18

86 24 0
                                    

***

Jisoo masih tinggal di rumah sakit untuk beberapa pemeriksaan lainnya. Meski polisi pergi begitu mendapatkan semua informasi yang mereka inginkan, Lisa tetap berada di sana. Lisa belum menghubungi Woobin, belum memberitahu pria itu tentang keadaan adiknya. "Maaf, kau baru mulai bekerja tapi harus cuti karenaku," kata Jisoo sementara Lisa baru saja keluar dari kamar mandi.

"Tidak apa-apa, aku bisa bekerja dari sini," katanya. "Omong-omong, kau ingin aku menghubungi kakakmu?" tanya Lisa dan Jisoo menggeleng. Gadis itu akan memberitahu kakaknya nanti, kalau ia sudah diizinkan pulang. Nanti sore Jisoo sudah diizinkan pulang, sebab tidak ada orang vitalnya yang bermasalah. Ia hanya perlu beberapa pemeriksaan lagi demi meyakinkan hasil pemeriksaan itu.

"Aku benar-benar penasaran, apa yang terjadi pada Haein oppa," kata Jisoo kemudian.

"Coba tanya pengacaramu," suruh Lisa, yang selanjutnya mengatakan kalau handphonenya tertinggal di rumah sejak semalam. Sampai ia harus memakai milik Jisoo untuk mengabari Jihoon semalam.

Hanya satu jam setelah dihubungi, Jiyong datang ke rumah sakit. Entah pertemuan apa yang ia tunda, atau justru dibatalkan, pria itu mengetuk pintu ruang rawat kliennya, menarik perhatian Jisoo juga Lisa yang sudah lebih dulu ada di dalam. Lisa tengah menatap laptopnya di sofa, sedang Jisoo berbaring di ranjangnya sembari mengoceh, menceritakan apapun yang saat ini muncul di kepalanya pada Lisa.

Lisa, gadis pertama yang Jiyong lihat ketika ia masuk. Keduanya bertukar tatap, sampai Lisa bangkit dan mempersilahkannya untuk duduk di sofa, di sebelah ranjang Jisoo. "Akan aku belikan minuman-" tawar Lisa yang langsung Jiyong tolak dengan beberapa kata basa-basi biasa. Ia datang untuk melihat Lisa, lantas apa gunanya kalau gadis itu pergi membeli minuman.

Pagi tadi mereka berhasil menangkap Kim Joonhan di rumahnya. Pria itu berencana untuk melarikan diri ketika ditangkap. Ia sudah menyiapkan tas dan uang tunai di mobilnya, di tempat parkir gedung apartemennya. "Bagaimana dengan Jung Haein?" Jisoo bertanya, membuat Jiyong langsung menoleh pada Lisa seolah sedang meminta izin untuk bicara. Namun Jisoo mengartikan lain tatapan itu, "tidak apa-apa, aku tidak keberatan Lisa mendengarnya, anda bisa mengatakannya di sini, Pengacara Kwon," katanya, mendesak Jiyong untuk bicara.

"Dia menyerahkan dirinya ke polisi kemarin pagi," kata Jiyong. "Dia pecandu dan sudah memakai obatnya sejak lima tahun lalu," susulnya, tentu saja mengejutkan lawan bicaranya hingga Jisoo juga Lisa tidak dapat berkata-kata lagi. "Kim Joonhan bukan hanya mengetahuinya, tapi ada kemungkinan kalau dia juga pecandu, jadi mereka akan diselidiki lebih lanjut sekarang," tenang Jiyong, yang kemudian membisu, menunggu dua gadis di depannya mampu mencerna kabar darinya.

"Pengacara Kwon, bisakah anda menjadi pengacara untuknya juga?" tanya Jisoo kemudian, menjadikan pembicaraan serius itu berlanjut sampai satu jam lamanya.

Selepas memberi nasihat hukumnya pada Jisoo, Jiyong berpamitan. Ia melangkah meninggalkan ruang rawat itu dan Lisa mengantarnya ke tempat parkir, menggantikan Jisoo. "Kenapa datang sendirian?" tanya Lisa setelah mereka keluar dari kamar rawat itu. "Kemana asistenmu, Pengacara Kwon?" susulnya, bersikap sopan sebab ada banyak sekali orang di sekitar mereka.

"Aku memintanya mengerjakan tugas yang lainnya," jawab Jiyong. "Kau terlihat lelah, Nona Park," katanya, tanpa menatap lawan bicaranya yang melangkah di sebelahnya.

"Tentu saja lelah," gumam Lisa. "Bagaimana sekarang? Maksudku soal kejadian semalam," tanyanya.

"Bagaimana lagi? Aku hanya bisa mengikuti keputusanmu," Jiyong bergumam. "Meski aku punya penilaian dan keinginanku sendiri, dari posisiku saat ini aku hanya bisa mengikuti keputusanmu."

Lisa terdiam. Keduanya berdiri di dalam lift, menatap ke depan dengan beberapa perawat dan pasien berdiri di depan mereka. Dalam keramaian yang sepi itu, Lisa mengaitkan kelingkingnya, meraih jemari Jiyong dengan miliknya. Jantung keduanya bergetar, berdetak kuat memenuhi isi kepala masing-masing.

Meski tahu kalau keputusan mereka hari ini adalah satu dari banyaknya kesalahan, keduanya enggan berpisah. Meski tahu mereka harus berpisah, mereka tidak boleh berpisah hanya karena June— yakin Lisa. Cintanya akan terlihat buruk, terlihat payah kalau ia mengakhirinya hanya karena sepupunya.

Begitu tiba di tempat parkir, Jiyong berdiri di depan mobilnya. Lisa pun berdiri di tempat yang sama, keduanya berhadapan meski jarak mereka tidak terlalu dekat. "Jadi... kau tidak akan menyerah?" tanya Jiyong, setelah ia yakin kalau dirinya boleh menatap kekasih di depannya.

"Kenapa harus menyerah?" Lisa membalasnya dengan pertanyaan lain. "Kita hanya perlu lebih berhati-hati, bukan begitu?"

"Syukurlah," lega Jiyong. "Aku sempat sangat khawatir," katanya.

"Sungguh?"

"Hm... Aku akan lebih berhati-hati, jadi jangan khawatir. Semua yang sekarang sudah ada, aku akan menyingkirkannya. Kau hanya perlu melakukan seperti biasanya," angguk Jiyong.

Keduanya kemudian berpisah. Jiyong mengerjakan pekerjaan profesionalnya, begitu juga dengan Lisa yang harus kembali sibuk di galeri. Secara langsung, gadis itu menangani proses jual beli karya seni di galerinya juga urusan-urusan lainnya. Meski sudah kembali dari perjalanan bisnisnya, Jihoon sama sekali tidak curiga. Selain June, semuanya berjalan normal seperti sebelumnya.

Meski begitu, June tidak berhenti. Satu minggu setelah ketahuan, pria itu mengajak Lisa bertemu. Keduanya bertemu di restoran hotel tempat Lisa biasa berenang. Pada Jumat siang, hanya berdua. "Aku tidak akan berbasa-basi," kata June begitu ia tiba dan duduk di depan Lisa yang sudah menunggunya. "Kau sudah menyelesaikan urusanmu dengannya?" tanyanya dengan ketus.

"Sudah," singkat Lisa. "Aku juga sudah memesan steak kesukaanmu, tetaplah di sini dan makan dulu bersamaku," susulnya.

"Sungguh? Kau yakin?"

"Bagaimana aku harus membuktikannya?"

"Aku akan terus mengawasi kalian."

"Lakukan yang kau mau," tenang Lisa. "Tapi... June, tolong jangan libatkan Jihoon oppa," pintanya. "Aku bersalah, aku mengasah pisau yang bisa melukai Jihoon oppa. Lalu kau mengetahuinya, kau memintaku berhenti, jadi aku berhenti. Sekarang, kita menyimpan pisau itu berdua, semuanya cukup sampai di situ, iya 'kan? Kau tidak akan memakai pisau itu untuk melukai Jihoon oppa, iya 'kan? Jihoon oppa tidak bersalah, dia tidak perlu terluka karena pisau itu, kau setuju, 'kan?"

"Kau sudah mengasah pisau di belakang punggung suamimu tapi tidak ingin dihukum karenanya? Karena takut melukai suamimu? Kenapa kau sangat tidak tahu malu? Apa yang membuatmu begitu percaya diri?" June membalas dengan ketus.

"Siapa yang bilang aku tidak ingin di hukum?" kata Lisa. "Aku hanya bilang, jangan sampai Jihoon oppa terluka. Dan kenapa kau berfikir kalau aku tidak merasa sedang di hukum sekarang? Meskipun salah, putus hubungan tetap menyakitkan. Perselingkuhan atau bukan, saat berpisah hatimu akan tetap merasa nyeri. Hanya karena aku merasa pantas mendapatkannya, bukan berarti rasa sakitnya hilang."

"Kalau kau saja merasa begitu, bagaimana dengan korbannya?"

"Siapa korbannya? Pisaunya belum menusuk siapapun." Sebentar keduanya terdiam. Raut wajah June terlihat begitu marah, tapi Lisa masih berani menatapnya. "Pisaunya sudah menggoresmu? Aku minta maaf. Maaf karena aku tidak bisa memenuhi ekspektasimu. Maaf karena ternyata aku mengecewakanmu. Aku bersungguh-sungguh," katanya, dengan nada bicara paling lembut yang bisa ia suarakan. Namun June tetap terdiam, belum yakin dengan keputusan seperti apa yang harus ia buat sekarang. Berpura-pura tidak tahu dan ikut tersiksa bersama Lisa— karena menyembunyikan pengkhianatan itu— atau memberitahu Jihoon segalanya dan menyulut perang di sana. Ia yang sebelumnya hanya datang untuk berlibur, kini justru berdiri di depan persimpangan jalan dan kesulitan untuk memilih salah satu jalannya.

***

Modern FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang