***
Masih di hari yang sama, namun setelah matahari terbenam. Malam ini Lisa berbaring di sofa, bermain video game bersama suaminya, sembari mendengarkan pria itu bicara tentang pekerjaannya. Biasanya mereka menonton film, tapi hari ini suaminya ingin berkelahi— di video game. Di karpet suaminya duduk, memegang stick game-nya, sembari berusaha mengalahkan Lisa yang sudah berkali-kali memainkan permainan itu.
"Paman, kenapa kau jadi makin payah?" ledek Lisa, karena meski tidak serius bermain, ia masih bisa mengalahkan suaminya.
"Coba saja kalau kau bekerja, kau tidak akan sehebat itu," komentar Jihoon, menyalahkan posisi mereka yang tidak seimbang. Jihoon bekerja lima hari dalam sepekan, sementara Lisa punya tujuh hari libur selama sepekan. Gadis itu bisa bermain game tanpa khawatir akan terlambat bangun, terlambat ke tempat kerja.
"Dua tahun lalu saat masih bekerja aku bisa menang turnamen e-sport. Bekerja atau tidak itu bukan alasan," balas Lisa.
"Wah... Beruntung sekali, lalu kenapa kau tidak bisa menang turnamen lagi sekarang? Kemampuanmu menurun, iya 'kan?"
"Aku sudah pernah menang, untuk apa ikut lagi? Aku ingin ikut yang lain," katanya dengan nada angkuhnya yang memang selalu begitu. "Oh iya! Omong-omong soal menang, aku ikut kontes fotografi. Bukan minta izin, hanya pemberitahuan saja kalau tiba-tiba oppa ditelepon karena aku menang."
"Kenapa aku yang ditelepon?"
"Karena aku memasukan nomor teleponmu sebagai nomor telepon cadangan. Kalau-kalau mereka meneleponku saat aku sedang berenang, atau ke bioskop, atau atau pergi main rollercoaster."
"Wahh... Jadwalmu penuh sekali, sayang. Kau lebih sibuk dariku? Sampai tidak sempat menjawab telepon?" sindir Jihoon
"Jangan khawatir, kalau itu telepon darimu, meski sedang sekarat sekalipun aku akan tetap menjawabnya."
Mereka terus berbincang, sesekali memaki sebab salah menekan tombol, atau salah memilih kekuatan. Akhir pekannya menyenangkan— bagi Jihoon, juga istrinya. Di tengah asiknya bermain game, bel rumah mereka berbunyi. "Makanan datang," kata Lisa, dengan kakinya ia dorong bahu Jihoon. Pria itu yang harus turun, membuka pintu depan, menaruh makanan ke piring dan membawanya kembali naik ke ruang keluarga. Jihoon harus melakukannya sebab ia yang kalah dalam taruhan mereka.
"Kau sudah membayarnya kan?" Jihoon bertanya setelah ia berdiri dan merapikan rambutnya, mengikat rambut sebahu itu dengan tali rambut yang ia temukan di meja.
Lisa mengangguk mengiyakannya, sedang tangannya melepas stick game-nya, beralih mengambil handphonenya. Jihoon berlari kecil ke pintu depan di lantai satu, sedang Lisa baru menyadari kalau ada notifikasi dari aplikasi belanja di handphonenya. Ia buka notifikasi itu, kemudian masuk ke jendela percakapan di aplikasi belanjanya. Sebuah toko dengan nama peaceminusone baru saja mengiriminya pesan. "Aku mengirim hadiah," tulis penjualannya.
"Apa?" Lisa membalas. "Tapi terimakasih untuk hadiahnya," tulisnya lagi, dengan tambahan simbol hati di akhir kalimatnya.
Toko tadi tidak menjawab pesannya. Status online-nya sudah tiga puluh menit yang lalu. Lisa yang lebih dulu terlambat membalas pesannya. Saat menyadarinya, Jihoon berteriak dari lantai satu, membuat Lisa bangkit dan berjalan ke ujung tangga.
"Ada apa?!" teriak Lisa, sebab suaminya memintanya untuk turun.
"Ada paket untukmu!" teriak Jihoon dari bawah, disusul suara dentingan piring dan alat makan lainnya.
Mendengarnya, Lisa bergegas turun, ia berlari sembari menggenggam handphonenya kemudian menghampiri suaminya di dapur. "Belanja online?" tanya Jihoon, yang Lisa iyakan dengan sebuah anggukan penuh semangat.
Gadis itu membuka paketnya, sementara sang suami menyajikan makan malam mereka di piring. Menata makanan itu dengan cantik seolah mereka memasak sendiri makan malamnya. Sebuah kotak perhiasan dari beludru hitam muncul dari paket yang Lisa buka itu. Di dalamnya ada satu sepasang anting-anting dengan sebuah kalung berbandul hati warna hitam. Lisa masih memandanginya, ketika Jihoon ikut memperhatikan istrinya, juga kotak beludru yang dipegangnya.
"Kenapa? Barang yang dikirim berbeda dengan fotonya?" tanya Jihoon. "Berikan pada seseorang kalau kau tidak menyukainya. Nanti aku belikan kalung lainnya. Harusnya beli di toko saja. Kalung seperti apa yang kau sukai?" susulnya sementara Lisa hanya meletakan kotak beludru tadi di atas meja makan kemudian menghampiri Jihoon di dekat tempat sampah.
"Belikan aku liontin clover di perjalanan pulangmu hari Senin nanti, ya?" pinta Lisa, yang sekarang memeluk pinggang suaminya dengan perasaan campur aduk. Rasanya salah, sangat salah. Ia merasa dirinya begitu keterlaluan karena menerima kalung hati itu dari pria lain yang bukan suaminya.
"Hm... Aku akan mampir ke toko perhiasan hari Senin nanti," angguk Jihoon. "Lain kali jangan membeli perhiasan di toko online, kecuali kau yakin akan menyukai barang yang datang," katanya, mengusap-usap lengan kekasihnya, menyuruh Lisa untuk melepaskan pelukannya dan membantunya membawa makan malam mereka ke ruang keluarga di lantai atas.
Di tempat lain, Kwon Jiyong duduk di ruang kerjanya, di kantor hukumnya. Pria itu duduk sendirian di sana, menatap layar laptopnya seolah tengah memindai pekerjaan namun sebenarnya hanya melamun, mencari cara untuk menyenangkan hatinya. Ia tidak marah hari ini, tidak juga sedih, tidak juga kecewa meski harus ke kantor di akhir pekan. Namun ia pun tidak merasa senang. Rasanya kosong, tanpa rasa apapun.
Pria itu masih belum menikmati makan malam di depannya. Ada sekotak sushi di mejanya, namun nafsu makan tidak kunjung datang. Dimenit selanjutnya, pintu ruang kerjanya di ketuk dan seorang pria melangkah masuk setelah dipersilahkan. Pria itu datang dengan empat buah kotak beludru. "Ini yang anda minta, Pengacara Kwon," kata si pria yang datang tadi, meletakkan satu persatu kotak beludru yang dibawanya ke atas meja. Kotak pertama berukuran besar, sementara tiga kotak lainnya berukuran lebih kecil.
Kwon Jiyong hanya membuka dua dari empat kotak itu. Sebuah kotak berisi anting-anting dan kalung, sebuah kotak lainnya yang lebih kecil hanya berisi anting-anting. "Kirim yang ini pada Lisa," suruhnya, menunjuk kotak yang lebih besar. "Lalu yang lainnya, berikan pada Hyuna, Kiko dan Nana," susulnya, yang kemudian berpesan pada asistennya untuk menyisipkan pesan perpisahan pada Kiko dan Nana.
"Pesan perpisahannya hanya untuk Nona Kiko dan Nana?" ulang si asisten, memastikan sekali lagi perintah atasannya.
"Kau berharap aku berpisah dengan istriku? Katakan pada mereka berdua kalau aku tidak bisa terbang menemui mereka lagi, suruh mereka berhenti menghubungiku," ketus Jiyong, ia gerakan tangannya, menyuruh asistennya keluar dengan kotak-kotak beludru tadi, termasuk kotak sushi yang belum ia jamah. Alih-alih makan malam, Jiyong lebih memilih dibuatkan secangkir kopi malam ini.
Setelah ditinggalkan sendirian— lagi— barulah ia buka aplikasi belanja yang ada di handphonenya. Dibukanya tab percakapan dalam aplikasi itu dan dikirimnya sebuah pesan kepada akun dengan nama pengguna lalalisa, menunggu balasan yang tidak kunjung datang sampai ia memutuskan untuk bangkit dan meninggalkan kantornya.
Jiyong pulang ke rumahnya malam ini dan masih sama seperti tadi siang, istri serta anaknya tidak ada di rumah. Bedanya, Jiyong menemukan sebuah amplop di lantai rumahnya, sebuah surat dengan nama dan alamatnya di bagian depannya. Ia baca surat di dalam amplopnya dan segalanya membeku.
Playboy life wasn't happier than you thought. Kiko Mizuhara, Nana Komatsu dan Lalisa Park, aku tahu mereka semua simpananmu. Diantara mereka, siapa yang paling hebat di ranjang? Si Model? Si Aktris yang sudah punya pacar? Atau putri sang menteri?
Sudahi ketiganya, sebelum aku memasang foto kalian di papan iklan.
With love,
Modern Fox***
KAMU SEDANG MEMBACA
Modern Fox
FanfictionAku mendengar rumor tentang serigala, katanya mereka masih liar. Aku punya gigi yang tajam seperti mereka, tapi aku tidak ingat cara memakainya, aku tidak ingat caranya menggonggong. Now, i feel like a modern fox. I lost my love, but i feel nothing...