22

72 22 5
                                    

***

Saat Lisa bilang kalau ia akan mengakhiri perselingkuhan itu ketika salah satu dari dua prianya terluka, ia pikir luka itu tidak akan cepat datang. Ia masih membayangkan bisa bersenang-senang bersama kedua pria itu di waktu dan tempat yang berbeda. Tapi angannya salah. Luka itu datang tanpa peringatan, tanpa ia sempat bersiap lebih dulu. Setelah semalam ia berbincang dengan Jiyong di minimarket, pagi ini lukanya datang, langsung ke tangan Jihoon.

Kau memang bodoh atau hanya berpura-pura bodoh? Istrimu berselingkuh. Dia tidur dengan pria lain saat kau tidak ada bersamanya. Ingin aku beritahu siapa pria itu? Coba tanya pada istrimu, kalau dia berbohong, aku akan memberitahumu yang sebenarnya.

With love,
Modern Fox

Pagi ini di depan rumahnya, Jihoon menemukan surat itu. Tergeletak begitu saja di depan pintunya, hampir ia injak. Reaksi pertama pria itu tentu mendengus, meremas suratnya, hendak dibuang. Itu hanya surat iseng dari orang aneh yang tidak ia kenal— nilai Jihoon. Sama seperti ketika ia menerima surat tentang Kiko, pria itu merasa tidak perlu ambil pusing.

Ia melangkah ke mobilnya setelah membuang surat itu. Akan membuka pintu mobilnya, namun gerakannya berhenti. Ada ingatan yang mengganggunya— bagaimana kalau surat itu benar? Orang gila itu benar saat membicarakan tentang Kiko— kini ia ragu.

Jihoon berbalik, hendak menghampiri istrinya yang kini melangkah keluar dari rumah mereka. Gadis itu membawa tasnya, sibuk melangkah sembari menatap serius handphone di tangannya. Katanya gadis itu akan pulang terlambat malam ini, sebab istri seorang politikus ingin menemuinya untuk sebuah transaksi di jam makan malam.

"Ya," angguk Jihoon, yang justru melewati Lisa, kembali mengambil surat yang sebelumnya ia buang. "Aku melihat ini ada di depan pintu tadi," susulnya, menunjukkan selembar kertas yang sebelumnya sempat ia buang.

"Apa?" kini Lisa menyimpan handphonenya, ia tatap seorang supir yang sejak tadi sudah menunggunya di dekat mobilnya kemudian mengalihkan pandangannya pada Jihoon.

Lisa membeku ketika membaca surat yang Jihoon tunjukan. Keduanya sama-sama membisu, Lisa tidak bereaksi sedang Jihoon tengah menilai reaksi gadis di depannya itu. "Kapan oppa tidak bersamaku?" tanya Lisa kemudian, seolah ia tengah menyiapkan jawabannya jauh-jauh hari sebelumnya. "Dimana aku tidur dengan pria lain? Di rumah? Di sini? Sepertinya aku selalu tidur di rumah, tapi bagaimana dia bisa tahu?" susulnya, dengan alis terangkat seolah dirinya baru saja dituduh melakukan sesuatu yang tidak ia lakukan.

Jihoon masih menilai. Belum bisa ia putuskan untuk mempercayai surat itu atau mempercayai istrinya. Lantas, sebab tidak tahan menunggu, Lisa mengangkat kepalanya untuk menatap suaminya, "oppa mempercayainya?" tanya Lisa kemudian, tanpa berkedip. Jihoon pasti akan sangat marah kalau tahu istrinya bisa berbohong tanpa berkedip kepadanya.

"Kau tidak melakukannya?" balas Jihoon.

"Oppa akan sangat sedih kalau aku melakukannya," kata Lisa, yang kemudian mengulurkan tangannya untuk memeluk Jihoon. "Aku tidak ingin membuatmu sedih," susulnya, tanpa benar-benar menjawab pertanyaan Jihoon.

Jihoon membalas pelukan itu, mengusap rambut istrinya dengan hati-hati agar rambut yang sudah ditata itu tidak berantakan. Sembari memeluk, ia kemudian berkata, "maaf karena sempat ragu, aku mempercayaimu," ucap yang keluar dari mulutnya.

"Sekarang oppa tidak ragu lagi?" tanya Lisa dan Jihoon menganggukan kepalanya. Lisa bersyukur, sebab Jihoon langsung memberitahunya mengenai surat itu. Sebab Jihoon tidak merahasiakan suratnya, memendam sendiri rasa penasarannya, menyimpan sendiri keraguannya. Semakin lama Jihoon diam, ia akan semakin sulit mendapatkan kembali kepercayaan pria itu. "Haruskah aku membatalkan jadwalku dan menemanimu? Oppa pasti kesal dan merasa sangat tidak nyaman setelah membaca surat iseng itu," tawar Lisa namun Jihoon hanya terkekeh, mengatakan kalau mereka harus bersikap profesional dan tetap pergi bekerja hari ini.

Menjelang sore, beberapa menit sebelum jam kerja berakhir, Jiyong datang ke tempat kerja Lisa. Ada dua gelas es kopi di tangannya, ia melangkah sembari tersenyum, menyapa beberapa orang yang bekerja di sana. Ia kelihatan sangat senang hari ini, jauh berbeda dengan Lisa yang kelihatan kesal sepanjang hari. 

"Direktur Park ada di sini?" tanya Jiyong, pada seorang kurator yang bertemu dengannya di lift, menuju lantai tempat Lisa bekerja.

"Ya," angguk wanita di sana. "Tapi suasana hatinya sedang buruk," jawabnya. "Kau tahu?"

"Hm?"

"Aku masih kesal karena kau memberikan posisi itu pada orang lain, bukan padaku," jawab wanita tadi. "Tapi Direktur Park tidak buruk, dia sedikit berbakat," susulnya membuat Jiyong terkekeh.

"Dan dia tidak peduli darimana asal semua uang di sini. Seni memang mahal," gumam Jiyong, tersenyum simpul kemudian melangkah lebih dulu meninggalkan lift itu, sedang sang kurator justru menautkan alisnya. Dengan dahi berkerut, kurator itu bertanya-tanya, apa dia tidak salah dengar barusan? Uang apa yang Jiyong bicarakan?

Sejurus kemudian, Jiyong mengetuk pintu ruang kerja Lisa. Ia dipersilahkan masuk namun Lisa tidak terlihat senang saat melihatnya. Gadis itu justru kelihatan marah, sangat marah.

"Tebak apa yang aku bawa, sayang," kata Jiyong, setelah ia memastikan tidak ada seorang pun yang mendengar mereka. "Baiklah kalau kau tidak ingin menebak," susulnya, perlahan senyumannya mendatar, ia dekati kekasihnya setelah meletakan barang bawaannya di meja.

Kini, Jiyong berdiri di depan meja kerja Lisa. Sedang gadis yang ia kunjungi masih sibuk menatap beberapa laporan di mejanya. "Ada apa? Kenapa kau terlihat sangat kesal, hm? Datang bulan?" tanya Jiyong, sedikit membungkuk untuk menatap kekasihnya sembari menutup map hitam berisi laporan yang tengah kekasihnya baca. "Atau ada masalah dengan pekerjaanmu? Atau masalah lisensi kemarin?" tebaknya namun Lisa hanya menatap kesal pada pria di depannya.

"Kenapa oppa melakukannya?" tanya Lisa, yang kini menatap tajam pada pria di depannya. Gadis itu masih duduk di mejanya, ia perlu mendongakan kepalanya agar bisa menatap pria itu.

"Apa yang aku lakukan?"

"Berpura-pura menjadi Modern Fox dan menaruh surat di depan rumahku," jawab gadis itu tanpa berbasa-basi. Ia berikan surat yang tadi pagi Jihoon terima, menunjukannya pada Jiyong kemudian membuat pria itu langsung membulatkan matanya— tidak percaya kalau ia yang dicurigai sekarang.

"Aku tidak membuat ini," kata Jiyong. "Aku tidak mungkin membuatnya, kenapa aku membuat sesuatu seperti ini?" bingungnya, merasa kecurigaan Lisa saat itu sangatlah tidak adil baginya.

"Lalu siapa?! Aku yang mengirimnya?! Hanya kita yang tahu tentang perselingkuhan kita!" marah Lisa, berteriak cukup keras hingga tidak ia sadari kalau suaminya berdiri di balik pintu ruang kerjanya.

"Bisa saja itu sepupumu!" balas Jiyong, juga tidak tahu kalau seseorang tengah mendengarkan mereka. "Ada apa denganmu, Lisa?! Kemana logikamu?! Untuk apa aku mengirim surat ini pada suamimu?! Untuk memberitahunya kalau aku tidur dengan istrinya?! Kau gila?" heran Jiyong, kali ini terlihat benar-benar marah.

Suara Jiyong yang begitu tinggi, membuat Jihoon mengulurkan tangannya, membuka pintu ruang kerja itu tanpa mengetuknya dan sukses mengejutkan mereka yang bertengkar di dalam. Sebelum Jiyong jadi semakin kasar, Jihoon melangkah masuk tanpa mengatakan apapun seolah sebelumnya dirinya tuli. "Ayo pulang," ajak Jihoon, yang justru terdengar seperti sebuah perintah.

"Oppa-"

"Kita punya rumah, tidak perlu bertengkar di sini," potong pria itu, menatap tajam pada istrinya dengan kedua tangan yang ia masukan ke dalam saku. Lisa tidak akan bisa menggandeng pria itu. Jangankan memeluk lengannya, berjalan di sebelahnya pun terasa mustahil sekarang.

"Aku-" Jiyong tidak bisa melanjutkan kata-katanya sebab sebuah pukulan sudah lebih dulu mendarat di wajahnya. Tentu Jihoon yang memukulnya, dan pria itu berkata kalau ia memukul Jiyong karena Jiyong berteriak pada istrinya. Jiyong tersungkur ke sofa, Lisa hampir berteriak namun menahan teriakannya dengan menutup mulutnya, dan Jihoon meninggalkan mereka. Meski ia tahu istrinya akan membantu Jiyong berdiri lebih dulu, pria itu terus melangkahkan kakinya menuju tempat mobilnya di parkir.

***

Modern FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang