepuh karena terkena minyak panas atau menjadi kasar. Namun, tidak untuk hari ini. Ide memasak bersama pasangan tentu tidak masuk ke dalam hal-hal yang dia hindari. Dia bahkan tak menyangka akan menyukai seseorang yang tertarik pada bidang ini.
Tak ada yang spesial dengan orang yang tengah memasak. Dia juga tidak punya obsesi dengan seseorang yang tengah memotong-motong bawang dengan apron yang melingkari pinggang. Dia ... melihat orang yang tengah memasak dengan tatapan biasa saja, tapi tidak untuk Kale. Karena sepertinya Cinnamon sudah mulai gila. Melihat Kale yang sedang berkutat dengan pisau dan bahan-bahan dapur, serta apron yang melingkari pinggang kokohnya, membuat Cinnamon terpaku. Sambil bersandar di pintu kulkas dengan tangan membawa minuman hangat, rasanya dia tidak ingin menyia-nyiakan pemandangan indah ini.
Kalau bisa, Cinnamon sangat ingin memeluk Kale dari belakang. Minuman hangat yang dia bawa bahkan kalah telak kalau dibandingkan dengan hangatnya melihat Kale yang sedang memasak.
"Daripada cuma bengong lihatin saya, kenapa nggak coba bantu?" tanya Kale tanpa berpaling.
"Kenapa? Kamu butuh bantuan?" Cinnamon bergerak mendekati Kale. Tanpa sadar, Cinnamon menggigit bibir bawahnya saat mengamati bagaimana urat-urat di tangan Kale semakin terlihat, yang menambah ketampanan pria itu. Ah, semua yang ada di diri Kale benar-benar sempurna di mata Cinnamon. Bukankah wajar, kalau wanita seperti Cinnamon yang belum pernah menemukan pria baik, menjadi tergila-gila pada Kale yang memenuhi semua kriterianya?
"Kalau kamu mau bantu, saya bakal menghargai itu." Kale melirik Cinnamon sekilas. Bukan tanpa alasan dia memasak di rumah Cinnamon. Pertama, karena hujan masih mengguyur di luar sana. Kedua, rumah Cinnamon sepi lantaran neneknya pergi ke rumah tante Cinnamon. Ketiga, mereka sama-sama sedang lapar, dan tidak memungkinkan untuk pergi ke luar di saat hujan begini. Beruntung, bahan-bahan masakan di dapur Cinnamon cukup lengkap untuk sekadar membuat masakan simpel. Jadi, Kale mengusulkan ide untuk memasak, setidaknya mereka tidak akan kelaparan sampai hujan reda.
"Aku sukanya makan, daripada masak. Lagi pula, udah ada kamu. Aku bantu lihat aja." Cinnamon nyengir, memperlihatkan gigi-giginya yang tertata rapi.
Kale menghela napas lalu menoleh menghadap Cinnamon yang berdiri di sebelahnya dengan satu tangan berkacak pinggang dan tangan lainnya bertumpu pada pinggiran dekat kompor. Entah kenapa, Kale suka melihat Cinnamon yang mulai percaya diri. Barangkali karena kata-katanya tempo lalu, Cinnamon menjadi menipiskan riasannya. Bahkan, kini wanita itu tidak memakai riasan, memperlihatkan wajah naturalnya yang sangat sehat. Padahal, wanita itu sudah secantik ini, tapi kenapa dia justru menutupinya dengan make up yang tebal?
"Kalau gitu, kamu tunggu di ruang tamu aja. Begitu makanan udah selesai, saya bakal panggil kamu. Atau kamu mau kita makan di ruang tamu? Bebas. Saya ikut kamu aja."
Cinnamon menggeleng. Tentu dia tak akan melewatkan kesempatan yang tak akan datang dua kali. Dia harus merekam setiap momen ini ke dalam kepala kecilnya—kalau-kalau Kale tak mau mengulang peristiwa ini lagi. Kecuali kalau mereka langgeng sampai pernikahan.
Membayangkan mereka menikah, membuat hati Cinnamon berdesir. Bagaimana nanti dia akan melihat pemandangan ini di setiap pagi; Kale yang memasak dan Cinnamon yang melihat sambil sesekali menggoda pria itu. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal di benaknya; Ceyanne. Wanita itu seolah-olah menghantui Cinnamon, tiap kali dia sedang bersama Kale. Sepertinya Ceyanne tak akan membiarkannya tenang sebentar saja.
"Kamu sering begini juga sama Ceyanne?" Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat Cinnamon cemburu. Apa jangan-jangan mereka melakukan sesuatu yang lebih dari ini? Apa Kale dan Ceyanne sering memasak bersama? Lalu, mereka akan saling bercanda dan tertawa bersama?
Berbeda dengan Cinnamon yang berekspresi cemas, Kale hanya mengangkat alisnya dengan raut wajah tenang. "Kamu mau saya begini juga sama Anne?"
"Memang pernah?"
Kale terdiam sejenak, yang semakin membuat Cinnamon overthinking. Namun, gelengan pria itu seolah-olah menjadi jawaban atas kecemasan Cinnamon. "Enggak. Baru kali ini. Walaupun saya sama Anne dekat, dia perempuan yang mandiri. Boro-boro saya masakin, dia selalu jadiin saya kelinci percobaan atas eksperimen yang dia bikin."
"Ya, sama aja. Berarti kalian pernah ada di momen ini juga. Nggak peduli siapa yang masak untuk siapa." Cinnamon mendengkus. Memang, dia tidak boleh untuk cemburu. Ceyanne lebih dulu ada di kehidupan Kale. Dan, sepertinya justru Ceyanne yang kesal dengan Cinnamon karena sudah merebut Kale secara sengaja, padahal jelas-jelas hubungan Kale dan Ceyanne sudah sedekat itu. Cinnamon seperti wanita tidak tahu diri yang sempat-sempatnya meributkan hal sepele begini.
Alis Kale berkerut samar. Mematikan kompor, dia semakin mendekat kepada Cinnamon sebelum mengangkat tubuh wanita itu supaya duduk di dekat wastafel, membuat si empunya memekik terkejut. Tak sampai di situ, Kale juga meletakkan tangannya di sisi Cinnamon, mengungkungnya.
"K-Kale?"
"Hm?"
Berada dalam posisi ini, Cinnamon benar-benar gugup. Jaraknya dengan Kale sangat dekat, menimbulkan degupan di jantungnya, seperti akan meledak. Perlahan, tatapan Cinnamon tertuju pada bibir Kale. Tiba-tiba, dia merasa haus—padahal baru saja dia minum—hingga dia menelan ludahnya. Kira-kira, bibir Kale masih semanis tadi atau lebih manis, ya?
Seketika, alarm peringatan berbunyi, membuat Cinnamon tersadar.
"K-kamu jangan deket gini." Cinnamon berusaha mendorong dada Kale, meski sia-sia. Pria itu terlalu kokoh.
"Kamu yang mancing saya duluan, Cin. Jadi, jangan salahin saya." Alih-alih menuruti ucapan Cinnamon, Kale justru semakin mendekatkan wajahnya hingga mereka bisa merasakan deru napas masing-masing.
"Mancing gimana. Nggak ada. Aku cuma tanya tentang Ceyanne."
"Justru itu poinnya. Kamu berbicara tentang Ceyanne sat kita lagi berdua. Kamu tahu kalau saya nggak suka ada orang lain masuk ke dalam pembicaraan kita?" Salah satu tangan Kale terangkat, merapikan anak-anak rambut Cinnamon yang menutupi dahi wanita itu, sebelum bergerak semakin turun, mengusap bibir Cinnamon pelan.
Cinnamon benar-benar tak berkutik. Dia dibuat mati kutu oleh Kale. Dia bahkan tidak tahu kalau Kale bisa seberbahaya ini. Dia pikir, Kale hanyalah pria kaku yang tidak menyukai hal-hal seperti ini. Kalau begini caranya, bukannya Cinnamon yang membuat Kale deg-degan, tapi malah Kale yang membuat Cinnamon melayang.
"Kamu ... nggak suka?" tanya Cinnamon dengan berbisik. Dia sudah tidak punya tenaga lagi untuk berbicara dengan nada biasa kepada Kale.
"Enggak. Aku nggak pernah suka dengan conversation tadi." Kale memiringkan kepala dengan wajah yang semakin mendekat, membuat Cinnamon refleks memejamkan mata, tapi sampai detik kelima, tak ada apa pun yang terjadi. Perlahan, kelopak mata Cinnamon terbuka. Dan, hal pertama yang dia lihat adalah Kale yang sedang tersenyum dengan wajah yang sudah tidak sedekat tadi.
Sialan! Dia dibohongi!
***
I'm backkkkk!!!!
Hola manteman!! Aku update cepet lagi, kan?? Tepuk kaki dulu dongg wkwkwk. Gak nyangka udah part 30 aja ya. Tapi lama banget sih, karena kalian nunggu dari tahun lalu. Huhuuuu, mianhaeeee. Mudah-mudahan aku bisa selesaiin di bulan ini. Aamiin. Ya, karena kesibukan aku juga berkurang. Alhamdulillah. Tapi pengen cari kesibukan lagii wkwk
Oh iya. Di part 30 ini, aku pengen tanya pesan dan kesan kalian ke aku atau tokoh di cerita aku. Bebas, mau yang mana aja. Mungkin kalau kalian udah baca dari novel sebelum-sebelumnya, mungkin bisa kasih kesan dan pesan. Dan juga saran, atau kritik. Gapapaaa. Bakal aku terima.
Itu dulu aja, dehh. Kita ketemu lagi, ya!!
Sampai jumpa!!
Bali, 11 Mei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
A Blessing In Disguise (END)
Romans#Romance-comedy #Make-up series #Food series Bagi Cinnamon, skincare dan make up adalah dua hal yang sangat penting untuk menunjang penampilannya sebagai beauty vlogger. Apalagi di masa kini, penampilan luar selalu dijadikan patokan untuk menilai se...