12

64 5 0
                                    

Kemoterapi nya tak berjalan dengan baik. Kondisi beberapa organ dalam Bagas sudah tak kuat. Sejak ia kehilangan kesehatannya bertepatan dengan hari dimana Lila berulang tahun dan sejak saat itu ia di rawat intensif. Ia selalu berpesan pada Maria dan Krisna bahwa ia tak mau terlihat menyedihkan di depan Alila.

"Aku harus tangguh seperti Lila yang selalu lindungi aku." Ujar Bagas suatu waktu. Krisna dan Maria hanya mengiyakan keinginan Bagas.

Tepat di waktu ulang tahun Lila, Bagas menangis tersedu di pelukan Maria, ia marah, ia kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa menepati janjinya pada Alila.

Lila masih duduk di samping Bagas dengan tatapan yang masih sama, masih penuh rasa rindu.

"Gas, bangun. Aku mau cerita banyaaaak banget." Gumam Lila. Maria dan Krisna duduk di sofa melihat bagaimana Lila berbicara pada Bagas mencoba sebisanya membangun komunikasi dengan Bagas yang hanya terdiam kaku.

Krisna menggenggam tangan Maria. wanita itu nampak pucat dan lelah.

"Mah, pulang aja dulu. Aku yang jaga Bagas." Ujar Krisna. Alila menoleh dan mendekat ke arah Maria.

"Ibu, maaf perkenalkan saya Alila---"

Maria tak menjawab ia menarik Lila ke dalam pelukannya. Ia menangis dan meratap menumpahkan kesedihan nya selama tiga bulan ini mendampingi putra bungsunya.

Ia tahu bagaimana berseri - seri nya wajah Bagas tatkala berbicara tentang Alila. Bagaimana indahnya lagu yang selalu di nyanyikan Bagas untuk Alila ketika sedang menunggu jadwal kemoterapi. Ia tak sanggup membayangkan seperti apa hidupnya jika harus kehilangan Bagas.

"Bantu mama untuk sembuhkan Bagas ya." Maria mengusap pipi Alila dengan lembut. Lila mengangguk yakin.

"Aku kangen bagas, bu." Bisik Lila.

"Panggil mama, nak." Pinta Maria. Lila menoleh pada Krisna yang di jawab dengan anggukan kepala.

"Lila gak apa-apa kalo nginap di sini?" Tanya Maria.

"Gak apa-apa, mah." Sahut Lila. "Nanti aku pulang sebentar ambil baju aja." Imbuh Lila.

"Kos kamu jauh, La. Di seberang ada Mal, kita ke sana aja beli kebutuhan kamu." Krisna memberi saran. Lila terlihat berfikir.

"Iya, La. Ke sana aja, ambil semua yang kamu perlukan. Nanti semuanya di urus Ben. Gitu aja ya Kris?" Maria menoleh pada putranya. Krisna mengangguk.

Akhirnya Lila menyerah, ia mengikuti saran Maria dan Krisna untuk berbelanja di Mal seberang RS. Ternyata Mal tersebut adalah milik keluarga Krisna.

"Pak, aku mau minta cuti mendadak ke Pak Dana." Lila menatap Krisna yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya. Sementara Maria sudah pulang ke rumahnya setelah di bujuk oleh Krisna dan Lila.

"Aku udah urus semua." Sahut Krisna.

"Lho? Pak Dana nanti bingung soalnya---"

"Dana itu orang kepercayaan ku, La. Dia yang selama ini kasih semua info tentang kamu ke aku."

Lila mengerjapkan matanya mendengar penuturan Krisna.

"Kamu tenang aja. Kamu akan tetap gajian dan namamu akan tetap aman di Perusahaan." Tutur Krisna meyakinkan Lila.

"Terima kasih, Pak." Sahut Lila. Krisna mengangguk senang.

***

Sudah dua hari Lila berada di RS. Ia tak segan-segan lagi membersihkan tubuh Bagas, membacakan cerita lucu dan memutarkan musik ke telinga Bagas. Ia berharap Bagas akan bangun dan sehat kembali.

Lila sedang ke kamar mandi ketika terdengar Dokter dan Suster sibuk di dalam ruangan. Ketika Lila keluar kamar mandi, Krisna sudah berdiri dengan cemas.

"Ada apa?" Tanya Lila.

"Bagas bergerak!" Krisna hampir menitikkan air matanya.

Dokter sedang mengecek semua tanda vital Bagas.

"La..." Untuk pertama kalinya, Krisna menangis memeluk adiknya. Begitu juga dengan Lila yang menghujani wajah Bagas dengan ciuman lembut.

"Selamat datang, Mas Pacar." Alila tersenyum.

"Gas, terima kasih udah bertahan." Krisna memeluk kepala adiknya.

"Kamu kenapa nangis?" Tanya Bagas mengusap air mata Lila.

"Laper, Gas!" Sahut Lila seperti biasa mengalihkan kesedihannya. Bagas terkekeh.

"Nanti kita kencan ya, gak usah makan steak yang diskonan itu. Nanti aku kasih steak yang beneran mahal. Aku minta uang dulu ke bang Krisna." Ujar Bagas. Krisna terkekeh.

Alila seperti hidup kembali mendapati Bagas sadar sepenuhnya.

Perlahan Krisna mundur keluar ruangan. Ia tersenyum pada Ben dan juga pak Muksin yang setia menunggu di luar ruangan.

"Makan dulu yuk." Ben menatap Krisna.

Pria itu menatap Ben.

"Dada gue sakit." Krisna menepuk dadanya pelan. Ben menarik nafas dalam melihat bagaimana bosnya lagi - lagi mengalah demi adiknya tersayang.

TANPA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang