PART 10 : Peduli

98 26 75
                                    


Suara dering ponsel yang terdengar nyaring, membuat Heera yang tengah berada di depan kamar Gibran, bergegas masuk ke dalam. Heera memasuki kamar bernuansa bola dari dinding kamar yang dipasangi banyak poster pemain bola, sprei, bantal, bantal guling, dan selimut bermotif bola dengan perpaduan warna merah dan biru. Heera meraih ponsel Gibran yang terletak di nakas yang menggunakan cashing bergambar bola.

Heera mengerutkan keningnya. Melihat siapa yang tengah menelepon adiknya. "Darrel? Jadi, Gibran sama batu berjalan itu sudah sangat dekat?" batin Heera.

“Gibran! Ponselmu bunyi terus!” teriak Heera.

“Angkat aja, Kak! Bilang aku lagi mandi!” teriak Gibran dari kamar mandi.

Heera menarik tombol hijau untuk mengangkat panggilan itu meski dirinya malas harus berbicara dengan saingannya. “Halo?”

[“To-long Kakak ....”]

Heera membulatkan matanya, mendengar suara lirih dari seberang itu. “DARREL! Anda kenapa?” teriak Heera dengan keras.

Panggilan itu tidak ada sahutan lagi, tetapi belum terputus. “Batu berjalan! Jawab! Anda kenapa? Jangan buat saya panik!” teriak Heera.

Gibran baru saja keluar dari kamar mandi menggunakan handuk baju berwarna putih, menghampiri kakaknya. Terlihat kakaknya begitu panik. “Siapa, Kak?” tanya Gibran.

Heera menatap ke arah Gibran. “Kamu tahu dia tinggal di mana?” tanya Heera.

Gibran mengerutkan keningnya karena tidak mengerti, dia siapa yang dimaksud oleh Heera. “Dia siapa, Kak? Jelasin. Aku nggak ngerti,” sahut Gibran.

“Darrel. Dia yang menelepon kamu. Sepertinya terjadi sesuatu padanya. Dia meminta tolong, setelah itu panggilannya tidak terjawab lagi,” jawab Heera.

“Minta tolong? Aku tahu apartemen dia tinggal, Kak. Aku ganti baju dulu, kita akan ke sana, Kak,” sahut Gibran.

Heera keluar dari kamar Gibran, lalu menunggu di ruang tamu. Heera sedang berpikir, apa yang terjadi kepada Darrel? “Si batu kenapa, ya? Suaranya lirih banget di telepon. Aku jadi panik,” gumamnya.

Gibran dan Heera bergegas keluar dari rumah, menuju garasi. Mereka menaiki mobil hitam, Gibran segera menjalankan mobil, menuju apartemen Darrel.

Beberapa menit kemudian, mereka sudah tiba di apartemen Darrel tinggal. Gibran segera mengajak kakaknya pergi ke kamar apartemen Darrel.

Gibran mengetuk pintu. “Kak Darrel!” teriaknya.

Ternyata pintu tersebut tidak terkunci. Gibran dan Heera bergegas memasuki kamar apartemen Darrel. “Kak!” teriak Gibran lagi.

Heera dan Gibran terbelalak, melihat Darrel yang tidak sadarkan diri berbaring di lantai dekat ranjang. Gibran berusaha mengguncang tubuh Darrel, tetapi tidak bereaksi. “Kak, bangun Kak!”

“Darrel! Bangun! Batu berjalan, bangun!” teriak Heera. Tiba-tiba Heera teringat saat hari pertunangannya, Oliver pingsan saat hendak memasangkan cincin ke jari manisnya. Ketakutan Heera sama dengan masa lalu itu.

“Dek, ayo, bawa Darrel ke rumah sakit. Kakak takut,” pinta Heera.

Gibran dan Heera memapah tubuh Darrel, keluar dari apartemen. Mereka bergegas pergi ke rumah sakit.

Sesampai di rumah sakit, Darrel dilarikan ke ruangan UGD. Heera dan Gibran menunggu di luar dengan cemas.

Heera melangkahkan kaki, maju, lalu mundur. Perempuan itu sangat gelisah. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi tubuhnya. Melihat kakaknya, Gibran segera memeluk tubuh Heera dengan erat. “Tenang, Kak. Jangan takut. Kak Darrel pasti nggak papa,” ujar Gibran yang berusaha menenangkan Heera.

Tiba-tiba saja Heera meloloskan buliran bening dari kedua bola matanya. “Gib, Kakak takut. Kakak inget Oliver,” lirihnya.

“Tenang, Kak. Kak Darrel kuat. Kakak jangan terus kepikiran kak Oliver. Kak Oliver udah tenang di alam sana, Kak. Kakak harus ikhlas,” tutur Gibran.

Dokter akhirnya keluar dari ruangan UGD. Gibran melepaskan pelukan kakaknya. Mereka menghampiri dokter. “Dok, bagaimana keadaan kakak saya?” tanya Gibran memiliki raut cemas.

Alhamdulillah, kondisinya sudah membaik. Untung cepat dibawa ke sini. Lain kali, pasien jangan terlambat minum obatnya. Karena ini memengaruhi kesehatannya. Ditambah sepertinya pasien banyak pikiran dan terlalu lelah,” jelas Dokter.

Gibran mengangguk. Setelah dokter pergi, Heera dan Gibran memasuki ruangan UGD. Heera melihat sosok lelaki yang biasanya menjahili dirinya, terbaring lemah di rumah sakit. Lelaki itu masih terpejam, punggung tangannya dipasangi jarum infus dan selang oksigen bertengger manis di hidung mancungnya.

“Dia sakit apa, Gib? Kamu kayaknya deket banget sama Darrel?” tanya Heera begitu penasaran.

Gibran menghela napas. “Kak Darrel memang punya penyakit, Kak. Penyakit sejak lahir. Aku sudah lama mengenalnya dan tahu bagaimana dia. Kak Darrel punya asma, Kak. Karena itu, orang tuanya membencinya. Kak Darrel bilang, orang tuanya tidak suka punya anak yang penyakitan. Berbeda sama kembarannya,” jelas Gibran, membuat Heera mengerutkan keningnya.

“Apa? Kembaran? Dia punya saudara kembar?” tanya Heera.

Gibran mengangguk. “Punya, Kak. Saudaranya sangat jahat, Kak. Kakak jangan jahat juga, dong. Kak Darrel menderita banget kalau Kakak mau tahu. Aku tidak akan menceritakan semuanya. Kakak lebih baik tanya sendiri sama dia. Aku tidak berani menjelaskan privasi orang lain. Kak, aku keluar sebentar. Kakak jaga kak Darrel dulu sebentar,” ujar Gibran, lalu pemuda itu segera meninggalkan ruang UGD.

Heera menatap sendu wajah Darrel yang terlihat begitu pucat. Melihat Darrel, selalu teringat oleh Oliver. Apakah mereka ada ikatan? Mengapa begitu mirip tatapannya? “Batu, bangun, dong. Ada pertanyaan yang ingin saya tanyakan sama Anda,” pintanya. Heera tanpa sadar menggenggam kedua tangan Darrel dengan erat.

“Saya nggak suka Anda begini. Saya lebih suka Anda mengganggu saya daripada kayak gini. Bangun, dong. Please, jangan buat saya takut. Saya nggak bisa Anda giniin, batu berjalan. Anda harus bangun. Saya nggak mau lihat Anda tidur. Anda harus buka mata.”

Tiba-tiba saja, jemari Darrel mulai bergerak. Perlahan, kedua bola matanya mulai terbuka. Ia menatap sekeliling, ruangan bernuansa putih, bau obat-obatan begitu menyengat. Lelaki itu menatap sosok perempuan yang berada di sampingnya. Sementara, perempuan itu berbinar, melihat Darrel sudah membuka matanya. “Anda sudah bangun?” tanya Heera.

“Nona?” panggilnya lirih.

“Saya yang terima telepon dari Anda. Anda yang menghubungi adik saya. Kami datang ke apartemen Anda. Saya dan Gibran melihat Anda pingsan di kamar. Kami segera membawa Anda ke rumah sakit. Kata Gibran, asma Anda kambuh,” terang Heera, membuat Darrel membulatkan matanya.

“Gibran memberitahukan penyakit saya?” tanya Darrel. Heera mengangguk.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi sama Anda, yang jelas, semoga Anda selalu kuat dan jaga kesehatan Anda,” nasihat Heera, membuat Darrel tersenyum lebar, di depan Heera.

“Kamu peduli banget sama saya? Kamu pasti tadi lagi nangisin saya, ya?” tanya Darrel begitu percaya diri, membuat Heera mendelik.

“Ish, siapa juga yang nangis? Emang Anda pacar saya? Nggak spesial banget Anda buat saya. Ngapain saya nangisin Anda?” jawab Heera berbohong.

Darrel tersenyum miring. Ia melihat bawah mata Heera yang bengkak. “Bohong, kok, dipelihara. Kelihatan banget kalau Nona habis nangis. Berbohong itu dosa, loh, janganlah berbohong, Nona irian.”

Tiba-tiba saja, Gibran masuk ke dalam ruangan UGD. “Benar, Kak! Kak Heera nangisin Kakak tadi. Dia takut banget,” jawab Gibran, kemudian mendapatkan tatapan tajam dari Heera. Adiknya memang menyebalkan.

Darrel tertawa. “Gengsi banget, ya?”

Heera mengerucutkan bibirnya. “Ah, bodo amat!” ketusnya.

 




Setelah sekian lama aku kembali update. Happy Reading ☺️

Mbak Boba & Mas Seblak [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang