PART 9 : Memiliki Alasan

107 28 79
                                    


Heera meloloskan buliran bening dari kedua bola matanya. Ia tiba-tiba teringat akan mantan kekasihnya dahulu. “Oliver, aku kangen banget sama kamu. Setiap aku bertatapan dengan Darrel, aku selalu teringat sama kamu. Tatapan teduh Darrel mirip banget sama kamu. Makanya aku menganggap Darrel itu musuh aku, saingan bisnis aku, aku berusaha untuk tidak jatuh cinta selain kamu. Aku tidak akan pernah mencintai laki-laki lain selain kamu. Makanya aku berusaha membangun benteng yang kuat, membenci Darrel. Karena aku takut jatuh cinta padanya. Aku takut karena tatapannya sama sepertimu, Oliver,” ujar Heera melirih.

Heera membuka ponsel, lalu menatap sebuah layar ponsel foto dirinya dengan Oliver yang sedang jalan-jalan di taman, memakan gula kapas. “Oliver, kamu ingat foto ini? Kamu larang aku beli gula kapas, tapi aku ngambek. Akhirnya kamu memperbolehkan aku membelinya dan kita makan sama-sama. Aku kangen banget masa-masa manis kita, Oliver. Kenapa kamu pergi duluan, sih? Kenapa nggak aku dulu atau kita pergi bersama? Kenapa?”

Gibran mendengar semua ucapan dari kakaknya. Ia akhirnya mengetahui kebenaran, mengapa Heera menghindari Darrel dan selalu marah-marah kepada Darrel. Gibran merasakan dadanya nyeri, melihat kakaknya masih belum bisa melupakan Oliver. Gibran menatap sendu kakaknya dari jauh. “Sampai kapan kakak terus begini? Kak Oliver pasti sedih melihat kakak lemah seperti ini.” Gibran bergegas pergi ke depan, menunggu kafe.

Di sisi lain.

Darrel baru saja masuk ke dalam ruangan. Lelaki itu duduk di kursi kebesarannya. Ia melebarkan senyumnya, mengingat bagaimana Heera memarahinya tadi. Darrel tertawa. “Lucu banget dia. Dia jualannya boba, merasa aku menyainginya, padahal aku nggak jualan minuman boba. Aku jualnya makanan. Ada minuman juga bukan boba. Ngira aku pakai guna-guna segala, eh, tadi marah-marah katanya aku cuci otak Gibran. Siapa juga yang iseng begitu. Ada-ada saja perempuan itu. Namun, dia menggemaskan. Aku suka dia yang marah-marah, tegas, ekspresi datarnya, cerewetnya, bagaimana bibir itu berkata padaku. Apa katanya, aku batu berjalan? Lucu sekali. Dia semakin menarik perhatianku,” gumam Darrel.

Tiba-tiba saja, terdengar suara ponsel yang diletakkan di atas meja yang terbuat dari kayu jati, tetapi atasnya diberikan kaca. Darrel melihat ponsel berwarna putih, ternyata ada panggilan dari sosok yang membuatnya sangat benci.

“Assalamualaikum. Ada apa?” tanya Darrel to the point.

[“Rel, nanti datang ke rumah. Orang tua kita mau ngomong. Lo harus datang, kalau enggak, mereka akan datang ke apartemen lo,”] ujar seseorang dari seberang yaitu Dareen, saudara kembarnya Darrel yang sudah merusak setiap hubungan asmaranya.

Darrel memutar bola matanya dengan malas. “Ngapain? Gue sibuk banget. Restoran gue ramai. Nggak ada waktu buat ketemu sama orang egois kayak kalian. Mending gue kerja daripada menemui orang-orang sombong kayak kalian!” Darrel segera menutup teleponnya. Ia sangat malas berkumpul dengan keluarganya, apa lagi bertemu dengan saudara kembarnya itu.

Darrel mengepalkan kedua tangannya di atas meja. Lelaki itu mengeraskan rahangnya, wajahnya yang berkulit putih, mulai terlihat memerah padam. Kedua bola matanya begitu tajam. “Mau apa lagi kalian? Bukannya aku bukan bagian dari kalian lagi? Apa masih belum puas?”

Darrel pergi ke dapur, ia mengenakan celemek berwarna abu-abu, lalu mulai berkutat dengan bahan-bahan masakan dan menyiapkan peralatan masak. “Pesanan mana yang masuk?” tanya Darrel kepada salah satu pekerja koki di dapur.

“Seblak isi seafood rasa menggelegarkan jiwa, satu minuman es jus sirsak, sama otak-otak ikan goreng rasa penghilang kegalauan,” jawab salah satu koki.

Darrel mengangguk. “Biar saya yang bikin.” Darrel mulai mengolah bahan makanan untuk membuatkan seblak isi seafood rasa menggelegarkan jiwa.

“Ini yang pesan pasti lagi galau,” tebak Darrel. Koki yang memasak di sebelahnya tertawa.

“Bapak ada-ada aja,” sahut koki di sebelah Darrel.

“Ya, kalau nggak galau bukan itu pesannya, Angga,” timpal Darrel, lalu tertawa.

Koki bernama Angga itu mengangguk. “Bener juga, sih, Pak. Mungkin baru putus sama pacar,” sahut Angga.

Darrel menggeleng. “Oh, nggak semuanya galau soal pacar. Galau itu banyak macamnya. Bisa galau karena sekolah, kuliah, dunia kerja, dalam keluarga, dan masih banyak hal yang bisa digalaukan. Semoga saja dia makan di sini bisa menghilangkan kegalauannya, ya,” sahut Darrel lagi. Angga mengangguk.

Usai membuatkan semua pesanan, pelayan yang bertugas mengantar pesanan, segera mengambil makanan yang sudah Darrel buat.

Malam hari.

Jam sembilan malam, Darrel sudah tiba di apartemen. Sejak berusia dua puluh satu tahun, Darrel memutuskan untuk tinggal sendiri, jauh dari orang tua dan saudaranya. Ia tidak ingin tinggal bersama keluarganya lagi, karena dirinya merasakan perbedaan kasih sayang antara dirinya dengan Dareen.

Darrel membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tiba-tiba saja bayangan Heera yang memarahinya, terus berada dalam pikirannya, membuat Darrel tertawa sendiri. “Menggemaskan.”

Darrel menatap ke atas, lalu melebarkan senyumannya. Darrel masih saja terbayang oleh sosok Heera yang sering marah-marah kepada dirinya. “Udah setahun satu tempat, masih aja ngajak perang. Namun, aku suka. Apa aku sudah gila?” tanyanya kepada diri sendiri.

Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu, membuat Darrel mengerutkan keningnya. “Siapa itu, ya?”

Darrel beranjak dari ranjang, lalu berjalan, menuju pintu apartemen. Saat dibuka, ternyata kedua orang tuanya dan saudara kembarnya, Dareen. Darrel melayangkan tatapan tajam di depan mereka, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada. “Ngapain kalian di sini?” tanya Darrel dengan nada ketus.

“Kamu harus tinggal sama kami lagi, Darrel!” perintah sosok pria paruh baya yang berhadapan dengan Darrel adalah papa kandung dari Darrel dan Dareen.

Darrel menggeleng. “Saya tidak mau. Untuk apa?” tanya Darrel dengan nada dingin.

Pria bernama Dhani Aileen itu membulatkan matanya dengan tajam di hadapan Darrel. “Darrel! Berani kamu membantah perintah Papa?” Dhani melayangkan 3 di pipi Darrel, membuat pipi Darrel memerah.

Darrel menunjukkan senyuman miring ke arah mereka. “Jangan paksa saya! Silakan tinggalkan apartemen ini! Saya lelah, saya mau istirahat!” usianya dengan nada tegas.

“Darrel! Jangan kurang ajar sama Mama dan Papa kita!” sentak Dareen.

Darrel memutar bola matanya, lalu tertawa. “Mama dan Papa kita lo bilang?” Darrel menggeleng. “Orang tua lo aja, bukan gue!” balas Darrel. Tiba-tiba Darrel kembali menerima tamparan dari sosok wanita paruh baya adalah mama kandung Darrel dan Dareen.

“Darrel! Kamu bicara apa! Kami ini orang tua kamu juga!” tegas wanita itu bernama Heni.

Kedua mata Darrel mulai berkaca-kaca. Lelaki itu lelah menghadapi orang tua dan saudara kembarnya. “Keluar dari sini. Selama ini, kalian nggak pernah peduli sama Darrel. Kalian hanya menyayangi Dareen. Ingat, kecelakaan yang menimpa saya? Saya koma, tapi kalian nggak ada yang datang! Apakah itu namanya orang tua? Orang tua macam apa yang membiarkan anaknya di rumah sakit sendirian? Kalian orang tua paling jahat yang pernah saya temui di dunia ini! Keluar, atau saya panggil keamanan buat usir kalian?”

“Ma, Pa, kita pulang aja! Nggak ada harganya kita di sini!” Mereka bergegas meninggalkan apartemen Darrel.

Darrel membanting pintu, lalu terduduk di lantai balik pintu kamar apartemen. Tiba-tiba Darrel merasakan sesak di dada. “Akh!” rintihnya. Darrel mencoba mengatur napasnya, tetapi rasanya masih menyakitkan.

Darrel beranjak dengan langkah lemah, menuju laci atas nakas, mencari botol obat. Ternyata habis obatnya. Tiba-tiba, tubuhnya ambruk. Darrel segera merogoh ponsel dari saku celananya. Ia mencoba menghubungi seseorang. “To-long Kakak ....” Darrel menutup kedua bola matanya. Ponsel yang di tangannya terjatuh.

Mbak Boba & Mas Seblak [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang