10

103 27 3
                                    

***

Lisa belum kembali ketika Jihoon mempersilahkan Jiyong untuk masuk ke rumahnya. Rumahnya bersih, sebab kemarin lusa asisten rumah tangga mereka sudah datang dan membersihkan segalanya, dan wanita itu baru akan datang lagi hari besok. Ini kali pertama Jiyong masuk ke rumah itu dan pemandangan pertama yang ia lihat adalah sederet lukisan yang dipajang di lorong mulai dari pintu masuk sampai ke dapur dan ruang tamu.

"Whoa... Anda dan Nyonya Park sepertinya memang menyukai lukisan?" komentar Jiyong, setelah melihat semua lukisan yang ada di sana.

"Tidak," Jihoon menggeleng. "Sebelumnya tidak, dia baru menyukainya selama beberapa minggu terakhir ini. Karena tawaran pekerjaan yang kau berikan," jawabnya tanpa berusaha menutupi apapun. "Sebelum mulai bekerja dia merasa perlu mempelajari sesuatu, saat malam dia bisa berjam-jam duduk di depan lukisan-lukisannya, mencoba memahami apa yang ingin disampaikan pelukisnya. Saat siang mencoba berbisnis, saat malam dia mencoba jadi pelukis," ceritanya.

"Wah... Semangatnya benar-benar luar biasa," komentar Jiyong, sesekali membungkuk untuk tahu bagaimana detail lukisan yang Lisa perhatikan saat malam sampai mengabaikan pesannya.

"Mungkin karena itu aku menyukainya?" canda Jihoon yang selanjutnya mengajak Jiyong ke beranda tertutup yang ada di sebelah ruang tamu.

Bentuknya persegi panjang, dengan dinding beton yang ditutupi tanaman rambat. Salah satu sisinya berupa pintu kaca besar yang langsung menuju ruang tamu, sedang tiga sisi lainnya penuh dengan tanaman rambat. Tidak ada atap di atas mereka, hanya ada kayu-kayu cokelat yang dipasang berdekatan untuk mengurangi silau matahari. Saat hujan, mereka tetap akan terkena rintik hujannya. Di beranda itu, Jihoon menyimpan sebuah meja piknik dari kayu, meja yang cukup panjang untuk diduduki enam orang. Sepintas tempat itu seperti ruang makan terbuka yang jauh dari dapur.

"Apa anda merokok, Pengacara Kwon?" tanya Jihoon, yang langsung Jiyong jawab dengan sebuah anggukan cepat.

Pria itu masih sibuk memperhatikan rumah yang amat berbeda dari miliknya. Bukan lebih mewah, namun terasa lebih nyaman karena ada tanda-tanda kehidupan di setiap sudut rumahnya. Seolah pemilik rumahnya selalu mendatangi satu persatu sudut rumah itu. Tidak membiarkannya dingin barang sebentar.

Rasanya canggung bagi Jiyong, sebab selama beberapa tahun dalam hidupnya, pria itu hanya menghabiskan waktu di teras, ruang kerja, kamar tidur putrinya dan kamar tidurnya sendiri. Setelah masuk ke rumah Lisa, ia jadi penasaran bagaimana bentuk beranda samping di rumahnya.

Tidak lama setelah Jihoon meletakkan asbak juga rokok dan korek api miliknya di atas meja, pintu depan terbuka di susul langkah kaki yang terburu-buru. Sembari berlari kecil memegangi piring dengan kue dari Rose, Lisa berseru, "oppa! Oppa! Oppa!" serunya, membuat Jihoon bahkan Jiyong menoleh karena merasa terpanggil.

Seolah lupa kalau sekarang Jiyong adalah tamu yang harus ia jamu— dengan sopan dan anggun bak nyonya rumah sungguhan, layaknya seorang istri wakil CEO pada umumnya— Lisa meletakan kue yang ia bawa begitu saja di atas meja kemudian mendudukan bokongnya ke kursi, tepat di sebelah Jiyong yang jadi makin canggung.

"Kenapa? Ada apa?" Jihoon membuka mulutnya, dilihatnya Lisa menggeser Jiyong yang sudah lebih dulu duduk di bangku panjang mereka namun ia abaikan wajah canggung Jiyong. Jihoon tahu kalau Jiyong pasti bingung karena sikap acuh Lisa yang sedikit tidak sopan ini.

"Tadi aku bertemu suaminya Rosie!" kata Lisa. "Dan dia menakutkan! Dia yang membukakan pintu untukku dan aku hampir kencing di celana karena takut melihatnya! Bahunya tegap, lengannya kelihatan keras walaupun ototnya tidak sebesar Ma Dongseok. Lalu rambutnya pendek, mirip tentara tapi sedikit lebih panjang. Lalu yang paling menakutkan, tatapan tajam sekali- tatapanmu juga setajam itu tapi auranya berbeda. Apa karena dia rentenir? Aku merasa seperti punya hutang milyaran saat melihatnya, saat dia menatapku, aku merasa seolah-olah dia sedang menilaiku, berapa harga ginjalku? Berapa harga jantungku? Tidak terasa seperti sedang ditelanjangi tapi... Uhm... Seperti sedang di X-ray? Untuk melihat apa aku masih punya dua ginjal? Sangat menakutkan!" ceritanya membuat Jihoon juga Jiyong sangat serius mendengarkannya. Tidak ada yang menyela, Jiyong bahkan tidak sengaja menahan nafasnya karena merasa Lisa menceritakan semua itu dalam satu tarikan nafas. Ia ikut lelah setelah mendengar cerita gadis itu.

"Lalu? Kemana saja suaminya selama ini?" tanya Jihoon, sedang Jiyong tidak tahu siapa yang sebenarnya sedang Lisa bicarakan. Pria itu tahu kalau kekasihnya berteman dengan hampir semua penghuni perumahan, tapi tidak pernah tahu pasti bagaimana wajah wanita bernama Rose itu.

"Las Vegas? Atau Hongkong? Aku tidak tahu. Suaminya itu punya bisnis kasino di hotel, kasino untuk orang asing, di luar negeri. Aku hanya tahu kalau Rose dulu punya hutang padanya. Sebelum menikah, hubungan mereka adalah debitur dan kreditur," cerita Lisa, yang kali ini menoleh, melirik tangan Jiyong yang ada di sebelah miliknya dan baru sadar kalau ada orang lain di rumah itu selain ia dan suaminya.

Menyadari keberadaan Jiyong di sana, Lisa lantas berdiri. Berlaga santai kemudian langsung menata kue-kue kering yang Rose berikan. Kue-kue di piring itu jadi berantakan karena ia bawa berlari tadi. "Oh iya, ingin dibuatkan kopi? Atau teh?" tawarnya, menawarkan minuman untuk suaminya lebih dulu sebelum ia menoleh dan menawarkan minuman yang sama pada Jiyong. 

"Kopi," jawab Jihoon.

"Aku juga kopi," susul Jiyong.

"Americano, cappuccino, mocha latte, mint coffee, vanila latte, tiramisu?" tawar Lisa yang kemarin baru saja mengisi ulang stok minumannya.

"Americano," jawab Jihoon dan Jiyong pun menyamakan minumannya.

"Dingin atau panas?" tanya Lisa sekali lagi.

"Dingin," Jihoon menjawab.

"Panas," minta Jiyong, yang kali ini berbeda sebab ia ingin menghabiskan lebih banyak waktu di sana. Ia harus menunggu kopinya dingin untuk menghabiskannya, dan baru bisa pergi setelah kopinya habis.

Setelah mengiyakan pesanan pria-pria itu, Lisa melangkah ke dapur. Jantungnya masih berdebar-debar karena bertemu suami Rose, juga karena pria simpanannya sekarang duduk di rumahnya, bersama suaminya. Rasa gugup yang membuat jantungnya berdebar-debar itu harus ia tenangkan dengan segelas air, secepat yang ia bisa.

Di dapur, Lisa memasukan coffee capsule-nya ke dalam coffee makers. Ia menaruh gelasnya di mesin kopinya, menyalakan mesin itu kemudian bersandar di meja dapurnya. Mengatur nafasnya sembari menunggu kopinya siap disajikan. Sementara Lisa membuatkan mereka kopi, Jiyong bertanya pada pemilik rumah itu— bagaimana mereka bisa berkencan sampai menikah.

"Kami bertemu di kampus," kata Jihoon yang tanpa sadar tersenyum, menyenangkan mengingat masa lalu. "Kami sama-sama mahasiswa Pascasarjana, aku sedang mengambil gelar doktorku dia mengambil gelar magisternya. Waktu aku sudah bekerja dan aku sangat sibuk sampai tidak sempat pergi ke kampus. Saat aku ke kampus, aku beberapa kali melihatnya, dia selalu punya teman mengobrol setiap kali aku melihatnya. Lalu suatu hari saat kuliah Sabtu, aku datang ke kampus lebih awal dan tiba-tiba dia duduk di sebelahku. Dia bilang kelasku dibatalkan. Kami tidak pernah bicara sebelumnya tapi tiba-tiba dia bilang begitu. Oppa kelasmu dibatalkan, kelasku juga, tapi kita sudah terlanjur ke sini. Mau pergi sarapan denganku di kantin?— dia bicara begitu padaku dan sejak itu kami mulai dekat."

"Saat itu kelas kalian benar-benar dibatalkan?" tanya Jiyong.

"Hm... ada sepasang suami istri yang jadi profesor di sana. Hari itu Lisa ada kelas pengganti dengan sang suami dan profesor yang mengajar kelasku adalah istrinya. Kelas Lisa dibatalkan karena dosennya kecelakaan dan dosenku— istrinya itu— juga membatalkan kelas kami untuk merawat suaminya. Setelah sarapan di kantin kami pergi menjenguknya," ceritanya, setelah mengangguk beberapa kali.

"Berapa lama kalian dekat sebelum anda mengajaknya berkencan?" tanya Jiyong, bersamaan dengan datangnya Lisa yang membawa nampan kopi-kopinya.

"Jihoon oppa tidak pernah mengajakku berkencan," gumam Lisa mengomentari cerita itu.

"Oh ya?" Jiyong terdengar tidak percaya.

"Ya," angguk Jihoon. "Saat itu aku tidak punya waktu untuk berkencan. Aku bahkan tidak memikirkannya, lalu Lisa yang mengajakku berkencan lebih dulu. Terimakasih sudah mengajakku berkencan lebih dulu," katanya, sembari menatap Lisa kemudian menyuruh gadis itu untuk mengganti pakaiannya. Lisa kelihatan berkeringat setelah berlari dari rumah Rose tadi, jaket yang ia pakai membuatnya terlihat semakin kelelahan.

***

Modern FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang