***
Langkahnya terdengar terburu-buru. Ia hampir berlari saking cepatnya melangkah. Bahkan di dalam lift, gadis itu terus menggerakkan kakinya, seolah-olah tengah melangkah. Beruntung tidak ada seorang pun di dalam lift agensi itu, jadi hanya orang-orang yang mengecek cctv yang akan menganggapnya aneh.
"Oppa!" katanya, tanpa mengetuk pintu ruang kerja suaminya. Lisa mengejutkan Jihoon yang sedang bekerja di kantornya sore ini. Masih dengan pakaian santainya— celana jeans dan kaus, dengan rambut digelung acak-acakan— gadis itu menjemput suaminya di kantornya, di pukul setengah empat sore. Satu setengah jam sebelum Jihoon bisa pulang. "Rasanya aku hampir gila," susulnya, sementara suaminya masih heran melihat istrinya menerobos masuk begitu. Terlebih dengan pakaiannya yang sekarang, yang terlalu santai, terlalu acak-acakan untuk ukuran seorang istri wakil CEO. Beruntung gadis itu tidak di usir di pintu depan tadi.
"Kenapa? Ada apa denganmu?" heran Jihoon, dengan dahi berkerut. "Kau sudah terlihat gila, ada apa?" susulnya penasaran. Kalau Lisa hanya datang setelah berbelanja, atau mampir karena kebetulan lewat setelah minum kopi di suatu tempat, Jihoon tidak akan seheran ini. Heran karena istrinya datang dalam tampilan yang tidak biasanya. Meski memakai pakaian santai, Lisa tidak akan keluar rumah dengan tampilan super acak-acakan seperti ini. Setidaknya gadis itu akan merapikan rambutnya sebelum turun dari mobil.
"Aku ditawari pekerjaan lagi," katanya, semakin membuat Jihoon keheranan.
Sepanjang pernikahan mereka, Lisa sudah berkali-kali ditawari pekerjaan. Setidaknya hampir setiap bulan ada seseorang yang meneleponnya dan menawarinya pekerjaan. Orang-orang dari majalah, stasiun TV, rumah produksi film, sampai agensi-agensi entertainment menginginkan Lisa bekerja untuk mereka. Gadis yang sudah berkali-kali memenangkan kontes fotografi, sempat punya karir menjanjikan sebagai fotografer, putri seorang menteri dan sekarang istri seorang wakil CEO, diinginkan banyak perusahaan. Terlebih mereka yang butuh lebih banyak koneksi melaluinya.
"Lalu? Apa alasan yang membuatmu datang ke sini dan tidak bisa menunggu sampai aku pulang nanti?" tanya Jihoon, menjeda sebentar pekerjaannya.
"Kali ini jadi direktur," jawab Lisa. "Di Venus's Gallery," tambahnya.
"Dimana itu?" susulnya, yang juga memakai laptopnya untuk mencari nama galeri itu. "Kau pernah jadi fotografer untuk mereka," komentar Jihoon setelah mencari nama galerinya di mesin pencari. "Pameran tahun 2017, kau yang mengambil foto untuk pamfletnya. Pemiliknya sekarang Choi Seunghyun, kau juga pernah memotretnya," Jihoon terus bicara meski Lisa sudah mengingat fakta itu.
"Aku tidak ingin bekerja," kata Lisa, setelah ia berhasil mengusir Jihoon dari kursinya. Gadis itu menghampiri Jihoon untuk melihat hasil pencarian suaminya, lalu mendorong bahu Jihoon agar bangun dari duduknya dan ia bisa duduk di sana. "Tapi kali ini menggiurkan," susulnya, memelas sembari menatap suaminya yang berdiri di sebelahnya.
Lalisa berbakat untuk apapun yang sangat ia sukai. Ketika ia suka menari, sebuah agensi besar menawarinya posisi di grup idola yang akan mereka debutkan. Ketika ia baru pertama kali mendapatkan lisensi mengemudinya dan sedang jatuh cinta pada mobil, ia berhasil mengemudi di sirkuit. Ketika bermain musik jadi hobinya, seseorang memintanya bermain piano di resital biola-nya, Lisa diminta jadi pianist pengiring dalam salah satu syarat kelulusan seorang violinist.
Sayangnya, bakat-bakat alami itu hanya berlaku untuk sesuatu yang sangat disukainya. Sekeras apapun ia berusaha, ia tetap tidak bisa memasak. Sekeras apapun ia belajar, ia tetap tidak bisa mengingat bagaimana bentuk rumus kimia dari fotosintesis, atau bagaimana urutan sistem pencernaan dan pernafasan manusia. Sebanyak apapun ia membaca, ia juga tidak bisa menghafal pasal-pasal dalam buku undang-undang. Meski punya banyak bakat di luar sekolah, gadis itu berkali-kali hampir tinggal kelas karena gagal dalam ujian sainsnya. Kalau hanya mengandalkan nilai sekolahnya, ia tidak akan bisa kuliah di universitas manapun. Laporan hasil belajarnya baru mulai memuaskan setelah ia diizinkan belajar di fakultas yang ia inginkan. Ia gadis yang hanya akan bersinar ketika memilih sendiri jalan hidupnya.
"Kau ingin bekerja di galeri? Mengadakan pameran, kegiatan amal, menjual dan membeli karya seni, menyewakan tempat untuk acara ini dan itu?" tanya Jihoon. Ia putar kursinya, membuat Lisa yang sebelumnya menyandarkan kepalanya ke meja jadi harus duduk tegak dan menatapnya.
"Aku ingin jadi direktur," jawab Lisa. "Kedengarannya keren, Direktur Park," susulnya.
"Kalau begitu terima saja, coba saja."
"Tapi aku tidak pernah jadi direktur sebelumnya. Maksudnya, aku tidak punya pengalaman sama sekali."
"Coba saja sekarang. Selama kau tidak menggelapkan uang galeri, resiko terburuknya hanya dipecat."
"Tidak apa-apa kalau aku dipecat? Meskipun harus membayar pinalti kalau aku melanggar kontrak?"
"Aku harap kau tidak akan melakukannya, tapi tidak apa-apa," kata Jihoon, yang sebenarnya yakin Lisa tidak benar-benar bodoh seperti bagaimana gadis itu menilai dirinya sendiri. "Tapi siapa yang menawarimu pekerjaan itu?"
"Pelukis Choi tapi lewat Pengacara Kwon," jawab Lisa. "Tadi siang aku tidak sengaja bertemu dengannya di hotel, setelah berenang. Kami minum kopi bersama untuk membicarakan masalah Jisoo dan dia menawariku pekerjaan itu."
"Bicarakan dulu dengan mereka tentang detail pekerjaannya. Kalau kau tetap tertarik, terima saja. Apapun yang kau lakukan, sebagai walimu aku akan menyetujuinya. Termasuk membelamu kalau eommamu marah," tenang Jihoon, meyakinkan gadis yang tetap ia nikahi setelah gadis itu berkata kalau ia tidak ingin bekerja lagi seumur hidupnya. "Duduk di sana dan tunggu aku selesai sambil memikirkannya. Oh iya... Eommamu bilang dia baru saja mengirim obat herbal untukmu," susulnya setelah membuat Lisa berdiri dan melangkah ke sofa, menunggu Jihoon selesai bekerja agar mereka bisa pulang bersama setelahnya.
"Ish! Bilang padanya aku akan membeli lebih banyak kondom kalau dia terus mengirim obat!" ketus Lisa, yang suasana hatinya langsung berubah karena informasi itu.
Lisa belum ingin jadi seorang ibu. Ia belum ingin mengandung dan melahirkan seorang bayi, membuat keluarga kecilnya sendiri. Dan gadis itu harus bersyukur karena suaminya tidak keberatan. Jihoon yang menampung semua desakan orangtua mereka. Pria itu melarang orangtuanya mendesak Lisa untuk segera mengandung, juga menenangkan orangtua Lisa setiap kali mereka akan mendesak putri mereka.
"Tapi dimana kau menyimpannya?" tanya Jihoon kemudian.
"Apanya?" balas Lisa.
"Kondom yang kau beli. Aku tidak pernah melihatnya. Kau benar-benar membelinya?"
"Untuk apa? Buang-buang uang, meski aku beli, oppa tidak pernah memakainya. Lupa, tidak sempat, tidak nyaman, malas, sejak kita berkencan, banyak sekali alasanmu sampai aku malas mengeluh," acuhnya. "Aku hanya ingin mengancam eommaku... Katakan saja begitu agar dia berhenti mengirim obat. Atau oppa saja yang minum obat pahit itu."
"Oh ya? Wah... berarti selama ini aku tidak pernah terlambat-"
"Apa itu perlu dipuji?" potong Lisa. "Cepat selesaikan pekerjaanmu, ayo pulang, atau kerjakan saja besok... Oppa... Ayo pulang," rengeknya kemudian.
"Pulang saja duluan," jawab Jihoon, sama sekali tidak ambil pusing dengan rengekan istrinya. Wanita yang hampir lima tahun lebih muda darinya.
"Malu," singkat Lisa. "Tapi oppa... Aku pernah bilang kan kalau aku cemburu pada sekretarismu? Kenapa dia masih bekerja di sini?"
"Dia sekretaris CEO sekarang," Jihoon menjawab sembari menunjuk ke langit-langit kantornya dengan penanya. "Sesekali turun hanya untuk mengantarkan pesan ke sekretarisku, laki-laki di depan pintu," santainya, yakin kalau jawabannya akan memuaskan sang istri.
"Berapa kali dia turun ke sini dalam sehari?"
"Bagaimana aku tahu?"
"Good job," katanya, sebelum kemudian ia mengambil jas suaminya, memaksa suaminya memakai jas itu untuk menghemat waktu agar mereka bisa segera pulang, tepat setelah pekerjaan Jihoon selesai. "Oh? Ini dari sponsor? Boleh aku melihatnya?" susulnya, sebab ia menemukan setumpuk kotak di dekat coffee maker.
"Hm... Hadiah dari klien, pilih yang kau suka. Sisanya akan aku berikan ke karyawan lain," angguk Jihoon. "Buatkan aku es kopi juga," susulnya, mumpung istrinya berdiri di dekat coffee maker.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/314627191-288-k236615.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Modern Fox
FanfictionAku mendengar rumor tentang serigala, katanya mereka masih liar. Aku punya gigi yang tajam seperti mereka, tapi aku tidak ingat cara memakainya, aku tidak ingat caranya menggonggong. Now, i feel like a modern fox. I lost my love, but i feel nothing...