27. Face Primer

3.9K 457 51
                                    

Kale tidak mungkin menyukai Cinnamon. Perasaan yang timbul tanpa dia sadari adalah murni karena rasa kemanusiaan. Kehidupan Cinnamon yang cukup berat berhasil membuka mata hati Kale untuk melihat Cinnamon dari sisi yang lain. Hanya itu. Tak ada maksud apa pun seperti dugaan Ceyanne.

Namun ... kenapa Kale tidak mengelak saat Ceyanne mengambil kesimpulan begitu? Dia bahkan hanya meminta Ceyanne untuk menenangkan diri, padahal yang wanita itu butuhkan adalah klarifikasi.

Embusan napas meluncur dari mulut Kale. Dia menatap seisi ruangannya yang sepi, tak seperti beberapa saat lalu yang dipenuhi tangisan Ceyanne. Tadi, begitu tangisan Ceyanne agak mereda, Kale meminta wanita itu untuk memberinya waktu sendirian, enggan untuk diganggu oleh siapa pun saat isi pikirannya penuh dengan kecamuk.

"Sial!" Kale mengacak rambutnya, kesal, ketika tiba-tiba wajah Cinnamon muncul di pikirannya tanpa bisa dicegah. Entah kenapa, tangisan Cinnamon malam itu jauh lebih menyakiti hatinya ketimbang tangisan Ceyanne hari ini.

Cinnamon ... berhasil memunculkan perasaan ingin melindungi yang sebelumnya bersembunyi di hati Kale. Memang, dia sudah bersumpah dengan ayah Ceyanne untuk melindungi wanita itu, tapi rasanya berbeda. Selama ini, dia berusaha melindungi Ceyanne untuk membuktikan kepada ayah Ceyanne kalau dia bisa dipercaya. Hanya sebatas formalitas belaka, sekaligus tidak ingin membuat pria paruh baya itu kecewa.

Sementara bersama Cinnamon, nalurinya bermain dengan alami. Tanpa diminta—seolah-olah ini memang kehendak Kale. Padahal, Cinnamon yang orang-orang lihat merupakan wanita yang tangguh, tak ingin dikasihani, dan selalu menebar keceriaan di mana pun Cinnamon berada.

Cinnamon, Cinnamon. Apa yang sudah wanita itu lakukan kepadanya?

Kale terpejam sebentar, memikirkan bagaimana dia harus memastikan perasaannya sendiri. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepalanya. Buru-buru, Kale bangkit, berjalan menuju pintu, dan membukanya. Pandangan Kale mengedar, mencari seorang wanita dengan baju cerahnya yang selalu menyilaukan mata. Itu dia! Di sana, berdiri di dekat meja kasir yang sepi, tengah berbincang dengan Rara yang kebetulan mendapat tugas menjadi kasir.

Hah! Wanita itu masih saja, tak mau mendengarkan peringatan Kale untuk tidak mengganggu karyawannya saat bekerja.

Kale berjalan menghampiri Cinnamon, lalu menarik tangannya. "Ikut saya."

"Eh? Eh? Kenapa, Kal? Ngapain main tarik-tarik begini?" Cinnamon tentu terheran-heran dengan sikap Kale yang seperti bunglon, berubah-ubah. Kalau tidak salah, Kale dan Ceyanne baru saja habis bertengkar, tapi sekarang Kale justru menarik tangannya seperti kambing. Apa permasalahannya dengan Ceyanne sudah kelar? Atau ... Kale akan memarahinya karena menjadi penyebab pertengkarannya dengan si wanita pujaan?

"Kal, kalau kamu marah sama aku, kita bisa bicara baik—" Ucapan Cinnamon terhenti ketika tubuhnya dibawa ke dalam pelukan Kale dengan tangan pria itu yang melingkari pinggang rampingnya.

Untuk sesaat, otak Cinnamon blank. Dia tak bisa berpikir jernih, terlebih saat aroma parfum Kale menelusup dengan ramah ke hidungnya. Semua kalimat yang sudah tersusun rapi di kepala Cinnamon, mendadak buyar. Yang ada hanya kupu-kupu di dalam perutnya yang berterbangan.

"Biarin kayak gini, Cin. Sebentar aja. Saya perlu mastiin sesuatu." Kale berucap dari balik bahu Cinnamon, yang langsung menyadarkan wanita itu dari lamunan. Tanpa Kale minta pun, Cinnamon enggan untuk melepaskan pelukan mereka. Bahkan, kalau bisa ... dia ingin seperti ini dalam posisi yang lama, tak peduli kalau nanti kakinya kesemutan karena terlalu lama berdiri.

Kale sendiri mulai merasakan kenyamanan. Tubuh Cinnamon yang kecil terasa sangat pas berada dalam rengkuhannya, hingga tanpa sadar, Kale semakin mengeratkan dekapannya. Beruntung, mereka sedang berada di ruangan Kale, jadi tidak akan ada orang yang bisa menghentikan kegiatan mereka.

"Kal, ada yang salah?" Cinnamon membuka suara, begitu kepalanya agak pegal lantaran terlalu lama mendongak. Tinggi mereka yang timpang membuat Cinnamon harus berjinjit. Seharusnya tadi dia pakai heels berukuran 10 cm saja.

"Kenapa kamu hadir di hidup saya, sih, Cin?"

Cinnamon mengerjap dua kali. Pertanyaan macam apa itu? Apa Kale benar-benar terganggu dengan adanya Cinnamon di hidup Kale? Kalau begitu, yang salah adalah Kale. Kenapa harus menolong Cinnamon yang sedang dikejar-kejar pria tak dikenal?

Seketika, suasana hati Cinnamon berubah buruk. Dia mencoba melepaskan pelukan Kale meski agak sulit karena pria itu enggan untuk melakukannya.

"Jadi, kamu mau cut off aku dari hidup kamu? Nggak apa-apa. Kayaknya memang Anne lebih penting bagi kamu. Wajar, sih. Dia lebih dulu datang di hidup kamu daripada aku." Cinnamon cemberut. Lagi-lagi, dia kalah dari Ceyanne. Sepertinya memang Kale tak bisa jauh-jauh dari Ceyanne.

"Bukan gitu maksud saya. Tapi ... what have you done to me? Saya kesulitan untuk menerka-nerka perasaan saya ke kamu. Pikiran saya jadi berantakan karena kamu. Di sini..." Kale mengetuk keningnya. "Selalu muncul wajah kamu yang nyebelin buat saya."

Mendengar ucapan Kale, Cinnamon tersedak ludahnya sendiri. Dia memang bukan wanita dengan otak pintar. Nilai akademisnya pun selalu pas KKM atau lebih sedikit. Namun, dia tak mungkin salah menangkap maksud dari pernyataan Kale. Itu berarti ... Kale mulai menyukainya, kan? Hati Kale yang sekuat batu karang, mulai luluh karenanya.

"Kal, maksud kamu..."

"Kamu juga nggak ngerti maksud saya? Saya juga nggak ngerti sama diri saya sendiri, Cin. Saya—"

"Enggak, enggak. Aku paham maksud kamu. Paham banget. Do you like me? Nggak usah dijawab karena aku udah tahu jawabannya." Cinnamon mengangkat telapaknya, tepat di depan wajah Kale.

"Saya nggak bisa mastiin itu, Cin. Saya juga nggak mau membuat kamu berharap banyak sama saya." Kale berpikir, ini hanyalah perasaan sesaat yang timbul karena belakangan ini mereka selalu bersama. Dia dan Ceyanne saling mengenal lebih dulu dibandingkan dia mengenal Cinnamon. Jadi, perasaannya untuk Ceyanne lebih pasti daripada perasaannya untuk Cinnamon. Tak peduli meski dia merasa tenang saat memeluk Cinnamon. Seakan-akan beban yang sempat menghimpitnya, menghilang begitu kulitnya bersentuhan dengan kulit Cinnamon.

"Semua yang kamu bilang, udah cukup mewakili perasaan kamu untuk aku, Kal." Cinnamon tak bisa menampik perasaan bahagianya. "Berarti aku boleh cium kamu?"

Seperti ada petir yang menyambar di siang bolong, begitu juga suasana di ruangan Kale. Pria itu langsung menghindar dengan ekspresi yang seolah-olah menggambarkan keanehan yang terjadi di muka bumi. Sungguh, Kale tidak berekspektasi kalau Cinnamon akan bertanya demikian. Sudah cukup dia dibingungkan oleh perasaannya sendiri, kini dia harus menghadapi Cinnamon yang selalu out of the box. Memang seharusnya Kale tidak berharap banyak kepada Cinnamon.

"Jangan aneh-aneh, Cin. Saya peluk kamu cuma untuk mastiin sesuatu. Tapi kamu malah mikirnya kejauhan." Kale menyentil dahi Cinnamon pelan, membuat si empunya mengaduh.

"Tega banget, sih, kamu sama aku, Kal!"

"Makanya, otak itu dipakai untuk mikir yang baik-baik, bukan hal mesum kayak gitu!"

"Kan, aku sayang sama kamu."

Kale menghela napas panjang. Kalau dia bisa memutar waktu, dia ingin kembali ke masa sebelum dia memeluk Cinnamon.

***

Hai haiiii! Balik lagii, nihh. Udah pada makan belum????

Aku kebetulan udah, tapi laper lagi wkwkwk. Udah ah, lagi gamud bikin note. Lagi laper, bawaannya baper soalnya.

Sampai jumpa lagi!!!! Selamat hari Senin!!!

Bali, 8 mei 2023

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang