1

583 49 6
                                    

***

Semua ini dimulai di malam hari. Sebuah game seduktif yang ternyata mematikan. Lama sekali menunggu matahari terbenam, lalu ketika malam datang, langkah hati-hatinya melesat melewati lorong, pintu demi pintu ia terobos. Dalam kesunyian ia ketuk pintunya yang terakhir.

Tok tok... Tok tok... Tok tok...

Tiga kali ia mengetuk, tidak kurang dan tidak lebih. Satu, dua dan tiga detik setelahnya pintu terakhir itu terbuka, memperhatikan mimpi buruk yang indah. Ia yang membukakan pintu, terlihat seperti... seperti... nightmares but dressed like a daydream— begitu kata Taylor Swift.

Mimpi buruk kemudian menariknya masuk. Kakinya melewati ambang pintunya dan di saat itu lah ia tahu kalau tidak ada lagi jalan kembali. Pintu tertutup dalam sekali gerakan tegas, suaranya seolah menghentikan detak jantungnya, membuatnya sesak. Udara di dalam ruangan itu seperti dikuras habis, ia tidak lagi bisa bernafas, jadi ditariknya bahu sang mimpi buruk. Dengan rakus bibir mereka bertaut, berebut sisa-sisa oksigen di dalam ruangan itu. Seolah mereka akan mati kalau melepaskan ciuman itu.

Tengkuk dan pinggangnya ditekan, tertarik semakin dekat dengan sang mimpi buruk. Takut dirinya jatuh kemudian terbangun, ia dekap mimpi itu, berpegang dengan kuat, menempel pada mimpi buruk yang membawanya pergi dari kenyataan. Satu ciuman, dua ciuman, ia masih ragu. Apa pria ini mencintainya? Apa ia mencintai pria ini? Apa cintanya cukup kuat untuk pria ini? Keraguan memenuhi otaknya dan malam ini hanya ada satu cara untuk mengetahuinya— menciumnya, terus dan terus.

"I feel my heartbeat beating saying it's gonna work, but if I'm dreaming this is gonna hurt," katanya setelah menyelesaikan beberapa ciumannya tanpa memutus jarak diantara mereka.

"You say it's wrong, I'll say it's right. You say it's black, I'll say it's white," mimpi buruk menjawabnya. "At the end, we both know... You... the other half of me. The half that drives me crazy, Lisa. And when you catch this feeling, you'll be chillin' like a villain."

"This feeling?" ia membalas, dengan tangan yang sengaja dijatuhkan, turun ke selangkangan sang mimpi buruk dan meraih apa yang selalu ada di sana.

Malam belum berakhir, masih ada cukup waktu sampai matahari terbit nanti. Kini keduanya berpakaian. Lisa— wanita yang kini mengenakan kembali kausnya— memutar bola matanya, ke kanan dan kiri, berpura-pura tidak melihat tubuh telanjang pria di depannya yang juga mulai berpakaian. Satu persatu, pria itu— Jiyong— mengambil pakaian mereka yang berserakan di lantai. Celana jeans milik teman kencannya, kemeja miliknya, jasnya, ia raih semuanya satu persatu kemudian menaruhnya di atas ranjang, memudahkan mereka untuk berpakaian.

"Oppa," panggil Lisa dengan suaranya yang jauh lebih rendah dari sebelumnya. Suaranya serak, lelah setelah mengerang dan mendesah beberapa jam tadi. "Kau benar-benar akan bercerai?" ia melanjutkan kata-katanya.

"Hm..." Jiyong menganggukan kepalanya. "Sebentar lagi aku akan bercerai."

"Tidak bisakah kalian tidak melakukannya? Kurasa, aku tidak bisa... bercerai," Lisa menanggapi, membuat pria yang belum selesai mengancingkan kemejanya, melangkah mendekatinya.

Dengan lembut, Jiyong menarik naik dagu gadis di depannya. "Tidak apa-apa," lembutnya, membelai halus pipi gadis itu dengan senyum tenang yang selalu terukir di wajahnya. "Kau tidak perlu bercerai... Aku tidak keberatan," tambahnya, disusul sebuah ciuman lembut di bibir lawan bicaranya. Ciuman yang kemudian dibalas sama lembutnya.

***

Pagi tetap datang meski tidak semua orang bersedia menyambutnya. Matahari tetap bersinar meski tidak seorang pun menunggunya dan hari ini ia bersinar lebih cerah daripada biasanya. Sinarnya membantu alarm dari jam weker untuk membangunkan mereka-mereka yang enggan berpisah dari sang mimpi.

Modern FoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang