Ada sesuatu yang magis dari ucapan anak laki-laki itu.
Nyaris tiga tahun berlalu. Dan aku masih hidup. Di hari-hari tersulit hidupku, di malam-malam menyesakkan, aku mengingatnya. Wajahnya, ucapannya, suaranya. Aku mengingat semuanya setiap malamnya.
Aku tidak tahu namanya, jadi aku melukis wajahnya di atas kertas, menyisipkannya di bawah bantal dan memandanginya setiap aku merindukannya. Nyaris seperti obsesi. Atau mungkin memang begitu.
Hidupku tidak mengalami banyak perubahan. Ibuku masih bekerja seperti biasa, kali ini tanpa suami karena terakhir kali, dua tahun yang lalu dia melakukannya, aku diam-diam mengancam pria itu agar pergi. Dia sudah menua sekarang, jadi jasanya menjadi tidak laku. Dia menambal kekurangan kami dengan berhutang ke sana kemari.
Kadang, aku ingin berhenti sekolah. Aku benci terperangkap di dalam kelas, mempelajari pengetahuan yang sebagian besarnya tidak akan pernah terpakai. Tapi aku juga benci rumah dan atap gudang belakang sekolah menjadi tempat isolasi yang menenangkan. Juga, ada satu harapan yang membuatku sanggup menyeret kaki setiap harinya ke sekolah. Kadang, pulang sekolah, dengan sengaja aku berjalan lebih jauh, melewati tempat yang tiga tahun lalu kulalui, dengan harapan aku dapat bertemu anak laki-laki itu lagi. Tiga tahun, dan harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Hingga suatu hari, sebuah mobil mewah mendarat di depan rumah kami yang kumuh. Ibuku turun dari sana, tetapi tidak sendirian. Dia di antar seorang pria. Yang membedakan, pria ini terlihat berbeda dari para pria yang biasanya dibawa oleh ibuku. Dia tampak sedikit lebih tua, dengan rambut yang tipis, tubuh gempal dan pakaian rapi lengkap dengan jas. Dia seperti definisi pria pebisnis yang sukses. Bahkan ketika duduk di depanku, aku dapat membaui aroma parfumnya yang terasa mahal.
"Oh, jadi ini yang namanya Anisa?" Dia tersenyum padaku. Senyum yang, secara aneh tidak terlihat seperti senyum pria hidung belang. Raut wajahnya cukup ... menenangkan. Sehingga aku mengangguk.
"Kenalin, nama Om, Om Umar. Om ini teman SMP ibu kamu."
"Iya loh, Isa." Ibu berbicara dengan manis, dengan senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya. Ia lalu meremas tanganku seolah kami akrab. "Nggak nyangka banget ketemu lagi pas Mama hampir aja keserempet mobil tadi. Eh, tahunya itu Umar!"
Aku tidak berusaha memalsukan senyum. Hanya menatap datar. Anehnya lagi, Om Umar tidak tampak terintimidasi. Dia masih saja tersenyum dan mencoba mengajakku bicara.
"Kamu kelas berapa? Om punya anak yang sepertinya seumuran kamu."
"Kelas 3."
"Oh, sebentar lagi lulus, dong? Pas banget. Anak Om juga kelas 3 SMP. Nanti, main ke rumah Om, ya. Anak Om pasti seneng kalau ketemu kamu."
Dari pertemuan pertama itu, kunjungan Om Umar ke rumah menjadi semakin intens. Entah itu sekedar mengantar Mama dari pasar, sekedar memberikan oleh-oleh, sekedar mampir. Aku bahkan tidak lagi terkejut ketika dua bulan kemudian, mereka mengumumkan bahwa mereka akan menikah.
Dari cerita Mama yang tidak henti-hentinya membicarakan pria itu (juga harta kekayaannya, atau mobilnya, atau rumahnya yang amat besar), Om Umar adalah seorang duda. Istrinya meninggal dua tahun yang lalu karena sakit kanker. Dan dia adalah duda yang sangat kaya (ini sudah jelas).
Aku tidak pernah menyukai setiap laki-laki yang dibawa ibuku ke rumah, membenci setiap suami barunya. Tetapi Om Umar seperti hujan yang terus mengetuk-ngetuk di jendela. Dia suka bertanya hal-hal sepele, seperti pelajaran apa yang paling kusukai, siapa teman dekatku di sekolah, makanan apa yang menjadi favoriteku lalu membawakannya. Hal-hal seperti itu. Hal-hal yang orang lain tidak akan repot-repot mendengarkan. Ditambah, sosoknya terasa agak familiar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022