***
Ia langsung bergerak duduk, terkejut dengan apa yang Lisa katakan padanya. "Gadis kemarin siapa?" tanya Jiyong, berharap mereka sedang membicarakan wanita yang berbeda. "Siapa yang kau bicarakan?" tanyanya sekali lagi.
"Kiko," singkat Lisa. "Harus aku sebut namanya?" gadis itu menekuk wajahnya, menunjukkan ketidak sukaannya dengan begitu jelas.
"Dia pernah berkencan dengan suamimu?"
"Bukan hubungan yang serius dan aku tidak mengkhawatirkan Jihoon oppa. Seleranya sudah berubah dan dia tidak akan menyukainya lagi. Apalagi setelah dia tahu kalau wanita itu akan membuat pekerjaannya jadi semakin sulit. Tapi aku tetap tidak menyukainya, wanita itu," katanya. "Karena itu, beritahu aku... Oppa masih menemuinya? Atau sudah memutuskan hubungan kalian seperti yang istrimu katakan?" tanyanya, terdengar kesal namun juga tegas diwaktu bersamaan.
"Apa yang Hyuna katakan?" Jiyong bersila di sofa. Ia raih tangan kekasihnya, menggenggamnya sembari memberi beberapa usapan pelan. Berjanji kalau begitu Lisa kelihatan marah dan akan beranjak pergi, ia akan langsung menahan tangannya.
"Katakan saja yang sebenarnya, aku sendiri yang akan memutuskan untuk mempercayaimu atau istrimu," jawab Lisa dengan jemarinya yang balas menggenggam tangan Jiyong. "Meskipun oppa membohongiku, tidak apa-apa. Aku memang akan sedih, tapi itu tidak akan lama. Kita akan berpisah, mungkin sedih untuk satu atau dua hari, lalu semuanya akan kembali seperti semula. Oppa dengan pasanganmu dan aku dengan milikku. Jadi katakan saja, bagaimana hubunganmu dengan wanita itu sampai kapan terakhir kali kalian bertemu."
"Seumur hidupku aku tidak pernah diancam seperti ini," komentar Jiyong. "Kau punya cara yang manis untuk mengancam. Buat aku percaya atau aku akan meninggalkanmu, begitu maksudmu?" susulnya dan Lisa hanya menaikan alisnya, berpura-pura tidak tahu kalau dirinya sedang mengancam Jiyong sekarang.
Lisa bisa meninggalkan Jiyong kapan saja ia mau dan pria itu pun sama. Mereka hanya berkencan, tanpa seorang pun mengetahuinya. Berpisah tidak akan terlalu rumit untuk hubungan yang seperti itu. Selain perasaan masing-masing tidak ada yang perlu mereka pertahankan— pendapat orang lain, hubungan keluarga, pekerjaan, status sosial— tidak akan ada yang rusak meski hubungan mereka berakhir sekarang.
"Aku bertemu dengannya di Jepang, jauh sebelum aku mengenal Hyuna. Tapi saat itu tidak ada apapun di antara kami. Hanya teman yang diperkenalkan oleh teman lainnya. Lalu sekitar dua tahun lalu, tentunya sebelum kau dan suamimu tinggal di depan rumahku, dia tiba-tiba menghubungi Hyuna. Katanya dia punya pekerjaan di sini dan dia butuh orang yang bisa dia percayai untuk pekerjaan itu. Dia dengar dari temannya sesama model kalau Hyuna menikah dengan seorang pengacara, dia menghubungi Hyuna dan dia datang ke kantorku. Kami sama-sama terkejut saat bertemu di kantorku. Dia memintaku mengurus masalah kontraknya di sini, memintaku jadi negosiator selama pembicaraan kontrak itu. Kami sering bertemu waktu itu. Kemudian aku tahu kalau Hyuna berselingkuh dan aku melakukan hal yang sama. Bagaimana dengan versinya?"
"Dia tidak berselingkuh. Oppa salah paham dan tidak mau mendengarkannya. Lalu oppa berkencan dengan wanita itu? Berapa lama?"
"Menurutku kami tidak benar-benar berkencan. Aku tidur dengannya karena marah pada Hyuna. Tapi rasanya aku seperti seorang berengsek kalau aku hanya menidurinya, jadi aku memberinya beberapa hadiah. Lalu setelah jatuh cinta padamu, aku memberitahunya kalau aku tidak bisa menemuinya lagi. Sampai di pemakaman kemarin aku tidak pernah bertemu lagi dengannya. Dia beberapa kali menelepon sampai menelepon asistenku, tapi aku mengabaikannya. Aku tidak ingin bicara atau menemuinya lagi. Aku hanya ingin bicara dan menemuimu, aku terus menginginkannya sampai tidak bisa memikirkan wanita lain."
"Jahat sekali," komentar Lisa. "Tapi tidak buruk, aku menyukai alasanmu. Lalu setelah kejadian di pemakaman itu?"
"Tentu saja aku menemuinya," jujur Jiyong. "Tadi pagi sebelum pergi ke kantor," detailnya.
"Dimana dan bagaimana pertemuan itu?"
"Di restoran hotel tempatnya menginap. Aku memintanya untuk menyerah, dan tidak menemuiku lagi. Responnya sama seperti yang kau bayangkan. Dia menolak, dia ingin aku segera bercerai dan kembali padanya. Sejak aku berhenti menghubunginya, dia berusaha keras untuk bisa datang ke sini, mencari-cari alasan untuk berada di sini, untukku, dan aku harus menghargai usahanya. Aku harus memberinya kesempatan."
"Oppa akan memberinya kesempatan itu?"
"Kalau memberinya kesempatan berarti kehilanganmu, tidak. Aku tidak akan memberinya kesempatan apapun. Karena sekarang Hyuna berubah pikiran, aku tidak bisa berjanji akan bercerai dalam waktu dekat ini. Semua rencanaku harus diulang dari awal lagi. Tapi hanya rencanaku yang berubah, perasaanku masih sama. Aku masih mencintaimu dan kurasa, aku tidak akan baik-baik saja kalau kau pergi dariku."
"Kenapa?" Lisa merubah sedikit posisi duduknya. Kini ia tidak lagi menggenggam tangan Jiyong, ia pun tidak menatapnya. Gadis itu bersandar ke sofanya, menatap lurus pada pantulan bayangannya di layar telivisi yang gelap. "Sebenarnya aku tidak ingin oppa bercerai karenaku. Kalau oppa memang harus bercerai karena tidak mencintai istrimu lagi, bercerai lah. Tapi oppa masih mencintainya. Oppa melihat fotonya sepanjang hari di kantor. Oppa masih memajang foto kalian di kantor. Aku lebih setuju kalau oppa memperbaiki hubunganmu dengan istrimu, daripada bercerai."
Kini Jiyong yang bertanya, kenapa Lisa berfikiran seperti itu. Kenapa Lisa puas hanya dengan menjadi wanita simpanannya? Kenapa gadis itu tidak menginginkannya seperti bagaimana wanita-wanita lain menginginkannya? Tidak seperti Kiko yang berharap menjadi satu-satunya. Tapi saat ditanya, Lisa hanya tersenyum sembari mengangkat bahunya.
"I don't have a good answer," katanya.
"Karena kau tidak seberapa mencintaiku? Itu memang bukan jawaban yang menyenangkan," balas Jiyong setengah menyindir.
Mendengarnya, Lisa langsung menoleh. Dahinya berkerut menatap Jiyong dan pelan-pelan gadis itu memojokan kekasihnya di sudut sofa. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Jiyong, hampir berbaring di sofa panjang itu namun punggungnya sudah lebih dulu membentur sandaran sofanya sebelum ia benar-benar berbaring.
"Melihatmu," jawab Lisa. "Untuk tahu, oppa sedang merajuk sungguhan atau hanya membual agar aku melakukan sesuatu untukmu."
"Merajuk," Jiyong menjawabnya. "Sungguhan, tidak ada yang aku inginkan darimu," yakinnya.
"Manisnya," komentar Lisa. "Tapi sekarang giliranku yang merajuk, jadi hentikan."
"Apa yang harus aku lakukan agar kau berhenti merajuk?"
"Gunakan imajinasimu. Jangan bertanya seperti amatir. Aku sudah punya seorang amatir yang harus aku urus di rumah," kini gadis itu menjatuhkan tubuhnya, memeluk Jiyong yang ada di depannya.
"Pasti bukan bersetubuh, bukan hadiah, bukan bunga, semua kata-kataku akan terdengar seperti omong kosong, hm... makan malam? Kau belum makan malam kan?" tanya Jiyong, setelah ia melihat ke arah meja di depan sofa juga meja makan di dalam suite room yang masih kosong.
Ia menganggukan kepalanya, namun tetap melarang Jiyong untuk bangun dan memesan layanan kamar untuknya. Terus ia peluk kekasihnya dengan mata yang pelan-pelan terpejam. "Aku ingin makan sepiring steak saat bangun nanti," katanya, disusul sebuah anggukan pelan dari lawan bicaranya.
Perlahan Jiyong merubah posisi tubuhnya, bersama kekasihnya, pria itu berbaring di sofa, memeluknya. Dengan lembut tangannya mengusap helai rambut Lisa, membelainya sampai gadis itu benar-benar terlelap, lantas setelahnya Jiyong baru bisa memesan layanan kamar seperti yang wanitanya inginkan. Dua steak untuk makan malam yang terlambat, dengan sebotol wine dan sebuket bunga untuk mendapatkan lagi hatinya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Modern Fox
FanfictionAku mendengar rumor tentang serigala, katanya mereka masih liar. Aku punya gigi yang tajam seperti mereka, tapi aku tidak ingat cara memakainya, aku tidak ingat caranya menggonggong. Now, i feel like a modern fox. I lost my love, but i feel nothing...