PART 34 : Dareen Berubah

85 19 81
                                        


Setiap pulang bekerja, Dareen selalu mampir ke kafe Heera untuk mengobrol dan memesan boba juga makanan. Satu bulan ini, Dareen mengenal Heera adalah sosok yang baik walau kadang galak dan cerewet.

“Kamu benar-benar tidak minum alkohol lagi, kan?” tanya Heera.

Dareen mengangguk, kemudian tersenyum lebar. “Ya. Tidak. Karena minumnya sekarang di sini, lebih enak,” sahut Dareen.

“Baguslah kalau begitu. Jangan pernah lagi. Minum alkohol nggak bagus buat kesehatan, loh. Mau mati duluan emang?” tanya Heera, mendapatkan tatapan horor dari Dareen.

“Kamu jangan nyumpahin gitu, dong!” Dareen mengerucutkan bibirnya.

Heera tertawa. “Siapa juga yang nyumpahin? Makanya, jangan minum alkohol! Ngerokok aja bisa mati, apalagi alkohol,” sahut Heera yang masih tertawa.

“Enggak lagi, deh. Setelah aku nggak minum lagi, aku lebih tenang, Heera. Semenjak berteman denganmu, aku jauh lebih baik.”

“Jangan hanya berteman denganku. Berteman baiklah dengan saudara kembarmu, Darrel,” saran Heera.

Dareen menatap tajam Heera, lalu menggeleng. “Aku tidak mau berbaikan dengannya!” tolaknya.

Heera mengerutkan keningnya. “Loh, kenapa nggak mau?” tanya Heera.

“Dia jahat, Heera,” tuduhnya.

“Oh, ya? Jahat bagaimana menurutmu?” tanya Heera, lalu mengangkat sebelah alisnya.

“Orang tuaku selalu menekan aku menjadi sempurna. Mereka mengatakan, Dareen, kamu harus jadi laki-laki yang sempurna, pintar, dan sukses. Jangan seperti kembaranmu yang penyakitan dan membuat malu. Saat perusahaan down, papa selalu menyalahkanku bahkan, memukulku. Waktu kamu temui aku mabuk, karena aku kesal padanya. Makanya aku membenci Darrel. Karena dia penyakitan, aku harus menjadi yang sempurna. Dia itu kakakku, dia lahir lima menit sebelum diriku, baru aku.”

“Dia penyakitan, membawa malapetaka bagiku. Aku harus bisa segala macam, nilai bagus, jangan sampai gagal. Sekali gagal, aku akan dihukum.”

“Sakit, Pa!” jerit seorang remaja laki-laki berusia lima belas tahun mengenakan seragam putih abu-abu. Ia menjerit karena sosok pria paruh baya memukul punggungnya dengan sapu.

“Kenapa bisa gagal, hah!” Dhani melempar hasil ulangan bahasa Inggris milik Dareen yang bernilai tujuh puluh.

“Maaf, Pa!”

“Kamu jangan malu-maluin Papa kayak Darrel, dong! Udah cukup malu Papa punya anak penyakitan kayak Darrel, sekarang kamu bikin malu dengan memberikan nilai seperti ini! Apa kata semua orang, hah!” bentak Dhani begitu tinggi nadanya.

Dareen meloloskan buliran bening dari kedua bola matanya. “Papa, maafin Dareen. Dareen janji bakal kasih nilai yang bagus buat Papa,” pinta Dareen.

“Hah! Kamu sama Darrel cuma bisa janji-janji aja! Darrel bilang dia akan segera sembuh! Mana? Sampai sekarang masih kumat-kumatan! Udah bikin malu, habisin uang! Sial aku punya anak seperti kalian berdua!” Dhani melayangkan tangannya ke pipi Dareen dengan keras, membuat pipi kanan Dareen memerah.

Pria itu meninggalkan kamar Dareen, lalu membantingnya. Dareen menenggelamkan wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia menangis. “Papa jahat! Darrel, aku membencimu!”

Heera menggeleng. “Kamu tidak boleh membenci Darrel, Reen. Bagaimana dia, tetap saudara kembarmu, kakakmu. Kamu harus lebih hormat padanya. Minta maaf padanya,” saran Heera.

Dareen menggeleng. “Nggak mau! Darrel itu pembawa sial!” umpatnya.

Heera mengembuskan napasnya. “Bagaimana caraku menjelaskannya? Pertama kali aku tahu Darrel mengidap asma, malam hari Darrel menghubungi Gibran. Saat itu, aku yang mengangkatnya. Dia meminta tolong. Kami menemukan dia di apartemen sudah pingsan. Gibran menceritakan padaku Darrel selama ini hidup sendirian. Pertengkaran itu, Darrel ceritanya sama Gibran, katanya orang tuanya ingin dirinya tinggal di rumah lagi, tetapi Darrel tidak mau. Darrel benci, karena orang tuanya tidak datang saat dirinya tengah koma. Saudaranya, katanya sering merebut pacarnya,” jelas Heera.

Mbak Boba & Mas Seblak [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang