chapter 11

6.4K 1.1K 123
                                    


Aku turun dari atap usai sesak di dadaku terasa berkurang separuhnya. Surat yang kutulis kubaca ulang untuk kali kedua, lalu, kuremukkan. Hingga remasan yang membuatnya nyaris tak berbentuk lagi sebelum berakhir di tempat sampah.

Konyol, rasanya.

Aku masih membenci Bia, dan aku masih menginginkan Pandawa. Tetapi aku juga tidak berniat ditolak mentah-mentah.

Mungkin aku harus kembali ke kelas dan tidur, atau izin ke UKS dan tidur. Aku butuh tidur, belakangan aku begitu kekurangan istirahat karena kepalaku tidak bisa berhenti bicara tentang Pandawa.

"Woy! Balik lo!"

"Bodo amat! Gua tempel di mading muka lo gigi semua!"

Terdapat keributan ketika aku berjalan di koridor menuju kelas. Dua orang anak laki-laki berlarian cepat, menabrak apapun yang menghalangi jalan mereka. Aku, salah satunya.

Anak laki-laki yang berlari di belakang yang melakukannya, membuatku menjatuhkan botol air mineral yang sedang kugenggam.

"Sori, sori!" ucapnya buru-buru sembari memungut botol yang menggelinding ke kakinya.

Ia menyerahkannya padaku, dengan cara yang sopan. Tatapan kami bertemu selama beberapa saat, lantas, dengan alaminya, dia tersenyum.

"Sekali lagi maaf, ya. Nggak sengaja."

Aku mengenalnya. Rambut gondrong di atas rata-rata dan entah kenapa berhasil lolos dari inspeksi rambut. Ia memiliki mata yang membuatku memahami kenapa masih banyak saja gadis yang mau ditipu olehnya. Seperti curhat beberapa anak di kelas yang kadang kudengar tanpa sengaja.

"Kamu anak baru itu, ya?" tanyanya lagi berhubung aku tidak segera menjawab. "Kelas berapa? Eh, sampe lupa!" Ia mengelap telapak tangannya di celana, lantas mengulurkannya padaku. "Kenalin, gue Nino. Elnino Putra Bagaskara. Tapi kalau kepanjangan, kamu bisa panggil Sayang aja."

Aku menahan diri untuk tidak mengernyit. Selama beberapa saat, mataku tertuju ke tangannya, tetapi memilih mengabaikan alih-alih menjabatnya. Hingga satu menit berlalu, dia menurunkannya kembali dan tersenyum kikuk.

"Kamu pendiem banget, ya, kayaknya." Ia cepat-cepat menguasai diri. Ia lalu melirik botol di tanganku.

"Oh iya, sori soal minumannya. Mau diganti, nggak? Kamu mau minum apa, Kak Nino gantiin. Sama makan sekalian juga boleh."

Aku menatapnya. Cara dia tersenyum, cara dia membawa diri, merayu ... Cowok ini jelas memiliki kata brengsek yang tercetak di jidatnya. Dan aku sama sekali tidak tertarik.

"Enggak perlu," jawabku seadanya.

Lantas, aku berlalu. Kudengar suara tamparan di belakang, juga keberisikan. Cowok yang berlari pertama dan melewatiku tadi, Langit, sepertinya kembali untuk menjemput Nino. Kudengar dia tertawa dan berseru di belakang.

"Mampus lo No! Pesona lo udah luntur kayaknya gara-gara lo nonton bokep!"

"Mana ada anjir?! Nggak usah fitnah lo!"

Keributan itu berlanjut. Semakin lama semakin mengabur di telinga karena langkahku yang terus menjauh.

Aku menjauh. Menjauh. Dan menjauh. Lalu terhenti.

Tak jauh di depanku, aku melihat Veloxa. Ia sedang menarik seorang anak laki-laki ke balik tembok meski kentara orang itu tidak menginginkannya.

Itu Navy.

***

"Minggir. Ini tempat Velo."

Aku menghentikan acara makanku, meletakkan sendok kembali ke mangkuk dan mendongak. Di depanku, kutemukan objek yang disebut bersama ketiga anak buahnya mengelilingi meja yang kutempati.

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang