Chapter 14

6K 1.1K 120
                                    

Spam komen, ya!
Harus rame pokoknya ❤

***

Dia memang sepopuler itu, ternyata.

Gosip menyebar begitu cepat sehingga kurang dari 24 jam, aku merasa seperti seorang buronan satu sekolah. Di ponselku, nada pemberitahuan terus berderet-deret membuatku mematikannya dengan sengaja. Bahkan ketika aku ke meja makan untuk makan malam, Bia menatapku dengan alis yang dipenuhi pertanyaan. Aku dapat membacanya, tetapi akan sulit untuk menghindarinya.

"Jadi," dia menangkup kedua tangan di atas meja sembari mencondongkan tubuh ke arahku. Dia bahkan tidak menunggu aku mengambil suapan pertama sebelum menanyakan itu. "Kak Isa pacaran sama Kak Aksal?"

Aku tidak bisa berkutik di tempatku. Pun membalasnya dengan santai. Alih-alih, aku menatapnya dengan wajah tak terbaca.

"Denger dari mana?"

"Ih, anak-anak heboh, tahu, gosipin itu. Katanya Kak Isa nembak Kak Aksal ya, di lapangan? Berani banget! Kereeeennn! Bia mau juga jadi cewek keren kayak Kak Isa. Tapi Bia pasti malu kalau kayak gitu. Kakak tahu, kan, gimana gosip di sekolah kita nyebar? Terus masa cewek nembak cowok, ya? Pasti Bia dikatain gitu. Kalau bisa sih nggak bisa nggak tahu malu gitu─"

Dia terus bicara, mengungkapkan isi kepalanya. Sementara aku mengeratkan peganganku pada sendok. Aku tidak bisa membedakan apakah dia sedang menyindirku atau mengolok-olokku. Setiap kalimatnya membuatku tidak nyaman. Membuatku ingin menamparnya.

Bahkan sekarang Mama ikut tertarik. Ia melepaskan pandangan dari video mukbang-nya dan menatapku penuh selidik.

"Kamu punya pacar, Isa?" tanyanya. Dengan mudah aku mendeteksi nada tidak suka dalam suaranya. Tetapi kemudian dia selalu tidak suka dengan apapun itu yang berhubungan denganku.

"Iya, Ma, Kak Isa tadi─"

"Itu nggak benar," potongku.

Namun Bia tidak melepaskanku begitu saja. "Masa?" sungutnya. "Bukannya Bia liat Kak Isa sama Kak Aksal ya, di lapangan? Kak Aksal nerima, kan?"

Untuk pertanyaan itu, aku tidak lagi ingin menjawabnya. Orang-orang dapat berasumsi semau mereka dan aku tidak peduli. Aku mengambil suapan pertamaku dan memilih melupakan pertanyaan itu.

"Kak? Iya, kan? Nerima, kan? Kak Aksal langsung ngajak nge-date nggak, abis itu?"

Pertanyaan itu sekali lagi tidak kugubris. Namun bohong jika kukatakan, itu tidak membawaku pada ingatan sore tadi. Saat aku melihatnya bersandar pada dinding.

Dia punya tampak sisi yang menawan, tubuh yang beraroma menyenangkan, juga senyum yang sulit untuk ditampik. Pantas saja jika kebanyakan siswi di sekolah menyukainya. Sayangnya, aku bukan salah satu dari mereka.

"Kamu pulang naik apa? Biar saya antar."

Aku termangu begitu mendengar tawarannya. Mengantarku pulang? Otakku masih kesulitan mencerna kalimat sederhana itu. Kemudian, aku menggeleng.

"Oh... nggak perlu. Saya bisa sendiri."

Aku tidak menunggu reaksinya, melainkan terus mengambil langkah, berjalan mendahului cowok itu. Aku tidak ingin pulang dengannya. Tidak ingin menarik lebih banyak perhatian daripada ini. Tidak ingin terlibat lebih jauh.

Dia tidak menahanku, dan aku bersyukur untuk itu.

"Kak?" Bia memanggilku sekali lagi, cukup untuk memutus lamunanku. Juga cukup untuk memutus napsu makanku.

Dan Mama, tidak membuat semuanya lebih baik. "Apa dia kaya? Apa aja yang udah kamu kasih ke dia?"

Aku nyaris tersedak oleh tawa. Si jalang ini berpikir aku akan sama sepertinya, menjual diriku demi beberapa barang tidak berharga.

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang