11

64 5 0
                                    

"Aku serius, La." Berlian menatap Lila dengan meyakinkan.

Lila menggigit bibirnya ketika mendengar cerita Berlian. Kemarin malam Berlian menjenguk teman kerjanya di rumah sakit khusus Kanker. Di sana Berlian melihat Bagas namun pria itu terburu-buru masuk ke dalam mobil mewah.

"Kamu yakin?" Sekali lagi Lila bertanya pada Berlian. Sementara Berlian sendiri sedang mondar mandir di hadapan Lila, ia terus bergumam tentang kenapa Bagas ada di sana.

"Mungkin gak sih kalo Bagas jenguk temannya juga?" Tanya Lila.

"Tapi kalo itu kemungkinannya, kenapa suster harus ikut juga ke dalam mobil?" Berlian menjambak rambutnya dengan frustasi.

"Kita harus cari tahu, La. Pacar mu itu sebetulnya ada dimana?" Berlian menepuk pundak Alila.

Hari ini Lila makan siang dengan Ucup seperti biasa. Masih ada 15 menit sebelum waktu makan siang berakhir, Lila dan Ucup duduk di kursi malas yang ada di pantry. Di sana ada supir pribadi Krisna yang juga tengah minum kopi.

"Iya halo pak." Pria itu langsung berdiri tegap ketika menerima panggilan yang Lila tebak dari Krisna.

"Siap, saya ke lobby." Ujarnya. Lalu dengan setengah berlari ia meninggalkan pantry. Lila terheran dengan sikap pria paruh baya yang bernama pak Muksin itu.

"Ada apa ya Cup? Pak Muksin kayak panik gitu." Lila menoleh pada Ucup.

"Mungkin ada yang urgen ya la." Sahut Ucup. Jawaban yang sangat standar. Lila memutar bola matanya karena temannya itu tak membantu sama sekali.

Brakk!!

Pintu terbuka. Lila dan Ucup hampir menjerit.

"Maaf mbak, mas. Kunci saya ketinggalan." Ucap Pak Muksi.

"Oh iya Pak. Ada apa sih Pak?"  Tanya Ucup.

"Mau antar si bos ke RS, adiknya kan lagi sakit." Ujar Pak Muksin.

Lila menoleh pada Ucup. "Tuh La, adiknya pak Krisna sakit." Ujar Ucup.

Lila beranjak. "Cup, bilangin Pak Dana, aku izin pulang. Sakit perut." Lila berlari ke ruangannya dan menyambar tasnya meninggalkan Ucup yang tengah melongo.

Lila yakin ada sesuatu di RS itu. Dengan modal nekad, Lila menghubungi Mas Oki untuk mengantarnya ke RS yang di maksud.

Kondisi jalanan yang belum begitu padat membuat Lila bisa sampai ke RS tersebut dengan cepat. Ia celingak-celinguk di lobby RS. Lila menghubungi Berlian dan bertanya dimana ia melihat Bagas tempo hari. Setelah mendapat petunjuk dari Berlian, Lila menyusuri lorong demi lorong RS tersebut sehingga ia tiba di ruang VVIP. Tentu saja pengamanan di ruang VVIP tak mudah di tembus oleh Lila. Ia berjalan gontai meninggalkan gerbang yang di jaga oleh petugas, Lila tak bisa masuk karena namanya tak ada di daftar nama keluarga.

Lila mengerjapkan matanya saat ia melihat Krisna datang dengan tergesa.

"Pak!" Lila menahan tangan Krisna.
Pria itu terperanjat mendapati Lila ada di sana.

"A--lila." Ujarnya terbata. "Ngapain di sini?" Tanya Krisna dengan gelisah.

"Bagas di sini, kan?" Tembak Lila langsung. Krisna tak menjawab. Ia hendak berjalan meninggalkan Lila setelah menepis cengkraman tangan Lila.

Krisna menghentikan langkahnya ketika terdengar suara benda menyentuh lantai.

Alila berlutut.

"Aku mohon, aku mau ketemu Bagas." Lila mendongak menatap Krisna yang juga tengah menahan tangisnya. Krisna menengadahkan wajah menahan air matanya supaya tak jatuh.

"Ayo!" Krisna menyodorkan tangannya. Lila meraih tangan itu dengan cepat. Mereka bergegas menuju ruangan VVIP dimana seseorang sedang berjuang antara hidup dan mati. Dialah Nathan Bagaskara.

Lila tak pernah merasa patah hati sebelumnya. Cintanya yang kandas semasa kuliah dengan seorang pria tak membuat hatinya remuk. Namun kini ia remuk, patah dan hancur tak berbentuk ketika melihat alat penopang kehidupan memenuhi tubuh Bagas. Masker yang ia kenakan sudah basah karena air mata yang tak juga berhenti.

Di ruangan itu hanya ada Maria, Krisna dan Lila. Perlahan Lila menyentuh jemari Bagas dengan lembut, ia mengusap perlahan punggung tangan Bagas dengan ibu jarinya.

"Hai, apa kabar mas pacar." Suara Lila terdengar lirih.

"Ini aku, Alila." Tubuh gadis itu bergetar hebat, begitu juga dengan Maria yang tak kuasa menahan tangisnya. Krisna membuang nafasnya dengan kasar, satu bulir air matanya nyatanya lolos dari sudut matanya.

TANPA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang