***
Lisa merasa dunianya baru saja runtuh dalam semalam. Tidak pernah ia lihat suaminya sehancur tadi malam. Sembari bercermin pada cermin retak yang ada di kamar mandinya, gadis itu menatap banyak pantulan dirinya. Pagi ini ia masih mengenakan pakaiannya kemarin. Sembari menahan nyeri di dadanya, gadis itu melepaskan pakaiannya dan ia temukan memar-memar sisa semalam di tubuhnya.
Jihoon memukulnya semalam. Beberapa kali, meski tidak sangat kejam namun terasa jauh lebih menyakitkan karena Jihoon yang melakukannya. Pria itu marah besar, luar biasa marah hingga ia tega berbagi rasa sakitnya pada tubuh Lisa. Lengannya memar karena dicengkeram dengan sangat kuat. Pahanya terasa nyeri karena ditendang lalu membentur kaki meja. Pipinya memerah dan terasa begitu perih setelah beberapa kali di tampar.
Tapi dari semua itu, melihat cermin yang pecah setelah Jihoon pukul dengan tangannya sendiri terasa lebih menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan. Terlebih saat ia tahu kalau luka-lukanya sudah diobati, tanpa sepengetahuannya setelah ia tidur semalam.
Lama gadis itu menangis di kamar mandi. Duduk memeluk lututnya sendiri di lantai kamar mandi, menangisi kesalahannya. Ia baru mengapus air matanya, membasuh wajahnya dan mengganti pakaiannya setelah mendengar suara pintu kamar utama yang dibuka. Saat ia keluar dari kamar mandi, Jihoon ada di sana, di depannya dengan tangan yang diperban asal-asalan.
"Oppa, akan ku lakukan apapun..." kata Lisa kemudian, sebab Jihoon masuk ke kamar, melewatinya untuk masuk ke walk in closet, dan mencari pakaiannya di sana. Pria itu berencana untuk pergi kerja, setelah sepanjang malam ia terjaga karena marah. "Aku minta maaf, akan ku lakukan apapun agar kau memaafkanku," bujuknya, tanpa berani menyentuh suaminya yang semalam bersikap sangat kasar padanya.
Mendengarnya, Jihoon menghela kasar nafasnya. Masih sembari memegang jasnya, ia menoleh untuk menatap Lisa. Gadis itu tidak berani membalas tatapannya. Lisa menunduk begitu tahu suaminya menoleh dan melihatnya, khawatir ia akan membuat pria itu kesal lagi.
"Tetaplah di rumah hari ini," kata Jihoon. Ia dekati istrinya, memeluknya sebentar dan langsung melepaskan pelukan itu ketika sadar kalau Lisa berdiri begitu tegang di dalam dekapannya. Keduanya tahu, sekarang hubungan mereka tidak akan sama seperti dulu lagi. "Kalau kau perlu ke rumah sakit, aku akan mengantarmu," susulnya namun Lisa menolaknya. Tidak ada dari lukanya yang perlu di obati sampai ke rumah sakit. Selain memar dan memerah, tidak ada banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Justru sepertinya Jihoon lah yang perlu ke rumah sakit.
"Pekerjaanku- akh!" Lisa tidak bisa melanjutkan kata-katanya. Sebab tangan Jihoon mencengkeram kuat lengannya, seolah ingin menghancurkannya.
"Jadi kau tetap akan pergi?" tanya Jihoon, tanpa menaikan nada bicaranya. Tangannya yang bicara lebih keras, tangannya yang kini mengancam Lisa.
"Ti- tidak," geleng gadis itu, meringis nyeri dan langsung memegangi lengannya setelah Jihoon melepaskan genggamannya.
"Jangan pergi kemanapun hari ini. Hubungi aku kalau kau butuh sesuatu," kata Jihoon. Pelan namun sangat jauh dari istilah lembut. Meski tidak lagi membentak seperti semalam, pria itu masih sangat marah.
Lisa kemudian duduk di ranjang sembari menunggu Jihoon selesai mandi dan berpakaian. Ia pejamkan matanya sembari menunggu, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Jihoon berhak melakukan apa yang sekarang ia lakukan. Ia sudah melakukan banyak kesalahan dan ia pantas untuk di hukum— meski tidak pernah ia duga sebelumnya kalau Jihoon akan menghukumnya seperti ini.
Tidak seberapa lama, Jihoon keluar dengan setelan jasnya yang rapi. Pria itu benar-benar akan pergi bekerja setelah terjaga sepanjang malam. Dengan canggung Lisa langsung berdiri, ingin melakukan sesuatu untuk suaminya namun tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia tidak pernah memakaikan dasi untuk Jihoon sebab Jihoon bisa memasang dasinya sendiri lebih rapi daripada ia yang memasangkan.
"Akan aku buatkan kopi dan sarapan-"
"Tidak perlu," potong Jihoon. Siapa yang bisa makan setelah kejadian kemarin? Bahkan Lisa tidak yakin dirinya bisa menelan seteguk air pagi ini. Tapi, meski tahu akan ditolak, setidaknya ia sudah menawarkan diri.
Jihoon melangkah menuju ruang kerjanya. Lisa mengekorinya dan gadis itu kembali mematung setelah melihat ruang kerja suaminya yang pagi ini benar-benar hancur. Gelas dan botol whiskey pecah di lantai. Ada darah diantara pecahan kacanya. Mungkin Jihoon meremasnya atau pecahan itu hanya terinjak olehnya. Bingkai foto pun pecah, jatuh ke lantai setelah dilempar dengan hiasan meja. Melukai Lisa saja tidak cukup, Jihoon butuh lebih banyak pelampiasan akan semua emosi yang mengigit hatinya.
"Telepon seseorang untuk membersihkan rumah," suruh Jihoon kemudian. Pria itu perlu membungkuk untuk meraih handphonenya yang tergeletak di lantai. Juga mengambil kunci mobilnya yang jatuh ke bawah meja setelah ia mengacak-acak meja kerjanya sendiri.
"Ya," Lisa mengiyakannya, sembari meremas sisi-sisi celana panjangnya yang berbahan katun lembut. Menahan dirinya untuk tidak menangis, tidak pingsan.
Jihoon kemudian mengulurkan handphonenya. Ia berikan handphonenya pada Lisa sebab milik istrinya rusak semalam— ia melemparnya, setelah diberitahu bagaimana Lisa dan Jiyong berhubungan selama ini, lewat pesan di aplikasi belanja. "Aku akan membelikanmu handphone baru hari ini, sementara pakai milikku," kata pria itu dan Lisa menganggukan kepalanya. Menerima handphone itu tanpa berani bertanya lebih banyak.
"Sekarang telepon Pengacara Kwon," suruh Jihoon sekali lagi. Kali ini, Lisa langsung menggerakan lehernya, menatap Jihoon dengan tatapan tidak percaya. Ia tidak percaya, Jihoon akan menyuruhnya menelepon Jiyong dengan handphonenya. "Katakan padanya kalau kau ingin mengakhiri hubungan kalian," susulnya, seolah tidak melihat kalau Lisa masih kebingungan saat itu.
"Kenapa? Kau tidak ingin mengakhiri hubungan itu?" tanya Jihoon, terdengar sangat ketus karena Lisa tidak segera menuruti perintahnya.
"Ti- tidak bisakah oppa yang mengatakan itu padanya?" sekali lagi Lisa menorehkan belati tajamnya ke jantung Jihoon.
"Kenapa harus aku?" kata Jihoon, lagi-lagi harus berusaha menahan emosinya. "Apa aku yang berselingkuh dengannya? Kau tidak ingin melakukannya? Takut dia terluka karenamu? Lalu kenapa kau tega melukaiku? Kau lebih mencintainya daripada mencintaiku? Kalau begitu kenapa kau menikah denganku? Kau harusnya menikah dengannya," kesal pria itu, nada bicaranya yang sangat dingin terasa begitu menusuk. "Telepon dia sekarang. Di depanku. Aku tidak akan menemuinya, memukulnya apalagi menyampaikan pesanmu padanya. Dia bukan keluargaku, kenapa aku harus peduli dengan apa yang dia lakukan? Kenapa aku harus peduli dengan apa yang dia rasakan? Kau keluargaku, kau juga yang berselingkuh dengannya, jadi sekarang, telepon dia. Akhiri hubungan kalian dan berjanji padaku kau tidak akan menemuinya lagi."
Di serang dengan semua kata-kata itu, Lisa tidak lagi bisa bicara. Gadis itu menelepon Jiyong lewat handphone suaminya dan Jihoon menyuruh Lisa menyalakan speaker di handphonenya. Ia ingin mendengar sendiri perpisahan itu. Lama panggilan itu diabaikan, sampai akhirnya panggilan itu baru dijawab di detik-detik terakhir sebelum berakhir. "Terimakasih karena sudah menelepon, aku berencana menghubungimu lebih dulu," kata Jiyong begitu ia menjawab panggilannya di pukul sembilan pagi. Jiyong sudah pergi bekerja sekarang, hanya Jihoon yang akan terlambat datang ke kantor hari ini.
Mendengar Jiyong berkata begitu, Jihoon memberi tanda agar Lisa diam. Agar Jihoon bisa mendengar kata-kata selanjutnya dari Jiyong. "Aku tahu bagaimana rasanya di selingkuhi. Aku memahami perasaanmu, dan aku minta maaf. Maaf juga karena aku tidak bisa menahan diriku, aku mencintainya, istrimu dan Lisa pun begitu. Kau pasti mengerti bagaimana rasanya, jatuh cinta pada wanita sepertinya, sulit sekali untuk bisa menahan diri," kata Jiyong kemudian, membuat Jihoon berdecak, meremehkan apa yang ia dengar sekarang sementara Lisa kebingungan. Gadis itu tidak tahu bagaimana ia harus merespon. Tidak tahu apa yang perlu ia lakukan untuk membuat Jihoon merasa lebih baik.
Jihoon menaikan dagunya, memberi tanda pada Lisa untuk bicara sekarang. Maka gadis itu buka mulutnya, "oppa," begitu panggilnya. Jelas membuat Jihoon kesal, jelas juga membuat Jiyong terkejut. "Oppa, kita harus berhenti sekarang. Aku tidak ingin Jihoon oppa meninggalkanku. Maaf- tidak, maksudku aku merasa sangat buruk pada Jihoon oppa, aku merasa bersalah padanya, aku sudah melukainya dan melihatnya terluka membuatku hampir gila. Aku tidak bisa melanjutkannya lagi. Aku harap kita tidak akan bertemu lagi," katanya terburu-buru, kemudian mengakhiri panggilan itu secara sepihak, khawatir kalau semakin lama ia bicara, Jihoon akan semakin marah.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Modern Fox
FanfictionAku mendengar rumor tentang serigala, katanya mereka masih liar. Aku punya gigi yang tajam seperti mereka, tapi aku tidak ingat cara memakainya, aku tidak ingat caranya menggonggong. Now, i feel like a modern fox. I lost my love, but i feel nothing...