PART 11 : Ingin Mengungguli

82 23 88
                                    

Setelah dua hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Darrel telah kembali di restorannya. Sebelum memasuki restoran, Darrel mendatangi kafe Heera. “Pagi, Nona irian,” sapanya dengan lembut. Darrel melebarkan senyumannya.

Heera yang tengah menatap menu boba, menoleh saat Darrel memanggil namanya. “Ngapain ke sini?” tanyanya dengan nada ketus.

Darrel menghampiri Heera, lalu menatap Heera dengan mendelik. “Mau mampir doang nggak boleh?” tanya Darrel.

Heera mengerucutkan bibirnya. “Ganggu tahu! Jangan-jangan Anda mau mata-matain kafe saya, ya? Biar saya makin sepi pelanggan?” tebak Heera dengan asal. Pikirannya sangat negatif dengan lelaki di hadapannya.

Darrel tertawa. “Ngapain mata-matain kafe kecil gini? Gede restoran saya. Saya nggak mungkin iri sama Anda,” sahut Darrel.

Tiba-tiba saja Heera menjewer telinga Darrel, membuat lelaki itu meringis. “Aduh, sakit, Nona! Jangan jewer telinga saya, dong!” protes Darrel.

“Makanya jangan ngatain kafe saya! Sana, ke restoran Anda! Jangan main-main ke sini. Tidak menerima penampungan orang gila seperti Anda, batu berjalan!” usir Heera dengan nada ketus.

Darrel tertawa. “Saya masih waras, bukan orang gila. Sembarangan ngatain saya. Oh, ya, sebenarnya saya ke sini mau bilang terima kasih sama Anda dan Gibran karena sudah menolong saya dan merawat saya saat sakit. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau kalian nggak datang,” ujar Darrel menjelaskan niatnya mendatangi Heera.

Heera mengangguk. “Sama-sama. Walau Anda saingan saya, saya akan membantu orang yang kesusahan,” sahut Heera.

Darrel tersenyum lebar, menatap Heera. “Baiklah, saya akan ke restoran. Jangan kangen sama saya,” ujar Darrel, membuat Heera menatap tajam Darrel, lalu mendengkus kesal. Darrel bergegas meninggalkan kafe Heera, menuju restorannya.

***

Heera tengah melihat catatan, baru lima belas pembeli dari buka jam tujuh pagi sampai jam satu siang. Heera menghela napas. “Kalau gini terus, makin sepi kafeku,” gumam Heera.

Gibran yang baru saja membersihkan meja, mengerutkan keningnya, menatap Heera. “Kenapa gelisah, Kak?” tanya Gibran.

“Pembeli kita makin dikit, Gib. Kakak harus gimana lagi? Apa menu itu terlalu bucin, ya?” tanya Heera.

Gibran menggeleng. “Menu kita unik, kok, Kak. Tampilan kafe ini bagus. Sesuai temanya romansa. Mungkin, Kakak harus menambah menu seperti makanan, Kak, biar bikin kafe kita ramai lagi,” saran Gibran.

Heera mengangguk setuju dengan apa yang Gibran sarankan. “Mungkin kita bisa bikin menu pembuka, ya, Gib? Yang jelas aku tidak akan menjual seblak,” sahut Heera.

Gibran mengangguk setuju. “Iya, Kak. Kita buat aja makanan pembuka. Kalau seblak nanti dikira nyaingin Kak Darrel lagi,” sahut Gibran.

Tiba-tiba ada pembeli masuk, Heera segera menghampirinya. “Selamat pagi, Mbak. Mau pesan apa?” tanya Heera dengan nada ramah dan melebarkan senyumannya di hadapan sosok perempuan berkulit putih itu.

Pembeli itu melihat menu kafe boba. “Saya mau satu minuman boba rasa blackforest tidak akan pernah melepaskanmu, sama minuman boba rasa milk tea hanya kamu yang aku ingat,” ujar pembeli itu.

Heera mencatat, kemudian pergi untuk membuatkan minuman boba untuk pembeli. Heera mulai menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat boba rasa blackforest dan milk tea. Sementara Gibran tengah menjaga kasir.

Mbak Boba & Mas Seblak [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang