***
Ia menoleh, ke kanan, ke kiri, ke sekeliling rumahnya mencari si pengirim surat yang mengaku sebagai Modern Fox. Namun tidak satupun tanda keberadaan pria itu yang berhasil ditangkapnya. Begitu masuk ke dalam rumah, dilihatnya pelayannya. Ia tanya asisten rumah tangga di rumahnya mengenai surat itu, namun tidak satupun yang tahu siapa pengirimnya. "Kami tidak tahu kalau ada seseorang yang datang dan meninggalkan surat di depan rumah," kata dua asisten rumah tangganya.
"Telepon aku kalau ada surat lain yang datang," katanya kemudian, memilih untuk mengabaikan surat yang datang tadi namun tetap meminta asistennya menyelidikinya. Dengan amplop surat itu, Kang Daesung pasti bisa menemukan sesuatu. Minimal dari kantor pos mana surat itu di kirim.
Tidak lama setelahnya, belum sempat Jiyong mandi dan mengganti pakaiannya, istrinya menelepon. Wanita itu pasti sudah menerima hadiah yang ia kirim. "Apa ini?" tanya Hyuna begitu Jiyong menjawab panggilannya, setelah dua deringan.
"Pulanglah," Jiyong menjawab, kali ini sembari menjatuhkan tubuhnya ke atas sofa di dalam kamar, menghadap jendela balkon depan yang sengaja ia buka tirainya.
"Aku tidak bisa lagi hidup denganmu."
"Pulang dan kita bicarakan semuanya di rumah."
"Apa lagi yang perlu dibicarakan? Kau tidak akan punya waktu untuk itu. Setujui saja gugatanku."
"Setidaknya beritahu aku alasanmu-"
"Kau masih tidak mengetahuinya? Atau hanya berpura-pura bodoh? Kau berselingkuh," Hyuna berkata dengan dingin, tanpa perasaan, tidak lagi ia miliki rasa yang dulu memenuhi dadanya. "Tidak perlu berpura-pura menyesal. Tidak perlu penasaran darimana aku mengetahuinya. Aku hanya mengetahuinya. Aku tahu karena sudah bertahun-tahun tinggal denganmu."
"Kau juga melakukannya. Aku hanya melakukan persis seperti yang kau lakukan," Jiyong membalas, namun Hyuna hanya diam, seolah dirinya tidak lagi punya tenaga untuk debat kusir itu.
"Hadiah darimu tidak akan merubah apapun. Setujui saja gugatanku," kata Hyuna menanggapi, dan telepon pun ia akhiri.
Orang-orang terus menyulut emosinya hari ini. Membuatnya kesal dan jadi semakin kesal, terus kesal hingga ia tidak lagi bisa memejamkan matanya, tidak lagi bisa terlelap. Tangannya gemetar menahan ledakan emosi itu. Ia meremas kuat handphonenya untuk mengurangi getarannya.
Tapi semua itu tidak berlangsung lama. Sekitar dua puluh menit selanjutnya, emosinya mereda. Ia paksa tubuhnya untuk bangkit, berdiri di depan pintu balkonnya, membayangkan salah satu simpanannya berdiri di balkon rumahnya sendiri, balas menatapnya. Namun bayang-bayang hanya menjadi angan. Lisa sama sekali tidak menunjukkan dirinya, bahkan pantulan bayangannya pada Jiyong.
Handphonenya kembali berdering tidak lama setelah ia berangan-angan. Kali ini putrinya yang menelepon. Sang putri menelepon ayahnya sembari menangis, mengatakan kalau ia baru saja terjebak dalam sebuah mimpi buruk yang melelahkan. Sang putri ingin ayahnya datang, menemuinya, memeluknya, mengusir mimpi buruk tadi seperti malam-malam sebelumnya.
Maka Jiyong datang, ke rumah mertuanya tanpa membuat keributan. Hanya untuk menemui putrinya dan mengusir mimpi buruk tadi. Hyuna dan putri mereka sudah menunggu Jiyong di depan rumah orangtuanya ketika Jiyong datang. Orangtua Hyuna tidak akan senang melihat Jiyong di sana, lantas Hyuna membiarkan pria itu pergi bersama putrinya. Tidak ada obrolan, hanya sebaris pesan yang meminta Jiyong untuk menjaga putri mereka.
Setelah tiba di rumah dan gadis kecil itu dibaringkan di ranjangnya, Jiyong duduk di tepian ranjang putrinya, menata selimut sembari mengusap-usap rambut gadis kecilnya. "Appa," gadis kecil itu kemudian membuka mulutnya, setelah ia hanya diam sepanjang perjalanan ke rumah. "Nenek bilang, eomma dan appa akan berpisah," katanya.
"Tidak," Jiyong menggeleng setelah ia terdiam sejenak, terkejut sekaligus kesal karena mertuanya mengatakan hal itu pada seorang anak kecil.
"Tadi... nenek bilang kalian akan berpisah karena appa lebih menyukai wanita lain daripada eomma," susulnya. "Nenek bilang appa lebih suka tinggal bersama wanita lain, bukan eomma. Appa tidak ingin tinggal denganku dan eomma lagi? Karena itu appa tidak ikut ke rumah nenek hari ini?"
Dada Jiyong luar biasa sesak sekarang. Luar biasa marah karena apa yang putrinya ketahui. Meski mereka harus berpisah, meski orangtua Hyuna membencinya, tidak seharusnya mereka mengatakan itu pada putrinya, melukai hati putrinya, membuatnya ketakutan hingga mendapatkan mimpi mengerikan dalam tidurnya. Gadis kecil itu cucu mereka, Jiyong tidak habis pikir ada kakek dan nenek yang tega melukai perasaan cucu mereka seperti itu.
"Tentu saja appa ingin terus tinggal bersamamu, sayang," Jiyong menjawab satu dari banyaknya pertanyaan putrinya itu.
"Kalau begitu appa tidak akan berpisah denganku dan eomma?"
"Hm... kita tidak akan berpisah. Karena itu, jangan khawatir. Kita tetap bisa tinggal bersama seperti sekarang, seperti biasanya," jawabnya, mencoba menenangkan sang putri.
Lewat beberapa jam selanjutnya, Jiyong mengajak putrinya bermain keluar. Hari masih terhitung pagi, masih ada jeda beberapa jam sebelum waktunya makan siang. Putri kecil itu keluar dari rumah dengan sepedanya, sepeda roda tiga berwarna merah muda. Sementara Jiyong berjalan di belakangnya, tersenyum dengan kaus dan celana jeans yang kelihatan santai. Jiyong berencana untuk menemani putrinya bersepeda, mengelilingi kompleks perumahan itu.
Belum sampai sepuluh menit bersepeda, putri kecil Jiyong sudah lebih dulu turun dari sepedanya. Sembari menoleh pada sang ayah yang menemani di belakang, gadis itu meminta izin ayahnya untuk bermain dengan teman-temannya di taman. Taman itu masih berada di dalam kompleks perumahan mereka, sebuah taman besar dengan alas pasir dan banyak mainan lainnya.
Jiyong memberi izin, jadi gadis kecil tadi berteriak, berlari menghampiri teman-temannya di sekelompok papan seluncur yang mirip kastil kecil. Dengan sebelah tangannya, pengacara itu mengangkat sepeda putrinya, membawanya ke salah satu bangku taman dan duduk di sana sembari menunggu anak kecilnya selesai bermain. Mengawasi dari jauh sembari berharap tidak akan ada yang terluka saat bermain.
"Selamat pagi pengacara Kwon," suara Lisa tiba-tiba saja muncul dan mengejutkannya. Pria itu menoleh, ke samping kemudian ke belakang, ke arah suaranya. Lalisa datang dari arah belakang, menghampirinya bersama seorang wanita lain berambut hitam di sebelahnya. "Baru saja kami berencana berkunjung ke rumah anda," susulnya, membuat Jiyong yang sempat canggung kemudian membuka mulutnya.
"Ah? Anda mencariku nyonya Park?" tanyanya, lebih memilih menyebut Lisa dengan namanya daripada nama suaminya.
"Hm... Bukan aku, tapi temanku," Lisa menjawab. "Ini temanku, Kim Jisoo, dia tinggal di rumah nomor sepuluh," lanjutnya, memperkenalkan gadis berambut hitam di sampingnya, memimpin pembicaraan agar Jiyong bisa memahami alasan mereka mencarinya.
"Kalau anda tidak keberatan, apa kami boleh berkonsultasi mengenai beberapa masalah hukum?" tanya Lisa kemudian, setelah ia mengenalkan temannya Kim Jisoo, kepada pengacara dari rumah depan.
"Di sini?" tanya Jiyong.
"Aku akan menjaga Yeri, jadi kalian bisa berbincang sebentar," tawar Lisa yang terdengar seperti perintah bagi Jiyong. Pria itu mau tidak mau menganggukan kepalanya, membiarkan gadis berambut hitam tadi bicara padanya sementara Lisa bangkit dan meninggalkan mereka. Gadis pirang itu justru berdiri, melangkah ke tengah-tengah taman bermain, bergabung bersama Yeri juga teman-teman kecilnya yang lain. Mengawasi anak-anak dari dekat, bergabung bersama seorang baby sitter yang tengah mengasuh anak majikannya. Lisa mengobrol di sana seolah ia memang selalu berada dalam kelompok itu.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Modern Fox
FanfictionAku mendengar rumor tentang serigala, katanya mereka masih liar. Aku punya gigi yang tajam seperti mereka, tapi aku tidak ingat cara memakainya, aku tidak ingat caranya menggonggong. Now, i feel like a modern fox. I lost my love, but i feel nothing...