Hai, jangan lupa kritik dan sarannya, terima kasih.
Happy reading.
°°°
Terlihat dua insan berbeda gender dan usia itu saling berhadapan dengan tatapan mata yang saling meremehkan, yang satu berdiri dengan apron hitamnya serta spatula di tangan kanan dan pisau daging di tangan kirinya. Dan yang satu duduk dengan angkuhnya sambil memegang garpu dan pisau makan.
Sreng.
Suara gesekan pisau dengan Asahan itu terdengar kala Arsen yang terlihat mencoba ketajaman pisau dagingnya, lalu disusul dengan suara khas saat memotong.
Dengan cekatan, tangan kekar itu memotong motong daging sapi dengan ukuran yang pas. Lalu setelahnya memotong beberapa paprika dan kentang serta membasuh tomat ceri yang sudah disediakan.
Tiga puluh menit berlalu, kini di hadapan Azila terdapat beberapa piring dengan hidangan yang berbeda beda. Ada steak ala Arsen, kentang goreng, salad buah dan juga jus jeruk sebagai pemanis yang sudah terparkir cantik di atas meja makan.
"Kalau ini enak, kamu," Arsen menunjuk Azila dengan dagunya, "Jadi asisten saya selama satu Minggu."
"Boleh boleh, asal ada bayarannya," ucap Azila sambil mencoba memotong steak yang ada di hadapannya.
"Sama saja bohong," gumam Arsen geram.
Azila mengunyah dengan pelan gumpalan daging yang kini berada di dalam mulutnya, seperti biasa. Setiap mencicipi makanan baru, matanya akan terpejam seolah meresapi secara dalam. Arsen hanya menatap Azila aneh lalu memotong dagingnya sambil menatap Azila.
"Lumayan, kita sepakat pak. Bayarannya permen yang bungkusnya item itu satu toples," ucap Azila dengan binar di kedua matanya.
Arsen menatap Azila dengan intens, lalu melahap daging yang sudah dipotong itu dengan pelan, "Apa kamu yakin? hanya setoples permen?"
Azila mengerutkan dahinya dengan bingung lalu mengangguk dengan yakin, "Ya! kenapa?"
Kunyahan di mulut Arsen terhenti lalu meminum segelas jus jeruk untuknya terlebih dahulu, "Tidak, hanya saja. Jasamu hanya sebatas setoples permen. Menguntungkan sekali."
"Memangnya kenapa? itu bagus kan?" tanya nya dengan muka polosnya, tak lupa ucapan bodohnya itu yang selalu membuat Arsen tertawa kecil.
Arsen mencondongkan wajahnya mendekati Azila yang duduk dengan tegaknya sambil melipat kedua tangannya di depan meja, "Ya, kau cocok dengan muka polos dan ucapan bodohmu itu."
Azila merengut tak terima dengan ucapan Arsen, sedangkan kini Arsen berjalan meninggalkan Azila yang masih mengoceh tak jelas itu.
"Mulai besok, setiap istirahat kedua keruangan saya," ucap Arsen sambil terus berjalan.
"Jangan lupa, cuci piringnya," Azila mencibik kesal lalu memandang beberapa piring yang berada di meja makan.
"Cuci apanya? bahkan dia saja makan baru dua kali suapan. Memang, orang kaya itu seenaknya. Eh tapi, apa si bapak itu orang kaya?" tanyanya tanpa melihat sekitar rumah yang hampir setiap sudut berisi ornamen mahal dan juga lukisan lukisan ternama.
Waktu menunjukkan pukul lima sore lebih tiga puluh menit, Azila duduk di sofa ruang tamu rumah Arsen dengan santainya. Kaki jenjang nya itu berbaring dengan lurus di sepanjang sofa, tubuhnya dia sandarkan di pinggir sofa dengan bantal sebagai tumpuan punggungnya.
Jari jari manis dan ramping itu dengan lincah nya menggeser geser layar handphone nya, sesekali mengetikkan sesuatu dengan cepat. Mulut kecil itu pun tak henti hentinya mengunyah cemilan yang ada di meja ruang tamu dengan enaknya. Ini yang dinamakan, anggaplah rumah sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Like Candy (On Going Lagi Ya)
Fiksi Remaja"Kalau kamu suka yang manis manis, kenapa gak mau saya bucinin? bucin saya manis loh." Plop. Permen yang di emut olehnya keluar dengan kasar, "Mohon maaf pak, jika dibandingkan dengan permen saya yang harganya satu juta dolar alias gopean. Permen sa...