32

232 27 6
                                    

***

Mereka akhirnya bertemu, setelah lama menghindar. Di salon tempat Lisa merias wajahnya sebelum pesta, mereka bertemu. Jiyong datang setelah menerima telepon dari Jisoo. Ia datang, setelah Lisa berhasil memohon pada Jisoo. "Ini yang terakhir kalinya, kami harus bertemu untuk menyelesaikannya, ada hal yang ingin aku katakan padanya," kata Lisa, memohon sedikit bantuan Jisoo. "Meski nanti Jihoon oppa tahu dan dia memukulku, aku tidak keberatan. Aku hanya perlu waktu untuk bicara dengannya, hanya sebentar, aku mohon," ia terus memohon sampai akhirnya Jisoo tidak bisa lagi menolak. Ia telepon Jiyong, memintanya datang ke salon dan sekarang mereka berdua diberi privasi untuk bicara.

Di ruang yang lebih tertutup— mirip cafe yang hanya dibatasi sebuah partisi— mereka duduk berhadapan. Jiyong tidak berhenti menatap Lisa, melihat gadis di depannya dengan semua perhatian yang ia miliki, dengan semua fokus yang ia punya. Sedang gadis yang begitu diperhatikan, hanya bisa menundukkan kepalanya, sembari sesekali menggigit bibirnya sendiri. Lisa terlalu gugup untuk bicara, dadanya pun terasa nyeri karena raut wajah pria di depannya.

"Sebenarnya, aku berencana menemuimu setelah sidang perceraianku selesai," kata Jiyong membuka pembicaraan diantara mereka. "Entah apa yang terjadi, tiba-tiba Hyuna pergi dari rumah. Dia membawa semua barang-barangnya, putriku, barang-barang putriku lalu pergi begitu saja. Tanpa surat, tanpa pesan, tanpa apapun. Aku mencarinya, ke tempat yang mungkin ia kunjungi, ke rumah ibunya, ke rumah bibi dan pamannya, tapi dia tidak ada di sana. Dia memberitahu keluarganya kalau kami sudah berpisah dan meminta mereka semua untuk tidak memberitahuku kemana dia membawa putriku pergi. Sampai hari ini aku belum bertemu dengannya, dengan putriku juga. Hanya pengacaranya yang datang, dia ingin bercerai. Katanya, dia tidak butuh tunjangan apapun. Dia tidak menginginkan uangku. Dia hanya menginginkan putriku, dia ingin aku tidak bisa lagi menemui putriku," cerita Jiyong, sambil terus menatap gadis di depannya.

Perlahan Lisa mengangguk, mengatakan kalau ia tahu tentang kepergian Hyuna. Gadis itu pun mengangkat tangannya ke meja, menaruh sebuah kotak beludru di atas meja kemudian membukakannya untuk Jiyong. Ada cincin milik Hyuna di sana, cincin yang Hyuna berikan padanya ketika wanita itu tahu tentang perselingkuhan mereka. Tidak hanya cincin itu, tapi Lisa juga memberi Jiyong selembar kertas yang sudah di remas namun kembali diluruskan dan dilipat.

Jiyong membuka lipatan kertas itu. Membaca surat dari Modern Fox untuknya. Surat pertama yang ia terima dari orang aneh itu. Lantas, ia angkat kepalanya. Menekan dalam-dalam rasa terkejutnya dan menatap lagi gadis di depannya. Berusaha keras untuk terlihat tenang, mengimbangi gemetar gugup gadis di hadapannya.

"Bagaimana kau bisa mendapatkan semua ini?" tanyanya, sembari menutup juga melipat kembali kertas yang Lisa tinggalkan di atas meja.

"Hyuna eonni yang memberikannya. Dihari ia pergi dari rumah," bisik Lisa. "Aku minta maaf," susulnya kemudian, dengan suaranya yang bergetar, hampir menangis.

"Apa yang membuatmu harus minta maaf? Cepat atau lambat dia memang harus tahu," tenang Jiyong. "Sejak melihatmu terluka karena suamimu, hatiku sakit sekali. Melihatmu menangis, lalu dipukul, membuatmu dipaksa memohon agar tidak diusir, semuanya melukai perasaanku. Aku tidak bisa melihat lebih banyak lagi. Karena itu aku memang berencana memberitahu Hyuna, berencana menceraikannya, meski akhirnya dia meninggalkanku lebih dulu dan merebut putriku. Hanya urutannya yang berubah, perasaanku tidak. Aku berencana untuk bercerai, kemudian membawamu pergi dari suamimu yang kasar itu. Aku akan melindungimu, aku ingin melindungimu jadi kau tidak akan dipukul lagi," katanya, ingin meraih tangan Lisa untuk ia genggam, untuk ia usap, ia tenangkan. Namun gadis itu menyembunyikan tangannya di bawah meja, enggan untuk di sentuh.5c

"Aku sungguh-sungguh saat bilang aku mencintaimu. Aku pikir aku memang mencintaimu. Aku pikir perasaan yang aku rasakan memang cinta. Aku pikir perasaan itu sama besar dengan perasaan yang aku punya untuk Jihoon oppa. Tapi ternyata tidak, pikiranku salah. Butterfly effect yang terjadi karena perasaanku padamu, terlalu besar untuk bisa aku atasi. Aku minta maaf, oppa," katanya, menolak rencana Jiyong. "Awalnya aku hanya menduga-duga. Kalau oppa sengaja memberitahu Jihoon oppa tentang hubungan kita. Aku tidak ingin mempercayainya. Aku rasa kita sudah cukup bahagia dengan hubungan itu, tapi sepertinya hanya aku yang merasa cukup bahagia. Sepertinya oppa tidak merasa begitu, aku minta maaf," susulnya.

Jiyong mengangguk, mengiyakannya. "Hm..." ia bergumam, untuk mengiyakannya. "Aku tidak merasa cukup hanya dengan diam-diam menemuimu. Setelah sepupumu mengetahui hubungan kita dan kau menjaga jarak dariku, aku menyadari sesuatu. Aku ingin meneleponmu kapan pun aku merindukanmu, aku ingin menemuimu kapan pun aku membutuhkanmu. Saat aku tidak bisa meraihmu, aku merasa seperti... I've been lost for so may days, feel so down but nothing can bring me back. I'm turning into a mutant, i can't feel anything. Hanya kau yang ada di kepalaku, memikirkanmu membuatku merasa aman, aku ingin terus merasa aman. But you know, this feeling's not that bad," katanya.

"Aku minta maaf, aku tetap tidak bisa melakukannya. Aku tidak bisa menerima perasaanmu lagi, oppa," katanya, tanpa berani menatap pria di depannya. "I was falling from the sky. Aku kira aku tidak takut ketinggian, tapi ternyata jatuh sangat menakutkan. Loving two people wasn't happier than i though. There, so many victims of my bad habit. I was villain, aku minta maaf."

"Kalau kau merasa bersalah padaku, kau harusnya tidak mengatakan itu," balas Jiyong. "Kau harusnya meminta maafku, kemudian menenangkanku, mengatakan kalau kau akan bertahan dan tidak akan meninggalkanku, tidak melukaiku, bukan begitu? Kalau kau memang benar-benar merasa bersalah padaku, bukankah itu yang harusnya kau lakukan?"

Lisa kemudian menarik turun kerah kausnya, menunjukan memar yang ada di bahunya, juga di lengan bagian atasnya. Menunjukan luka yang belum sembuh sejak terakhir kali Jihoon memukulnya karena Jiyong menemuinya. Jiyong sempat melihat luka-luka itu, namun ia langsung memalingkan wajahnya. Menghindar dari pemandangan yang tidak menyenangkan itu. Pemandangan yang membuat dadanya terasa sangat nyeri.

"Aku akan terus dipukul setiap kali menemuimu," kata Lisa setelah ia merapikan kembali pakaiannya.

"Kau bodoh? Kenapa-"

"Aku akan terus dipukul setiap kali menemuimu dan aku tidak keberatan diperlakukan seperti itu. Memang sedikit sulit untuk aku hadapi, tapi aku akan menerimanya, hukumanku," potong Lisa.

"Kau boleh menjadi sedikit egois dan pergi bersamaku. Sampai kapan kau bisa bertahan dengannya? Dengan pukulannya? Kau tidak takut? Kau bisa mati, Lisa... Kau sudah cukup menerima hukumanmu, jadi pergi saja bersamaku, hm?" bujuk Jiyong sekali lagi. Kali ini raut wajahnya terlihat putus asa. Terlihat begitu sedih, begitu khawatir pada Lisa yang dipukuli suaminya.

"Tentu saja takut... Pukulannya sangat menyakitkan... Tapi oppa yang justru lebih menakutkan untukku," katanya. "Oppa yang mengirim semua surat itu, Modern Fox. Oppa bahkan mengirim surat itu untuk dirimu sendiri," susulnya namun Jiyong hanya membisu, tanpa merubah ekspresi wajahnya. "Aku benar, kan? Oppa adalah Modern Fox itu... Kenapa oppa melakukannya? Kenapa oppa juga mengirim surat itu untuk dirimu sendiri? Untuk klienmu juga? Untuk menghindari kecurigaan, atau sengaja agar Hyuna eonni yang menemukannya? Atau keduanya?" tebak Lisa selanjutnya, sebab Jiyong hanya membisu di depannya.

"Melakukannya membuatku senang," setelah lama membisu, Jiyong akhirnya bicara. "Melihat mereka ketakutan karena surat itu, menyenangkan," katanya.

"Termasuk menakut-nakuti dirimu sendiri?"

"Tidak," geleng pria itu, sembari menghindari tatapan Lisa. "Surat untukku, aku buat untuk mendapatkanmu."

"Am i a part of your ambition?"

"Kau bisa menganggapnya begitu. You know, it's hard to quit an old habit. I was addicted to the dopamine. You."

Sebentar keduanya diam. Jiyong sudah mengatakan keinginannya, begitu juga Lisa. Mereka sama-sama tahu apa yang diinginkan satu sama lain. Sialnya, keinginan itu berlawanan, seolah harus ada salah satu dari mereka yang mati untuk mengakhiri situasinya. Terjebak dalam drama keegoisan yang mereka buat sendiri. Melodrama menyesakan yang penuh luka, tanpa jalan keluar, tanpa akhir selain kematian.

***
Tamat

Modern FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang