23

71 23 3
                                    

***

Jihoon tengah menyelesaikan pekerjaannya ketika sebuah pesan masuk ke handphonenya. Jiyong yang mengiriminya pesan, mengatakan kalau dirinya sudah mendapatkan kembali lisensi mengemudi Lisa dan berencana untuk menemui wanita itu di kantornya sore ini. Jihoon berterimakasih, selayaknya seseorang yang baru saja meminta bantuan. Pria itu juga bilang kalau ia akan mentraktir Jiyong minum-minum lain kali, kalau mereka berdua sama-sama senggang.

"Bagaimana kalau malam ini, hyung?" balas Jiyong dalam pesannya dan Jihoon mengiyakannya. Mumpung Lisa akan pulang terlambat malam ini— pikir Jihoon ketika menyetujui pesan itu. Keduanya kemudian mengatur janji, untuk bertemu malam ini ditempat yang Jihoon pilih. Dan Jiyong menjawab, kalau ia akan datang ke tempat itu selepas menyelesaikan urusannya dengan Lisa.

Karena nama istrinya terus disebut, Jihoon memutuskan untuk pergi ke galeri tempat Lisa bekerja. Dalam angannya, pria itu akan memberikan mobilnya pada Lisa— yang baru saja mendapatkan kembali lisensinya— kemudian pergi bersama Jiyong ke bar yang mereka janjikan. Jihoon bisa sekalian berpamitan pada istrinya di galeri nanti— begitu isi kepalanya.

Jihoon hampir melupakan surat yang ia terima pagi ini. Sepanjang hari ia memikirkan surat itu, meyakinkan dirinya kalau ia akan mempercayai Lisa. Meyakinkan dirinya kalau surat itu tidak lebih dari sekedar surat konyol yang sengaja dikirim untuk menjahilinya. Namun ketika sampai di galeri, melalui celah kaca transparan di pintu kayu ruang kerja Lisa, pria itu justru mendengar kenyataan yang menghancurkan semua keyakinannya. Lisa benar-benar berselingkuh dengan seorang pria yang ia kenal.

Saat itu hati Jihoon hancur, berkeping-keping sampai pria itu tidak dapat menggerakkan tubuhnya. Bahunya yang kekar, dadanya yang bidang juga lengannya yang kuat berotot terasa begitu lemas, seolah setengah nyawanya baru saja dicabut dari tubuhnya. Semua latihan yang rutin ia lakukan di gym ternyata tidak mampu mengatasi pukulan yang Lisa berikan tepat di depan wajahnya. Penipuan dan pengkhianatan, tidak seorang pun menyukainya, termasuk Jihoon.

Jihoon ingin sekali mengamuk sekarang. Ingin ia hancurkan kepala Jiyong yang berdiri di sana, tengah berdebat dengan istrinya. Ingin sekali ia pukul istrinya. Namun hatinya yang terasa begitu nyeri, membuatnya tidak berdaya. Ia minta istrinya untuk segera pulang bersamanya. Ia tidak peduli meski Lisa juga Jiyong terkejut akan kehadirannya. Meski salah satu dari mereka kena serangan jantung saking terkejutnya, ia tidak peduli.

Suara Jiyong yang akhirnya melepaskan pertahanan terakhirnya. Hanya dengan beberapa detik suara yang keluar dari mulut pria itu, Jihoon kehilangan kendalinya. Ia pukul Jiyong tepat di wajahnya, begitu marah hingga ia tidak lagi peduli meski Jiyong mengulas segaris senyum samar. Lisa kemudian menjerit, memanggil namanya dalam sebuah jeritan yang tertahan. Baru di saat itulah Jihoon tahu kalau ia tidak boleh menghancurkan kepala Jiyong. Maka ia langkahkan kakinya menjauh. Ia terus berjalan meski mendengar langkah istrinya yang buru-buru membantu Jiyong. Lisa bantu kekasihnya berdiri, berbisik kalau ia tidak akan bisa menemuinya lagi, kemudian meraih tasnya untuk mengejar Jihoon yang sudah lebih dulu keluar ruangan.

Jiyong sempat menahan Lisa, "bukan aku yang memberitahunya," kata Jiyong, setelah tubuhnya berhasil duduk di sofa dengan bantuan Lisa. Setelah ia mengatakan kalau ia baik-baik saja meski sempat terkejut karena gerak tiba-tiba Jihoon. "Sungguh, bukan aku," susulnya, mencoba meyakinkan Lisa.

"Tolong jangan menghubungiku sampai aku yang menghubungimu lebih dulu," pinta Lisa, hampir menangis karena khawatir pada reaksi Jihoon setelah ini.

"Kau tahu kalau kau selalu boleh menghubungiku, kapan pun," angguk Jiyong.

Gadis itu kemudian mengejar Jihoon. Memanggilnya namun diabaikan. Sampai mereka berdua tiba di tempat parkir dan Jihoon masuk lebih dulu ke dalam mobilnya. Sayangnya, ketika Lisa mengulurkan tangannya untuk membuka mobil itu, Jihoon sudah lebih dulu mengunci pintunya. Membuat Lisa tidak bisa masuk ke dalam.

Jendela mobil di turunkan setengah. "Ini satu-satunya kesempatanmu. Kalau kau memang mencintainya, kau bisa tetap di sini dan kita berpisah. Tidak perlu pulang, akan ku kirim semua barang-barangmu termasuk surat cerainya," kata Jihoon sebelum ia membiarkan Lisa masuk.

"Aku ingin pulang bersamamu," kata Lisa sembari membungkuk, untuk melihat wajah Jihoon yang duduk di dalam mobil. Suaranya bergetar karena hampir menangis.

"Kita tidak akan pernah bercerai kalau kau masuk," Jihoon meyakinkan Lisa. "Kau yakin?" susulnya dan Lisa menganggukan kepalanya dengan cepat.

Jihoon akhirnya membuka pintu mobil itu. Membiarkan Lisa masuk tanpa mengatakan apapun. Pintu di tutup dan mobil langsung melaju pergi. Tidak seorang pun bicara di dalam perjalanan itu. Jihoon meremas kuat-kuat roda kemudinya, menahan emosinya. Lisa pun menutup rapat mulutnya, yakinnya kalau mereka tidak boleh bertengkar sekarang. Setidaknya mereka harus sampai di rumah hidup-hidup, tanpa terlibat satupun kecelakaan sore ini.

Jihoon tidak mungkin melukainya— yakin Lisa. Jihoon bukan tipe pria tempramental yang akan meledak hanya karena sebuah masalah. Ia tidak akan memukul, mungkin hanya akan memakinya kemudian pergi tidur untuk menenangkan dirinya. Lisa yakin Jihoon akan begitu, Jihoon yang ia kenal berhak memaki setelah dikhianati. Tapi keyakinannya ternyata salah.

Begitu tiba di rumah, Jihoon masih terdengar ketus seperti sebelumnya. Seperti bagaimana pria itu kalau sedang sangat kesal. "Hubungi klienmu, katakan kau tidak bisa datang malam ini," katanya, tetap ketus bahkan sampai membanting pintu mobilnya.

Lisa sempat membisu. Sekali lagi ia harus membohongi Jihoon. Bukan klien yang akan ia temui malam ini. Bukan klien alasannya ingin pulang terlambat malam ini, tapi Jiyong. Mereka berjanji akan bertemu malam ini, hanya sebentar di hotel lain yang sudah Jiyong siapkan. Meski rencana itu otomatis batal sejak Jihoon tiba-tiba muncul di kantornya.

Setelah berpura-pura menghubungi seseorang di dalam mobilnya, gadis itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah. Di dalam, Jihoon tengah menenggak segelas air dalam gelas kaca. Di bawah lampu dapur, wajahnya baru terlihat lebih jelas, merah padam, benar-benar marah.

"Oppa-"

"Ya!" Jihoon menyela suara Lisa yang ingin mendapatkan hatinya kembali. Ia lempar gelas di tangannya ke dinding, tepat di sebelah wajah Lisa. Tidak ada pecahan gelas yang mengenai wajahnya, sebab Lisa sudah lebih dulu menghindar. Gadis itu berjongkok sembari menutupi wajahnya dengan tangannya sendiri. Tapi Jihoon tidak peduli. Meski gelasnya melukai wajah cantik istrinya, pria itu tetap tidak peduli. "Kau berselingkuh dengannya?! Sejak kapan?! Sejak kapan kau menipuku?!" marah Jihoon. Saking terkejutnya, Lisa tidak bisa lagi menahan berat tubuhnya. Gadis itu terduduk di lantai, di sebelah air mineral bercampur pecahan kaca yang merembes ke pakaiannya. Tangisnya tidak lagi terbendung. Air matanya mulai mengalir deras dan ia pun terisak, meminta maaf.

"Maaf?! Sekarang?! Setelah kau menipuku tanpa berkedip tadi pagi?!" marah Jihoon, yang dengan kasar menghampiri Lisa, berjongkok di depan gadis itu untuk menatap tepat di matanya. "Oppa pasti sedih kalau aku melakukannya— kau bisa bilang begitu setelah melakukannya? Pasti menyenangkan melihatku tertipu begitu saja, iya 'kan? Aku tidak bisa memahaminya, kenapa kau bisa sejahat itu padaku," Jihoon sangat ingin mencekik gadis di depannya itu sekarang. Suara isakannya memekakan telinga, membuat kepalanya berdenyut luar biasa menyakitkan. Kata maaf yang Lisa katakan sepanjang isakannya, hanya terasa seperti garam yang sengaja ditaburkan untuk menambah nyeri di hatinya.

***

Modern FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang