23. Highlighter

3.9K 476 116
                                    

Kalau dipikir-pikir, terakhir kali Cinnamon merasa sangat gugup adalah saat dia harus berdiri di atas panggung untuk mengambil ijazah kelulusan. Namun, kini dia kembali merasakan hal yang sama. Reuni bersama teman masa SMA-nya yang sudah lama tidak bersua membuat jantung Cinnamon berdegup lebih kencang. Dia tidak percaya kalau dia akhirnya mengiyakan ajakan mereka setelah berharap supaya dia tak akan pernah lagi bertemu mereka.

Apa mungkin ini karena Kale bersedia untuk menemaninya? Apa dampak Kale di kehidupannya sebegitu berpengaruhnya hingga Cinnamon melakukan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah dia lakukan?

Yang lebih penting, apa dia siap untuk bertatap muka dengan teman-temannya?

Cinnamon terus memikirkan pertanyaan tersebut dari semalam, sampai-sampai dia baru bisa tidur sekitar jam satu malam, yang membuat kepalanya pusing dan matanya perih. Bahkan, semula dia mengira kalau dia tidak akan bisa datang ke acara reuni, tapi dia tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan—bisa berduaan dengan Kale tanpa Ceyanne—yang sangat berharga, kan?

Alhasil, Cinnamon menyiapkan diri dan mentalnya, sekaligus mempersiapkan bajunya untuk dipakai ke acara reuni. Begitu semuanya selesai, dia langsung mencari kontak Kale di ponselnya, lalu menelepon pria itu.

Tak perlu waktu lama—hanya tiga dering—Kale akhirnya mengangkat panggilan Cinnamon. "Kenapa?"

"Jutek banget, Kal. Nadanya halusin dikit, gitu. Berasa ngobrol sama ibu kos."

Helaan napas meluncur dari seberang sana. "Kenapa, Cinnamon?"

Senyum langsung terbit di bibir Cinnamon ketika mendengar namanya disebut. Apa dia sesuka itu dengan Kale hingga membuat hatinya menghangat? Sehangat mentari yang memberikan sinarnya kepada penduduk bumi dengan penuh kerelaan?

"Nggak apa-apa. kamu nggak lupa untuk anterin aku ke acara reuni, kan?" Cinnamon menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.

"Enggak. Jam lima, kan? Ini ... udah jam setengah tiga. Jam empat saya jemput kamu. Satu setengah jam cukup untuk kamu siapin diri?"

Spontan, Cinnamon melirik jam dinding yang ada di kamarnya. Satu setengah jam seharusnya cukup untuk mempersiapkan diri. Apalagi dia sudah mandi, tinggal mengganti baju saja. Namun, dia harus terlihat berbeda di depan Kale. Jadi, kemungkinan dia harus memerlukan persiapan yang sedikit extra supaya Kale terpesona.

"Oke. Jam empat semuanya udah selesai. Kamu dandan yang ganteng, ya, Kal. Walaupun kamu memang selalu ganteng." Cinnamon terkekeh mendengar ucapannya sendiri. Lama-lama dia benar-benar gila hanya karena seorang Kale Oregano.

"Hm."

Alis Cinnamon mengkerut. "Cuma itu? Kecup jauhnya mana, Kal? Kan, udah aku puji ganteng."

"Memang saya minta kamu untuk muji saya? Kamu sendiri yang bilang gitu."

Cinnamon mencebik. Pria itu ... apa tidak bisa sekali saja membuat Cinnamon bahagia? Masih saja kaku seperti kanebo kering. "Ya, udah lah. Suka-suka kamu aja. Aku mau dandan yang cantik dulu, biar nggak malu-maluin jalan sama kamu—eh?"

Cinnamon menjauhkan ponselnya dari telinga ketika sambungan telepon tiba-tiba terputus. Tangannya terkepal di depan ponselnya, bersikap seolah-olah dia ingin meraup wajah Kale yang selalu tanpa ekspresi. Demi Tuhan ... kenapa dia harus menyukai seorang Kale Oregano? Kenapa tidak Nicholas Saputra saja?

"Kale ngeselin!"

***

Ternyata, acara reuni sangat ramai. Sepertinya, teman-teman masa SMA Cinnamon sangat meluangkan waktu demi bisa hadir di acara tersebut, tak terkecuali Cinnamon yang mengubah jadwal podcast-nya bersama beberapa influencer supaya bisa datang ke sini. Namun, baru saja masuk, Cinnamon sudah berniat untuk meninggalkan tempat tersebut dan merebahkan diri di atas kasur.

A Blessing In Disguise (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang