LMA 2

2.3K 108 8
                                    

Semua yang berada di dalam mengucap syukur seraya tersenyum hangat setelah mendengar penuturan Winda yang menjelaskan bahwa Anggi memerima perjodohan ini.

Adzam bisa bernafas lega saat tadi merasa nafasnya tercekat, jantungnya berdesir serta rasa cemas yang menyelubunginya. Takut kalau Anggi menolak perjodohan ini.

"Nak Adzam,"

Mendengar namanya terpanggil, Adzam segera mendongak menatap Ummi Arum yang memanggilnya. "Iya, Ummi?" Jawabnya penuh nada kesopanan.

Sejak tadi Anggi memperhatikan Adzam. Gerak-gerik Adzam, cara bicaranya, dan wajah yang berparas tampan itu. Anggi akui, Adzam sempurna memiliki ketampanan yang sangat masya allah. Tapi Anggi tidak bisa menerima laki-laki itu menjadi suaminya begitu saja, Anggi tidak mengenali dia, ia tidak tahu seperti apa Adzam. Anggi tidak akan bisa langsung melabuhkan hatinya pada Adzam.

"Tolong ambilkan minum untuk Ibu Winda dan Anggi," Titah Ummi Arum

Adzam langsung mengangguk menuruti perintah Ummi kesayangannya. ia segera melenggang pergi menuju dapur.

"Ummi, toilet sebelah mana ya? Anggi kebelet." Anggi tidak bisa menahan kebeletnya, ia berusaha menahan sejak tadi tapi tidak bisa.

"Sebelah sana, nak." Ummi Arum menunjuk pada dapur yang jaraknya tidak jauh dari tempat mereka sekarang.

Anggi mengangguk dan segera melangkahkan kakinya cepat menuju kamar mandi. Ia menghentikan langkahnya saat melihat punggung laki-laki yang sebentar lagi akan menjadi suaminya sedang membuat teh hangat.

Merasa sudah berada di ujung, Anggi langsung masuk ke dalam toilet. Ia bernafas lega saat rasa kebeletnya telah menghilang.

Adzam menoleh kebelakang sebentar setelah di rasa ada yang masuk kedalam kamar mandi, lalu ia melanjutkan membuat teh hangat tadi.

Setelah dirasa semuanya telah siap, Adzam menaruh teh hangat serta beberapa kudapan ke atas nampan. Ia membalikkan tubunya seraya membawa nampan itu di kedua tangannya.

Adzam terperangah saat melihat pintu kamar mandi yang menunjukkan Anggi di sana. "Astahfirullah," Adzam segera menundukkan kepalanya lagi seraya beristighfar.

Anggi memicingkan mata lalu menghel nafas, jengah. "Kenapa si, liattin guenya gitu amat?" Tanya Anggi dengan nada kesalnya.

Anggi tidak suka melihat Adzam bereaksi seperti itu, ia akan menganggap dirinya terlalu menyeramkan jika setiap orang yang melihatnya berucap istighfar.

"Kamu tidak memakai penutup kepala, Anggia. Saya tidak bisa melihatmu yang memamerkan rambut, karena saya belum menjadi mahram kamu."

Anggia memutarkan bola matanya, Adzam seperti Winda tadi memberinya ceramah religi tapi mungkin Adzam akan memberikan ceramah yang sangat panjang untuknya. Anggi harus ekstra siap mendengar ceramahan laki-laki yang akan menjadi suaminya itu.

"Kamu perempuan, seharusnya kamu lebih bisa menjaga aurat kamu. Kamu tidak bisa memperlihatkan aurat kamu kepada laki-laki yang bukan mahram kamu. Karena itu akan menimbulkan syahwat laki-laki." Jelas Adzam pelan-pelan

"Diantara tujuan diwajibkannya menutup aurat, utamanya bagi perempuan dengan menutup sebagian besar anggota tubuhnya yang tidak boleh diperlihatkan kepada selain muhramnya itu untuk melindungi dan memuliakan manusia itu sendiri, sebagaimana Allah tegaskan dalam al-Qur'an surah al-Ahzab ayat 59:" Lanjutnya

Anggi berkacak pinggang mendengar ceramahan Adzam itu. Ia menutarkan bola mata, jengah. "Lo gak pegel, ceramah sambil bawa nampan?"

Adzam tersenyum, "Ya.. pegel si." Ucapnya seraya terkekeh.

Loving mas Adzam (On going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang