Besok tanggal merah, jadi aku sengaja update. Btw masih semangat bacanya kaaaan?.
Cerita ini udah aku revisi dari awal sampai akhir. Sebelumnya dari alur, penegasan tokoh, dan kata katanya berantakan banget. Jadi aku harap diversi yang sekarang sudah lebih baik😍😍😍
***Bau masakan langsung tercium di hidung Gara ketika cowok itu menuju dapur. Ternyata ibunya sedang berkutat dengan beberapa bahan masakan. Setiap alat masak tertata rapi, letak dan posisinya tidak berubah ubah dan akan kembali seperti semula jika digunakan. Semua benda dirumah ini selalu terselip huruf braille, terkecuali barang yang Gara miliki.
Huruf braille sering kali digunakan untuk penyandang tunanetra karena dianggap memudahkan bagi mereka yang tidak bisa melihat. Empat puluh lima tahun hidup dirumah ini tidak membuat Sari lupa dengan tata letak dan denah kediamannya. Meski tidak dapat melihat sekalipun.
"Baunya enak, Ma. Gara jadi makin lapar"
Sari tersenyum, ia baru saja berhasil menyajikan sayur sop seperti biasanya. "Kita makan sayur ini lagi nggak apa apa kan?"
"Nggak apa apa, Ma. Kalo mama pengin menu makanan yang baru, bilang aja sama Gara. Nanti Gara buatin" asal bisa makan, Gara sudah sangat bersyukur.
Sebagai lelaki, Gara tak pernah pilih pilih soal makanan. Asalkan sehat dan halal, ia sanggup memakannya. Lagipula sayur sop terdiri dari berbagai macam sayuran, tentu khasiatnya sangat baik bagi tubuh.
Sari hanya tersenyum menanggapi putranya, ia meraba jam yang melingkari pergelangan tangannya. "Udah mau jam tujuh, cepat dihabiskan. Nanti kamu terlambat loh"
"Iya, Ma"
"Oh iya, Mbak Dara tadi pagi bilang sama Mama. Dia mau nebeng kamu"
"Maaf, Ma. Tapi Gara nggak bis-"
"Gara" sela Sari, ia tahu putranya akan menjawab seperti itu. "Tolong sekali saja, mereka selalu bantuin kita. Mama belum bisa bales kebaikan mereka, tolong kamu turutin Mbak Dara ya"
Tidak ada yang namanya membantu tetapi mengharap imbalan. Gara sadar ia harus tahu diri, keluarga Dara memang selalu membantu dalam hal finansial. Selebihnya tidak peduli. Tak jarang mereka mengejek dibelakang. Gara tahu itu.
Gara menghela nafasnya pelan, ini semua ia lakukan demi Sari. "Iya, Ma. Kalo gitu Gara pamit dulu"
"Hati hati" tutur Sari sambil mencium kening putranya.
Hampir satu bulan bekerja dengan Agung, Gara sangat merasa tercukupi. Gaji yang majikannya itu beri tidak main main banyaknya. Jika uangnya digunakan untuk membayar hutang kepada keluarga Dara, masih ada sisa beberapa lembar yang cukup untuk digunakan sampai gaji selanjutnya diberikan.
Lelaki itu menatap sosok Dara begitu keluar rumah. Lengkap dengan almamater kampus, Gara yakin Dara akan berangkat kuliah.
Ia menyodorkan ponselnya kedepan Dara, membuat perempuan itu kebingungan. "Kenapa, gar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
18+ : When We Were Young
Teen Fiction"Aa' ihh. Pelan pelan nyusunya! masih banyak kok" Siapa yang tidak kenal dengan Aan Sandi Negara, sosok lelaki yang gagah, tampan, dan perkasa. Kisah ini menceritakan perjalanan hidup Aan Sandi Negara, ketika usianya menginjak delapan belas tahun...