PART 6 : Makan Di Restoran Aileen

90 30 74
                                    


Jam sebelas siang, Gibran baru saja selesai kelas di kampusnya. Pemuda berkulit putih itu segera pergi ke parkiran karena akan pergi ke kafe kakaknya untuk membantu kakak perempuannya jualan.

Gibran menyugar rambut hitamnya ke belakang ketika sedang mengaca di spion motor. Dirasa sudah puas merapikan rambut, Gibran menaiki motornya, lalu mengenakan helm berwarna hitam. Gibran segera menjalankan motor, keluar dari area kampus.

Namun, bukannya motornya berhenti di kafe Diatmika, malah motor besar itu berhenti di parkiran depan restoran seblak Aileen. Gibran ingin makan dahulu sebelum membantu kakaknya bekerja.

Gibran menuruni motor, kemudian melepaskan helm full face miliknya. Gibran melangkahkan kaki panjangnya, memasuki restoran Aileen.

Pintu restoran dari kaca yang diberikan motif dua hewan angsa yang saling bertemu. Saat Gibran memasuki restoran saingan kakaknya itu, Gibran menginjak lantai yang terbuat dari keramik yang satu ubinnya memiliki lebih dari satu warna. Lantai restoran itu dibuat mozaik setiap ubinnya. Campuran warna putih, hitam, merah gelap, dan biru gelap.

Dinding restoran tersebut berwarna hitam. Dibuat motif berwarna putih menggambarkan media sosial dan teknologi zaman sekarang dengan dipadukan gambar wayang dan batik Indonesia.

Terdapat di yang paling tengah restoran sebuah air mancur yang bagian mancurnya bentuk ikan yang membuka mulutnya begitu lebar.

Setiap meja yang tersusun di restoran Aileen terbuat dari kayu jati yang atasnya dilapisi dengan kaca, lalu mejanya ditutup oleh taplak berwarna hitam dengan renda di sekelilingnya berwarna putih.

Kursi yang tersusun juga dari kayu jati yang ditutup dengan sarung berwarna putih yang berhiaskan hiasan berwarna hitam.

Di tengah meja, terdapat masing-masing satu bel kecil untuk memanggil pelayan. Ada sebuah buku menu, sehingga pelanggan tidak perlu memanggil pelayan untuk meminta buku menu, sudah tersedia sendiri di restoran.

Di bagian kasir, ada terdapat miniatur seperti miniatur Borobudur, Prambanan, patung Roro Jonggrang, ada juga miniatur menara Eiffel, patung Amerika, ada juga miniatur kuil Cina.

Di setiap sudut ruangan restoran Aileen terdapat patung tinggi. Sudut kanan patung tokoh Indonesia, sementara sudut kiri patung monumen negara lain.

Restoran tersebut memiliki tiga lantai. Lantai satu dan dua tertutup, lantai tiga outdoor. Di lantai tiga, terdapat di setiap sudut pohon besar, bagian paling tengah yaitu pohon hiasan dari emas. Lantai tiga tidak memiliki atap.

Gibran menaiki lantai tiga dengan tangga eskalator. Memang restoran Aileen cukup canggih.

Sesampai di lantai tiga, Gibran menempati meja nomor dua belas. Meja pertengahan. Pemuda itu mengambil buku menu berwarna hitam, lalu mulai membacanya. Setiap pulang kuliah, memang sebelum ke kafe kakaknya, Gibran selalu pergi ke restoran saingan kakaknya untuk makan siang terlebih dahulu.

Setelah menentukan pilihannya, Gibran menekan bel yang ada di meja. Tidak lama kemudian, seorang pelayan lelaki datang. Para pelayan di restoran Aileen tidak menggunakan seragam. Mereka bebas menggunakan pakaian apa pun asalkan tertutup dan sopan. Pelayan itu menggunakan kemeja polos berwarna biru gelap dan celana  berwarna hitam. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan ramah.

“Saya mau pesan seblak isi tempura rasa meledak-ledakan jiwa, sama es jus lemon penenang pikiran,” ujar Gibran, membuat pelayan itu mencatatnya.

Sembari menunggu pesanan, Gibran memainkan ponselnya. Pemuda itu tengah memainkan game online.

Tiba-tiba saja, ada seorang lelaki yang menghampiri Gibran. Lelaki itu duduk berhadapan dengan Gibran. “Hey, kamu ke sini?” tanya Darrel, lalu memasang senyuman yang lebar.

Gibran tersenyum. “Eh, iya, Kak. Gibran mau makan, laper habis pelajaran mata kuliah tadi,” sahut Gibran.

Darrel mengerutkan keningnya. “Kamu sering banget makan di sini, kakak kamu nggak tahu, loh. Kalau dia tahu terus marah gimana?” tanya Darrel.

Gibran menggeleng. “Tenang. Kakak nggak akan tahu. Gibran emang butuh mengisi perut, Kak. Lagian Gibran ini pecinta seblak sama bakso aci juga, Kak. Kan, nggak ada di kafe Kak Heera. Kak Heera Cuma jual minuman boba, puding, sama es krim aja, Kak Darrel,” sahut Gibran begitu santai.

Tidak lama kemudian, pesanan Gibran datang. “Tolong buatkan saya cappucino hangat penuh semangat, ya,” pinta Darrel kepada pelayannya.

Gibran mulai menikmati seblak. Darrel memperhatikan Gibran begitu lahap memakannya. “Enak nggak menurut kamu?” tanya Darrel.

Gibran mengangguk. “Enak banget, Kak!” seru Gibran begitu antusias.

Darrel mengangkat sebelah alisnya. “Yakin?” tanya Darrel.

Gibran mengangguk. “Iya, Kak. Enak banget. Kakak emang laku banget karena masakan Kakak yang enak, bukan pakai guna-guna. Maafin kak Heera, Kak. Dia Cuma lagi galau aja mantannya udah tiga tahun meninggal masih belum move on,” jawab Gibran.

Darrel mengangguk. “Saya udah tahu itu. Kamu waktu itu pernah cerita. Emang seperti apa pacarnya dulu?” tanya Darrel begitu penasaran.

Gibran menatap Darrel. “Mendiang kak Oliver itu baik banget, Kak. Dia selalu membuat kak Heera bahagia. Kak Oliver selalu manjain kak Heera dan memperlakukan kak Heera seperti ratu. Kak Oliver sayang banget sama kak Heera, makanya kak Heera sayang banget sampai belum bisa mengikhlaskan kepergian kak Oliver. Wajar, Kak. Dari SMA mereka sahabatan, setelah lulus kuliah mereka pacaran. Pas mau tunangan, kak Oliver malah sakit sampai akhirnya meninggal. Sakit banget emang di posisi kak Heera,” jelas Oliver, membuat Darrel mengangguk sebagai tanda mengerti.

“Oh, begitu. Sulit memang. Melupakan orang yang kita cinta sangat sulit apa lagi wanita. Wanita itu sangat susah melupakan. Makanya saya ada buat menu yang galau-galau gitu,” ujar Darrel, lalu tertawa. Gibran turut tertawa.

“Harusnya kak Heera ke sini juga biar tahu kalau Kak Darrel itu emang masakannya enak, bukan pakai guna-guna. Dia tiap diajak ke sini nggak pernah mau, katanya pasti nggak enak,” terang Gibran, membuat Darrel menarik salah satu ujung bibirnya.

“Dasar nona irian!” gumam Darrel.

Kopi pesanan Darrel sudah tiba. Darrel segera menyesap kopi tersebut. Darrel menikmati kopi hangatnya sambil membayangkan wajah Heera.

“Kapan-kapan perlu saya seret dia ke sini biar nggak sembarangan nuduh orang,” ujar Darrel, membuat Gibran kembali tertawa.

“Iya, Kak! Setuju banget! Pasti dia malah suka makanan di sini, nggak akan mengejek Kak Darrel lagi,” sahut Gibran menyetujui ide dari Darrel.

Setelah menikmati makanan, Gibran hendak membayar, tetapi Darrel menahannya. “Tidak perlu repot membayar. Sana, ke kafe kakak kamu. Makanan buat kamu gratis,” ujar Darrel, membuat Gibran membulatkan matanya.

“Beneran Kak?” tanya Gibran.

Darrel mengangguk, lalu mengusap rambut Gibran. “Beneran, dong. Cepat, sana ke kafe. Nanti kalau dia tahu kamu di sini bisa ngamuk-ngamuk lagi ke Kakak,” pinta Darrel.

Gibran memberi tanda hormat kepada Darrel. “Siap, Kak! Aku pulang, ya,” pamit Gibran, lalu pemuda itu segera meninggalkan lantai tiga, kemudian menuruni tangga eskalator.

Darrel tersenyum, lalu memandang ke arah bawah, menatap kafe di sebelahnya. “Nona irian, kamu memang harus berkunjung ke restoranku agar kamu ketagihan. Saya pastikan kamu akan ketagihan makan di sini, Heera. Saya akan mencoba berbagai cara jika kamu menolaknya,” gumam Darrel.

Mbak Boba & Mas Seblak [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang