15

61 6 0
                                    

Konon katanya waktu bisa menyembuhkan luka, mungkin iya. Namun tidak bagi Krisna. Setelah kepergian Bagas, ia kini merasa kosong. Pun setelah Lila pergi, ia merasa bertambah kosong meski sudah setahun berlalu.

"Ngopi dulu?" Tanya Ben. Krisna mendongak dari ponselnya.

"Ice Americano." Sahut Krisna.
"Like always," Gumam Ben.

Ben masih mengamati wajah bosnya yang masih setia pada ponselnya. Ice Americano nya sudah sejak tadi berada di hadapan pria yang mengenakan jas hitam di padu dengan kaos putih oblong. Pria itu duduk di sudut Starbucks yang ada di lobby salah satu Mal miliknya.

"Jangan bilang udah berganti haluan, Ben." Tegur Krisna.

Ben berdecak pelan. "gak mau nyari istri? Udah 31 tahun lho."

Sumpah ya, bagi Krisna mulut Ben itu super nyinyir. Tapi gimana dong? Cuma Ben yang bisa mendampingi nya selama ini.

"Cerewet amat kayak mama." Sahut Krisna. Ben memutar bola matanya.

"Ah ya, besok peringatan satu tahun Mas Bagas. Mau ke makam?" Tanya Ben. Krisna mendongak.

"Iya, pesankan bunga yang biasa ya." Pinta Krisna. Ben mengangguk mengerti.

"Alila apa kabar ya? Udah setahun ngilang gitu aja." Pancing Ben. Padahal Ben tahu, kalo mau, bos nya bisa mencari Alila. Namun ia juga tahu, bosnya tak melakukan itu. Krisna memberi ruang dan waktu pada Lila untuk menyembuhkan luka hatinya.

"Kan kamu yang suka kepo, cari tahu dong!" Sahut Krisna.

"Ah iya kenapa gak kepikiran ya? Siapa tahu luka hatinya udah sembuh dan mau jadi pacarku." Ben tersenyum penuh kemenangan sementara Krisna menatap Ben dengan tatapan membunuh. Ben tetap pura-pura tak peduli.

Tak terasa setahun sudah Bagas pergi. Maria dan Krisna berjalan bergandengan tangan menuju pusara Bagas. Krisna mengernyitkan keningnya ketika ada bunga mawar putih satu tangkai di dekat nisan Bagas.

Ah, mungkin Ben. Batin Krisna.

Ia dan Maria duduk di samping pusara Bagas.

'Hai bos kecil, apa kabar? Abang kangen sekali sama kamu. Kamu bahagia kan di sana? Jangan lupa doa in abang dan mama supaya kuat menjalani hidup kedepannya tanpa kamu. Ah iya, boleh gak kalo abang suka sama Lila?'

Krisna berbicara di dalam hatinya.

Ia mendongak pada Ben yang datang dengan bunga yang di pesan Krisna tempo hari.

Krisna menerima bunga mawar putih tersebut dan menyusunnya di atas pusara Bagas.

Setelah selesai berdoa, mereka beranjak dari pusara Bagas.

"Ben, kamu tadi yang naruh bunga di makam Bagas?" Tanya Krisna.

"Eh? Nggak. Aku baru datang tadi kan, soalnya bunganya betul-betul di cari yang segar." Sahut Ben. Krisna mengernyitkan keningnya.

"Ya sudah." Sahut Krisna.

Di tempat lain.

Lila memeluk Berlian yang ternyata masih setia di kos tersebut.

"Pak Krisna gak mau di bayar. Khusus buat aku, di bayar pake doa aja katanya." Adu Berlian pada Lila. Keduanya tertawa.

"Masih belum mau balik ke sini?" Tanya Berlian.

"Aku belum siap, Be." Lila membuka kamarnya. Ia sejenak mematung di depan kamar Bagas. Hatinya getir dan juga perih. Terasa usapan lembut di punggungnya.

"Sabar dan ikhlas ya say." Berlian memeluk pundak Lila.

"Jangankan kamu, aku aja tiap hari kangen sama Bagas." Berlian mengusap air matanya yang tiba-tiba lolos di pipinya.

Lila tersenyum, ia mengusap pintu kamar Bagas dan memejamkan matanya sejenak.

Ceklek, pintu kamar itu terbuka. Lila membuka matanya dan nampak Krisna di sana.

Ia menatap Lila dengan tatapan tak terbaca.

Lila hanya melongo tak mengira jika Krisna akan ada di sana dan kini sedang memandangnya lekat.

TANPA WAKTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang