Chapter 13

5.8K 1K 64
                                    

Pendek dulu, ya~

Tapi manis 😊

***

"Oke, Isa. Kalau gitu, ini hari pertama kita."

Aku sudah menyiapkan mental untuk ini. Detik-detik ketika aku ditolak di depan semua orang, sehingga orang-orang itu kemudian bisa dengan leluasa menertawakanku. Pasti menyenangkan ya, tertawa di atas ketidaknyamanan orang lain? Kadang, aku juga ingin mencobanya.

Aku sendiri tidak apa-apa. Tidak akan apa-apa. Aku sudah terlalu terbiasa, dikucilkan, dan menjadi bahan kegembiraan orang-orang. Seperti badut, yeah. Seperti baduh tanpa kostum.

Tetapi begitu mencerna jawaban itu, aku seketika tertegun. Seketika aku menatapnya, tepat di mata. Berusaha mencari-cari kebenaran di balik kalimatnya. Berusaha menebak-nebak kapan dia akan tertawa dan mengumumkan ke semua orang kata-kata seperti, "Bercanda!". Namun satu menit berlalu dan dia masih di sana, tersenyum padaku sementara semua orang di belakang terdengar seperti lautan gemuruh.

"Apa ... maksudnya?" Akhirnya, aku tidak tahan untuk tidak bertanya.

Ia terkekeh, lantas memperbaiki topi yang ia sematkan di kepalaku.

"Oke, Isa. Kita jadian."

***

Aku kabur setelahnya.

Ya, kabur. Lari meninggalkan Aksal, meninggalkan semua orang. Bersembunyi di atap seperti seorang pengecut. Aku tinggal di sana selama beberapa waktu, melewatkan dua jam mata pelajaran Bahasa Indonesia hanya untuk duduk di tepi atap. Seluruh logikaku masih tidak dapat mencerna kejadian hari ini.

Apa ... kenapa dia tidak menolakku? Dia tidak punya alasan untuk menerimaku. Sejak awal, ini hanya permainan yang bahkan tidak kurencanakan.

Mungkin ... dia sudah tahu, sejak awal, bahwa semua ini hanya lelucon bagi Veloxa. Mereka dekat. Mungkin ini lelucon juga baginya. Dan lelucon itu akan berakhir segera. Aku hanya perlu menerimanya, lalu mencoba lupa.

Ketika aku kembali ke kelas, seharusnya bel sudah lama berdentang. Tetapi aku masih dapat menemukan gerombolan siswi di koridor. Aku tidak mengerti mengapa mereka perlu pergi ke toilet berdelapan atau bersepuluh seperti itu. Bukannya mereka menggunakan satu toilet bersama-sama, kan?

Siswi-siswi itu melihat ke arahku, berbisik-bisik yang dapat kudengar langsung.

"Dia yang nembak Aksal tadi?"

"Kok bisa diterima, ya?"

"Aksal udah gila, apa?"

"Peletnya belajar dimana, coba?"

"Ngiriiii."

Aku hanya perlu menatap mereka. Datar. Dan mereka diam begitu menyadari tatapanku, satu persatu bergerak lebih cepat untuk menghilang di balik pintu toilet. Mungkin mereka akan melanjutkan gosip tentangku di dalam. Mungkin, semua orang tengah melakukannya sekarang. Aku tidak lagi peduli.

Sepanjang pelajaran, aku menyumpalkan earphone pada telinga demi menghambat suara-suara itu. Lalu menelungkupkan wajah di atas meja, bertumpu pada tas, menghadap jendela. Dengan begitu, aku tidak perlu berhadapan dengan orang-orang.

Hingga waktu kepulangan, aku membiarkan semua orang pergi satu persatu. Hingga kelas kosong, sebelum merapikan buku-bukuku sendiri dan bangkit.

Yang membuatku terkejut ketika keluar dari kelas adalah ... keberadaannya. Aksal berdiri di depan kelasku, bersandar pada dinding dengan buku di tangannya. Ia tampak hanyut dalam bacaan apapun itu.

Kuhentikan langkah di depannya, kesulitan memilih antara menegur atau melewatkannya. Dan sebelum kuambil keputusan kedua, ia menurunkan buku dan melihat ke arahku. Tidak memberiku ruang untuk pergi begitu saja.

"Hei," ia menyapa.

"Kamu ... ngapain di sini?"

Mungkin dia ada urusan dengan salah satu anak di kelas, dia ketua OSIS, pasti memiliki banyak urusan dan punya banyak kenalan. Atau dia hanya iseng dan ingin bersandar di sana. Bodoh sekali aku bertanya. Seharusnya tidak.

Tetapi alih-alih memilih salah satu jawaban yang telah kusiapkan, dia tersenyum dan dengan santainya mengatakan, "Nungguin kamu."

"... kenapa?"

"Kamu pulang naik apa? Biar saya antar."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang