20

60 4 0
                                    

Krisna tertidur dengan senyum yang mengembang.

Sementara itu di kamar Mayang, Alila baru saja hendak memejamkan matanya.

"La." Panggil Mayang dengan lembut.

"Kenapa bu?" Lila kembali membuka matanya.

"Krisna itu orang yang selalu kamu bawain nasi goreng itu, kan?" Mayang terkekeh pelan. "Dulu itu, nasi goreng nya bukan untuk teman kamu, kan?" Imbuh Mayang.

"Ibu..." Cicit Lila.

"Bukan untuk Fosa, kan?" Goda Mayang lagi.

Alila memeluk lengan ibunya erat. Itu sudah menjadi sebuah jawaban dari Lila untuk Mayang.

"Bahagia, La?" Tanya Mayang. Alila mengangguk dalam, Mayang tersenyum walaupun ia tak melihat wajah putrinya, namun Mayang tahu Alila bahagia dekat dengan Krisna.

POV Alila

Aku selalu bersyukur punya teman seperti Fosa yang selalu bisa bantu aku. Seperti saat ini, aku bisa PKL di perusahaan besar di Jakarta. Saudara sepupu Fosa bekerja di kantor tersebut sehingga Fosa bisa meminta bantuan untuk supaya kami bisa PKL.

Aku tinggal di rumah kontrakan dengan ibuku, karena ibu khawatir jika aku harus tinggal di Jakarta sendirian. Selain aku tak memiliki saudara, akupun tak mungkin tinggal dengan Fosa di rumah saudaranya.

Ah ya, sejak kesalahpahaman aku dengan pemilik tempat ku PKL, aku merasa sangat malu karena menyangka beliau tukang antar air minum.

Hari ini akupun mungkin kena karma atau kutukan, karena aku di tugaskan membantu sekretaris beliau di lantai 8. Aku menatap kotak makan yang aku bawa setiap hari, satu kotak berwarna biru dn satu lagi berwarna merah. Kotak berbentuk persegi tersebut selalu aku isi dengan nasi goreng buatanku satu untuk ku satu ku letakkan di meja Pak Krisna. Entah mau di buang atau nggak, yang pasti aku melakukan nya setiap hari. Lucunya, kotak makan tersebut akan kosong saat ketika pak Krisna keluar ruangan untuk makan siang, artinya beliau memakannya untuk sarapan rupanya.

Hal tersebut berjalan hampir setiap hari, kadang nasi goreng kadang nasi putih dan semur daging buatan ibuku.

Jujur, aku selalu memperhatikan pak Krisna dari dalam ruangan bu Riri sekretaris pak Krisna.

"La, kalau kamu dewasa nanti, cari suami yang kayak pak Krisna. Mapan dan tampan." Seloroh bu Riri yang tengah hamil muda.

Aku terkekeh. "Pak Krisna belum menikah ya bu?" Tanyaku. Bu Riri menggeleng.

"Belum, beliau masih urus adiknya yang sedang sakit keras." Sahut bu Riri.

"Eh tapi bisa jadi beliau udah punya pacar. Aku selalu lihat kotak makan warna merah di mejanya." Ujar bu Riri. Aku hanya mengangguk samar.

Aku kagum dengan sosok pak Krisna, selain pekerja keras beliau juga sosok yang tak arogan terbukti saat aku salah faham dengan beliau.

Hari ini ada acara perpisahan di kantor. Awalnya aku nggak tahu perpisahan apa dan siapa sampai pada saat pak Krisna naik ke mimbar dan mengucapkan kata perpisahan. Hari ini pak Krisna akan pindah ke Singapura untuk memimpin perusahaannya di san sekaligus menemani adiknya kuliah.

Tak terasa air mataku hampir luruh dari pelupuk mata. Entah kenapa aku merasa kehilangan dan sejak saat itu aku melupakan semua tentang pak Krisna.

Sampai pada satu ketika aku melihatnya lagi dalam keadaan dan kondisi yang tak lagi sama. Karena adiknya yang ternyata lebih membutuhkan ku, dia adalah Nathan Bagaskara.

TANPA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang