Finally, we almost reach the end of the story. Yay!
***
"Itu ceweknya Aksal bukan sih?"
Aku tengah berhenti untuk mengikat tali sepatu ketika mendengar celotehan itu di belakangku, lolos melalui earphone yang sejak turun dari mobil telah kumatikan dari lagu apapun.
"Ah, yang nembak Aksal di lapangan terus diterima?"
"Bukannya itu cuma settingan, ya? Biar dia nggak malu aja. Abis itu diputusin di belakang. Ya, lo pikir aja, Aksal kan emang sebaik itu."
"Masuk akal sih. Pantes nggak pernah keliatan bareng."
"Kan?"
"Apa gue coba tembak Aksal depan umum juga, ya? Biar bisa jadian walaupun sehari doang!"
"Si Oneng! Udah putus urat malu lo?!"
Dan mereka tertawa-tawa dalam canda sembari berjalan melewatiku. Ada tiga orang, semuanya tidak kukenal, dan tidak ingin kukenal.
Kuselesaikan ikatan tali sepatuku, cepat-cepat berdiri, lalu ... menemukan Aksal di arah pukul sebelas, sama terpakunya ketika menemukanku meski ada jarak yang cukup besar di antara kami. Aku lebih dulu memutuskan kontak itu dan berbalik menjauh.
Karena jika tidak ... aku khawatir, aku akan kesulitan untuk berpaling.
Aku khawatir... aku mungkin akan berjalan menemuinya, dan meminta agar dia melupakan semua yang kuucapkan waktu itu, menganggap semuanya tidak pernah terjadi.
***
Aku pulang dengan pemandangan Bi Nur yang berlutut di ruang tengah, menunduk dalam-dalam dengan raut wajah ketakutan. Di hadapannya, berdiri Mama dan Papa. Terutama Papa, beliau tampak marah. Tampak seolah ... sebuah pertengkaran besar telah terjadi.
"Itu Isa pulang!" Mama berseru dan Papa seketika melihat ke arahku, tatapannya tajam, nyaris menciutkan.
"Isa! Kemari!" suara ayah tiriku yang biasanya lembut mengayomi, sekarang terdengar kasar dan keras.
Aku berjalan mendekat tanpa bertanya, tas masih menggantung di pundaknya. Dalam hati aku cukup penasaran, apakah seperti ini sifat aslinya? Atau dia hanya sedang marah. Jelas terlihat dia tidak cukup pandai mengatur emosi. Yah, kurasa memang tidak ada satu orangpun yang sempurna, termasuk pria yang kukagumi ini.
"Benar, kamu punya pacar?"
Pertanyaan itu diajukan Papa langsung tanpa basa-basi, menohokku di tempat.
"Papa lihat ada cowok yang jemput kamu. Kata Bi Nur, dia sering datang. Benar?" tuntut Papa lagi. Nadanya naik, menandakan emosinya kembali meluap.
Aku tidak langsung menjawab. Mataku menatap semua orang di ruangan. Bi Nur, yang tidak berani mengangkat wajah, Mama yang memegangi lengan Papa agar lebih tenang, lalu Bia. Bia yang mengintip di pojok ruangan sembari memeluk boneka besarnya. Bia yang baru tadi sore kupergoki berpelukan mesra dengan pacarnya. Ironi ini membuatku menyeringai.
Haruskah aku membongkar semuanya saja? Agar jika jatuh, aku tidak jatuh sendiri.
"ISA?!" Papa kembali membentak. Mungkin gerah dengan kediamanku. "Benar kamu pacaran?! Bukankah sudah Papa tegaskan?! Papa tidak akan menerima anak-anak Papa jatuh dalam pergaulan bebas! Kalian itu masih sekolah! Belajar aja yang benar! Bukan malah pacaran!"
Ketika aku menemukan tatapnya, Bia berpaling, ia memeluk bonekanya erat, jari-jemarinya bertaut. Kentara ... Bia yang tampak ketakutan.
Pasti akan menyenangkan untuk melihat ekspresinya ketika aku mengatakan semuanya ke Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Prince Effect [COMPLETED]
Teen FictionThey painted me as the bad guy so, the bad guy, that's what I became ... until he came [The Effects Series #2: Aksal] 15 Juli, 2022