PART 8 : Kemarahan Heera

95 28 89
                                    


Gibran tengah asyik menikmati bakso aci rasa hot kesal dengan mantan. Ya, hari ini Gibran baru saja putus dengan kekasihnya. Kekasihnya ternyata punya banyak kekasih lain selain dirinya. Sebenarnya sudah lama Gibran ingin memutuskan kekasihnya karena materialistis. Gibran tidak suka perempuan yang menilai hubungan dari uang.

Namun, akhirnya Gibran mengetahui kebenarannya, langsung memutuskan hubungannya dengan kekasihnya saat itu. Gibran tidak kecewa, tetapi hanya kesal saja. Makanya pemuda itu datang ke restoran Aileen untuk membeli makanan menu yang pas dengan suasana hatinya.

Setelah menandaskan makanan dan minumannya, Gibran pergi ke kasir untuk membayar makanannya. Penjaga kasir mengatakan kepada Gibran bahwa tidak perlu membayar. Kata atasannya, atas nama Aciel Gibran selalu gratis makan di restoran Aileen, membuat Gibran mengerutkan keningnya. “Kenapa begitu?” tanya Gibran.

“Saya tidak tahu. Itu kata atasan saya,” sahut penjaga kasir.

Gibran mengangguk, lalu segera meninggalkan restoran Aileen. Gibran menjalankan motornya, menuju kafe Diatmika.

Usai memarkirkan motornya di depan kafe Diatmika, Gibran masuk ke dalam. Tiba-tiba saja, Heera datang, lalu menjewer telinga kanannya. Gibran merasa kesakitan. “Aduh! Sakit, Kak!” ringisnya.

“Kamu nakal, ya?”

Gibran mengerutkan keningnya. “Nakal apa, Kak? Emang Gibran ngapain?” tanyanya belum tahu.

“Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu bohongi Kakak, ya, selama ini! Kamu makan di restoran Aileen! Kakak baru tahu setelah satu tahun kita di sini, Aciel Gibran! Sejak kapan Kakak ajarin kamu nipu, hah?” cerocos Heera.

Gibran menunduk. “Maaf, Kak.”

“Enggak! Kakak nggak mau maafin! Kamu harus dihukum, ya!” serunya.

“Akh! Sakit, Kak! Telinga Gibran bisa putus lama-lama!” rengeknya.

“Rasain! Dasar adik durhaka kamu!” sahut Heera yang masih menjewer telinga kanan Gibran.

Gibran terus berteriak karena Heera masih menjewer telinga Gibran. Wajah Heera begitu memerah padam dan tatapannya menatap tajam adiknya. Ia kesal Gibran sudah makan di restoran saingan kafenya.

“Cukup, Kak! Sakit,” pinta Gibran dengan merintih.

Akhirnya Heera melepaskan tangannya dari telinga Gibran. “Uang jajan kamu Kakak potong selama satu Minggu! Kamu udah bikin Kakak kesal hari ini! Sana, kerja! Kakak bakal labrak si batu berjalan!”

Gibran menahan lengan Heera. “Jangan bikin keributan, Kak! Gibran yang salah, bukan kak Darrel! Kak Darrel nggak salah apa-apa, Kak!” pinta Gibran.

Heera segera menepis tangan adiknya dari tangannya. “Ngapain ngalangin Kakak? Kamu bela dia? Pasti dia udah racuni pikiran kamu, kan?” tuduh Heera, membuat Gibran menggeleng.

“Enggak ada kak Darrel kayak gitu, Kak! Kenapa sih, Kakak benci sama kak Darrel? Kak Darrel itu baik, Kak! Dia tidak seperti yang Kakak pikirkan!”

“Kakak males denger omongan kamu! Kamu lebih belain batu berjalan itu daripada Kakak!” Heera bergegas keluar dari kafe.

Saat Heera keluar dari kafenya, bertepatan mobil Darrel hendak lewat, menuju restorannya. Darrel menghentikan mobilnya di depan kafe Heera, lalu turun dari mobil hitam. Lelaki itu menghampiri Heera. Darrel menunjukkan senyuman lebar dan tatapan teduh di depan Heera. “Hai, Nona irian. Kita ketemu lagi,” sapa Darrel dengan nada ramah.

Heera memutar bola matanya. “Ngapain berhenti di sini? Sana, ke restoran Anda!” usir Heera dengan nada ketus.

Darrel tersenyum lebar. “Jangan galak-galak, Nona. Nanti nggak ada yang mau datang, loh,” peringat Darrel.

Mengingat adiknya makan di restoran lelaki itu, membuat Heera menjewer telinga Darrel. “Anda kasih apa ke adik saya sampai dia makan di restoran Anda, hah? Pasti Anda sudah mencuci otak adik saya!” tuduh Heera, membuat Darrel menggeleng.

“Akh! Sakit, Nona irian! Lepaskan tangan Anda dari telinga saya! Jangan sembarangan menuduh Anda! Saya tidak pernah mencuci otak siapa-siapa apa lagi adik Anda! Kurang kerjaan! Ngapain saya pengaruhi dia? Pelanggan saya datang dengan kehendak mereka sendiri, bukan paksaan atau saya memakai guna-guna untuk melarikan restoran saya, Nona,” jawabnya.

Heera mendengkus kesal. “Alah, bohong Anda!” sahut Heera dengan nada ketus.

“Nona ini iri sekali, ya, dengan keberhasilan saya! Makanya Nona marah-marah seperti ini!” ujar Darrel.

Heera melepaskan tangannya dari telinga Darrel, lalu menyilangkan kedua tangannya di dada. “Siapa yang iri? Saya nggak iri! Anda curang, saya kesal!” sahutnya.

Darrel tertawa. “Saya tidak percaya, Nona irian. Anda selama ini sangat iri dengan pencapaian saya. Makanya, main dulu ke restoran saya, lihat ke dalam, lihat menunya, dan bagaimana pelayanan di sana. Anda akan tahu apa alasan restoran saya banyak yang mengunjungi. Jangan sembarangan menuduh saya, Nona. Saya pakai cara halal, bukan haram.”

Heera memutar bola matanya dengan malas. “Nggak akan pernah saya makan di restoran Anda! Pasti nggak enak rasanya! Pede sekali Anda mengenai restoran Anda!”

Darrel kembali tertawa. “Bukan pede, tapi memang itulah faktanya, Nona irian,” sahut Darrel dengan santai.

Heera membuang wajahnya dari hadapan Darrel. “Dasar batu berjalan!” umpatnya. Darrel tidak marah, lelaki malah makin keras tertawa. Menurutnya, Heera sangat lucu dan menggemaskan. Baru kali ini, menemukan perempuan seperti Heera.

“Jangan marahin adiknya. Tanyakan, kenapa dia datang ke restoran saya. Dia pasti punya alasan yang kuat. Saya yakin, makanan saya yang membuatnya datang. Makanya, Anda harus coba dulu makanan di restoran saya, baru menilai, apakah saya ini pakai guna-guna atau tidak, Nona irian,” ujar Darrel, kemudian lelaki itu kembali masuk ke dalam mobil. Darrel menjalankan mobilnya, menuju restorannya.

Heera memasuki kafe dengan perasaan kesal. Dilihatnya, adiknya tengah mengelap meja. Heera menghampiri Gibran. “Kamu kenapa sih, datang ke sana, Aciel Gibran?” tanya Heera dengan menatap tajam adiknya.

“Karena aku suka seblak, Kak. Seblak di restoran kak Darrel paling enak. Di kampus nggak ada yang seenak itu. Lagian aku nggak bayar, Kak. Kak Darrel selalu memberiku gratis. Dia baik, Kak. Tidak seperti yang Kakak pikirkan. Kenapa Kakak memandang jahat kak Darrel? Kakak iri dengan kesuksesannya yang ramai dikunjungi banyak pelanggan? Atau masalah apa, Kak? Coba jujur sama aku, Kak,” pinta Gibran.

Tiba-tiba saja kedua bola mata Heera mulai berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis di depan adiknya, tetapi Heera tidak ingin menangis di depan Gibran. Heera segera menunduk, lalu kembali mendongakkan kepalanya. “Kamu nggak perlu tahu kenapa Kakak kesal padanya! Kakak mau ke dalam. Kamu jangan datang lagi ke sana! Kalau nakal, Kakak nggak akan memberi ampun sama kamu, Gibran! Pokoknya kamu jangan makan lagi di sana! Cari tempat lain. Nggak harus makan di sana juga, kan?”

Gibran mengangguk. “Iya, Kak. Gibran nggak akan makan di sana lagi. Tadi terakhir kalinya. Jangan potong uang jajan Gibran, Kak,” pintanya.

Heera berdeham, lalu melangkah masuk ke dalam ruangan. Heera duduk di sebuah kursi yang besar. Heera melipat kedua tangannya, lalu menenggelamkan wajahnya di atas tangan yang dilipatnya.







Apa, ya alasan Heera tidak menyukai Darrel? Ikutin terus kisahnya. ☺️

Mbak Boba & Mas Seblak [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang