PART 7 : Ketahuan

91 27 74
                                    


Gibran memarkirkan motornya di depan parkiran kafe Heera bertingkat dua. Pemuda itu melepaskan helm full face, lalu turun dari motor hitamnya. Ia memasuki kafe yang tengah ada tiga orang yang sedang menunggu pesanan. Gibran segera menghampiri Heera yang tengah membuat minuman boba.

Heera menatap tajam Gibran. “Kamu kenapa lama banget, Gib? Katanya jam sebelas? Ini jam setengah dua belas, loh,” gerutu Heera sembari mengaduk minuman boba rasa creamy chocolate.

Gibran tersenyum, lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf, Kak. Tadi dosennya ngajar lebih dari jam mata kuliah, Kak. Menyebalkan emang, Kak,” sahut Gibran berbohong. Padahal sebenarnya yang membuatnya lama adalah makan di restoran saingan kakaknya. Jika Gibran jujur, bisa-bisa kakaknya ngamuk kepadanya.

“Ya udah. Sekarang bantu Kakak bikin dua pesanan lagi. Kakak lagi bikin pesanan satu orang, satu minuman boba rasa creamy chocolate akan selalu setia padamu, sama satu minuman boba rasa mocchacino selalu ingin bersamamu. Kamu sekarang bikin satu minuman boba rasa avocado coffee Cuma kamu dihatiku untuk satu pembeli. Sama satu lagi, satu es cokelat stroberi chocochips mencintaimu setiap saat.”

Gibran memberi tanda hormat kepada Heera. “Siap, Kak!” seru Gibran dengan antusias.

Gibran mulai membantu kakaknya, membuatkan minuman boba dan es krim pesanan. Heera sudah selesai menutup gelas, lalu memberikan pesanan kepada pembeli. “Total delapan belas ribu, Dek,” ujarnya kepada gadis memakai seragam putih abu-abu.

Setelah memberikan pesanan, Heera membantu Gibran, menyajikan es krim untuk pembeli.

Heera dan Gibran telah selesai, mereka memberikan pesanan pembeli masing-masing. Para pembeli memberikan uang sesuai yang dikatakan Heera dan Gibran.

Heera duduk di kursi dalam ruangan, lalu menyandarkan punggungnya. Perempuan itu mengembuskan napasnya. “Kakak lapar, Gib. Kakak minta tolong, belikan nasi Padang di rumah makan seberang kafe kita, ya,” pinta Heera.

Gibran mengangguk, lalu mengulurkan tangannya di depan Heera. “Mana uangnya, Kak?” tanya Gibran.

Heera segera bangkit, lalu berjalan menuju kasir. Perempuan itu membuka mesin kasir, mengambil satu lembar berwarna biru. Heera memberikan lembaran tersebut kepada Gibran. “Ini uangnya. Nasi Padang seberang, bukan restoran samping kita! Awas salah tempat! Kakak jewer nanti!” ancam Heera, membuat Gibran merinding.

“Kakak jangan galak-galak banget sama adik sendiri, kenapa? Lagian, Kakak belum pernah coba makan di restoran Aileen, loh,” sahut Gibran.

Heera melayangkan tatapan tajam di depan Gibran. “Kakak nggak akan pernah makan di restoran saingan kita! Makanan dia pasti nggak enak, Gib! Kamu jangan coba-coba makan di sana! Ketahuan sama Kakak, Kakak golok kamu, ya!” ancam Heera.

Waduh, gila kak Heera! Kalau dia tahu selama ini gue makan di restoran kak Darrel, apa yang bakal dilakuin, ya? Jangan sampai gue ketahuan, deh! Kenapa kak Heera anti banget, sih? Heran gue. Salah kak Darrel apa coba? Batin Gibran.

Gibran mengangguk. “Iya, deh, Kak. Gibran nggak akan makan di sana. Takut Gibran digolok sama Kakak. Kakak galak banget, sih,” sahut Gibran.

“Ya sudah. Berangkat ke rumah makan Padang. Kakak lapar, mau makan. Kamu beli makan juga,” titah Heera. Gibran segera meninggalkan kafe, lalu menyeberangi jalan, menuju rumah makan Padang yang ada di seberang.

Beberapa menit kemudian, Gibran sudah tiba membawa kantung plastik berisi bungkusan nasi Padang. Ia memberikannya kepada Heera. “Ini Kak,” ujarnya sembari memberikan nasi Padang dan kembalinya.

Heera mengerutkan keningnya, menatap sisa uang yang diberikan oleh Gibran. “Kok, Cuma sebungkus? Kamu nggak beli?” tanya Heera begitu heran dengan Gibran.

Gibran menggeleng. “Enggak, Kak. Gibran udah makan di kantin kampus,” jawab Gibran berbohong.

Heera mengangguk. “Oh, begitu. Ya sudah, jaga kafe dulu. Kalau ada pembeli layanin. Kakak mau makan dulu,” ujar Heera, lalu pergi ke dalam untuk makan siang

 Gibran mengembuskan napasnya dengan kasar. “Huh, sampai dia tahu kalau gue makan di tempat kak Darrel, bisa mampus gue,” gumamnya.

***

Keesokan hari.

Heera baru saja memasukkan uang ke dalam mesin kasir. Ia menatap jam berwarna biru terdapat miniatur menara Eiffel di dalam jamnya, menunjukkan jarum pendek ke angka dua belas dan jarum panjang ke angka enam. “Sudah jam setengah satu siang rupanya. Kenapa Gibran belum sampai sini, ya? Janjinya jam dua belas sampai kafe,” ujar Heera yang masih menatap jamnya.

Heera beranjak dari tempat kasir, berjalan menuju depan. Heera memandang ke luar dari jendela. Tiba-tiba saja kedua mata bulatnya menangkap sebuah motor besar berwarna hitam yang melewati jalanan depan kafenya. Motor itu seperti tidak asing. Motor itu melaju ke arah depan. Heera keluar dari kafe. Dilihatnya, motor tersebut sepertinya masuk ke dalam restoran sebelah. “Mirip motor Gibran, ya? Ah, masa sih, dia ke sana? Kalau sampai dia ke sana, aku golok beneran, deh.”

Heera keluar dari kafenya, ia berjalan, menuju restoran Darrel. Heera memasuki gerbang restoran Darrel. Perempuan itu mengintip, melihat motor hitam yang baru saja masuk ke dalam.

Saat pemuda itu turun dari motor dan sudah membuka helm, Heera membulatkan matanya. Ternyata itu adalah Gibran adiknya. Apa? Jadi, kamu khianati kakak, Gib? Awas aja kamu nanti, ya!

Heera memasuki restoran Aileen. Dilihatnya penampilan restoran Aileen sungguh menakjubkan. Tampilannya begitu mewah. Nusantara berpadukan dengan Internasional. “Keren juga nih, restoran,” gumam Heera.

Heera mengikuti langkah Gibran. Gibran menaiki tangga eskalator. Heera turut menaiki dengan langkah yang jauh. “Aku harus memastikan lebih dekat lagi.”

Gibran memutuskan akan makan di lantai dua saja. Ia malas naik tangga lagi. Gibran duduk di tempat nomor dua puluh, terletak di dekat dinding dan jendela.

Heera menatap tajam adiknya yang duduk santai. Wajahnya memerah padam. Sungguh adiknya sudah menusuk dirinya. “Kurang ajar kamu, Gib! Awas aja, pulang-pulang Kakak golok kamu, ya!” Heera bergegas meninggalkan restoran Darrel, sebelum adiknya atau Darrel mengetahui keberadaan dirinya. Malu sekali jika ketahuan Darrel sudah menginjakkan kakinya di restoran saingannya.

Gara-gara kamu, Kakak jadi menginjak restoran saingan kafe Kakak! Lihat saja nanti kamu, Aciel Gibran! Batin Heera begitu kesal. Heera kembali ke kafe bobanya.

Sesampai di kafe, Heera duduk di kursi penjaga mesin kasir. Ia menatap keluar. Heera menopangkan dagunya dengan kedua tangannya. Ia tidak mengerti, mengapa adiknya makan di restoran saingannya? Padahal Gibran tahu, dirinya sangat tidak menyukai Darrel dan sudah memperingati Gibran untuk tidak mendatangi apa lagi makan di restoran Aileen.

“Apa sih, yang bikin kamu datang ke sana, Gib? Penampilan mewah? Makanannya? Atau apa, Gib? Tega-teganya kamu nipu Kakak, Gib! Udah tahu dia saingan Kakak, kamu malah makan di sana, padahal banyak rumah makan sekitar sini lebih enak dari di sana. Kamu mencari apa sih, di sana? Dasar adik menyebalkan!” marah Heera.

Mbak Boba & Mas Seblak [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang