17

59 5 0
                                    

Krisna menatap sekali lagi pada gadis yang sedang melambaikan tangannya dari atas balkon rumah kos sejuta kenangan itu.

"Hati-hati!" Seru Lila. Krisna tersenyum.

Setelah berembuk dengan Krisna akhirnya malam ini Alila tidur di kos. Ia tidur di kamar Bagas, kata gadis itu ia ingin melepas rindu di kamar itu.

Lila tidur memeluk guling milik Bagas.

"Gas, aku di sini. Kamu bahagia ya di sana. Aku juga akan mencoba untuk hidup lebih baik dan lebih bahagia walau tanpa kamu." Lila mengusap foto Bagas yang ada di ponselnya.

"Kamu tahu, hari ini aku jalan sama Mas Krisna, kakakmu. Dia baik dan wajahnya bisa setenang itu saat hadapi aku yang cerwet ini." Lila menahan tangisnya.

"Sudah setahun ya Gas. Boleh gak kalo aku membuka hati untuk orang lain?" Lila terisak dalam. Ia menggigit bibirnya supaya tangisnya tak terlalu kencang.

Berlian menyandarkan tubunya di pintu kamar Bagas. Tangisan Lila sungguh terdengar menyakitkan bagi siapun yang mendengarnya.

Ponsel Lila bergetar nampak panggilan dari Krisna.

"Halo." Lila mencoba menahan tangisnya.

"Kamu nangis?" Tanya Krisna.

"Nggak." Dusta Lila. Padahal jelas Krisna bisa mendengar suara Lila yang parau.

"Aku ke situ lagi ya?" Krisna menghela nafasnya.

"Eh nggak usah!" Lila mengusap air matanya. "Aku beneran gak apa-apa, cuma kangen aja." Sahut Lila.

Krisna diam.

"Aku tahu sih ini agak kedengarannya apa ya---konyol mungkin." Krisna mencoba merangkai kata-kata nya.

"Kita sama-sama terluka, boleh gak sih sembuhin nya bareng-bareng?" Krisna mengerjapkan matanya.

Alila diam. Ia faham kemana arah tujuan ucapan Krisna.

"Besok aku pulang. Kok jadi males ya naik kereta." Gumam Lila.

"Aku antar besok." Sahut Krisna cepat.

Memang tadi sebelum pulang Krisna sempat memaksa Lila untuk di antarkan ke kampungnya namun gadis itu bersikeras menolak. Tapi kini ia menyerah juga.

"Sampai besok ya." Lila tersenyum.

"Sleep well ya, jangan kebanyakan nangis. Kasian Bagas." Ujar Krisna.

"Iya," Lila terkekeh.

***

Krisna tak pernah sesemangat ini. Jam 6 pagi dia sudah bangun dan mandi dengan riang layaknya anak kecil yang akan pergi ke taman hiburan. Beberapa kali ia menata penampilan nya di kaca yang menampilkan pantulan gambar dirinya yang sempurna setidaknya itulah yang akan ada di pikiran setiap orang saat melihatnya.

Maria mengernyitkan keningnya melihat Krisna turun dari lantai atas dan---bersiul.

Maria menoleh pada Ben yang sudah setia menjemput bosnya. Sadar di tatap Maria, Ben hanya tersenyum menipiskan bibirnya. Semalam Krisna tak jadi pulang ke apartemen nya, ia memutuskan untuk pulang ke rumah Maria, ibunya.

"Morning!" Krisna mencium pipi ibunya.

"Morning." Maria menepuk pipi putranya.

"Morning. Wow, saya gak di cium, Pak?" Cicit Ben. Krisna mendelik sebal pada pria yang sudah mendampingi nya hampir 10 tahun.

"Ceria amat. Mau kemana bang?" Tanya Maria. Krisna menoleh ke arah Ben dan di jawab dengan gelengan yang Krisna tahu artinya Ben belum bercerita pada Maria.

"Mah, hari ini aku gak ngantor ya. Aku cuti." Krisna meringis.

"Serius?" Tanya Maria. Krisna mengangguk mengambil oatmeal yang sudah di hiasi dengan buah potong tersebut.

"Iya, aku ada urusan dulu." Krisna berdehem. " Urusan kantor di urus Ben.

Maria memicingkan matanya.

"Where did you go, son?" Tanya Maria. Krisna menyesap kopi hitamnya.

"Rahasia." Sahutnya. Maria mendegus pelan.

"Rahasia-rahasia an ya sekarang?" Maria menautkan kedua tangannya di meja.

"Mah, please!" Krisna memelas.

"Okay, then." Maria mengangkat tangan nya ke udara.

Krisna tertawa pelan. Pria itu bergegas pergi setelah mencium pipi Maria dan ia kembali bersiul.

"Ben?" Maria menoleh pada Ben yang mau Kabur sebelum di berondong pertanyaan oleh Maria.

"Ya?" Ben berdehem.

"Jadi?" Tanya Maria.

Ben memberikan gerakan mengunci mulut dan membuangnya ke udara.

"Ini taruhannya karir saya." Ben undur diri setengah berlari.

"Prayoga Benedict!" Suara Maria terdengar lantang. Ben tertawa lalu memasuki mobilnya dan segera pergi ke kantor menggantikan bos-nya yang hari ini mau--kencan.

TANPA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang