chapter 7

7K 1.1K 69
                                    

vote, comment, share would be very appreciated <3

.

.

.

Beberapa siswi yang tengah bergosip di depan wastafel telah pergi. Tiba-tiba saja, aku tidak dapat mendengar suara mereka lagi. Aku menutup keran air dan membenarkan rokku usai membersihkan diri. Tidak ada suara selain derit pakaianku sendiri. Benar, sudah tidak ada orang lain lagi selain aku. Mungkin lonceng kepulangan telah berdentang dan semua orang ingin cepat-cepat berada di rumah.

Aku meraih gagang pintu untuk keluar. Kecuali, aku tidak berhasil keluar. Pintu itu terkunci. Dari luar.

Aku menunggu selama beberapa waktu. Tidak ada orang. Jadi pada akhirnya, aku pun buka suara.

"Ada orang?" tanyaku dengan suara dikeraskan.

Tidak ada sahutan. Jadi aku berdiri lebih rapat dari pintu itu dan berjinjit pelan. Kuharap, suaraku dapat keluar melalui rongga di atas pintu. "Ada orang?! Tolong!"

Tidak ada suara, tetapi ada jawaban. Dari rongga di atas pintu tersebut, seseorang menyiramkan seember air yang tertuang langsung ke kepalaku. Aku terkesiap dan mundur, meski terlambat karena sebagian seragam dan rambutku sudah basah.

Terdengar suara tawa dari luar dan dengan segera, pintu pun terbuka. Aku melihat wajah-wajah asing seketika. Para siswi berpulas make up tipis dengan bibir merona. Ada empat dari mereka, dan aku mengenali salah satunya.

Gadis berambut panjang tempo hari.

"Maaf, nggak sengaja," katanya sambil tersenyum. "Sekarang kita impas, ya."

Nada manis dalam suaranya terasa amat janggal. Seolah ia bukan barusaja menyiramku dengan air.

"Nama lo siapa?" tanyanya padaku sambil melangkah mendekat. "Isa, right? Anak baru. Anak pindahan dari .... SMA apa tuh, yang kucel kayak kandang ayam itu?" Ia menatap teman-temannya, tetapi mereka hanya tertawa.

"Itulah pokoknya," putusnya sembari mengangkat bahu. Ia lalu kembali tersenyum padaku. "Pokoknya, kita saling menghormati aja ya, di sini. Berhubung gue wakil OSIS, so I expect that from you."

Jemarinya yang berhias cat kuku bening dengan warna pink pucat di ujungnya bermain-main dengan kerah seragamku.

"Omong-omong, tolong diinget, gue Veloxa, senior lo."

Dan mengingatnya, kulakukan.

Gadis itu, seorang senior yang mendapat jabatan penting di sekolah. Berbicara dengan manis ketika menaiki podium untuk mendapat penghargaan di depan semua anak pada saat upacara bendera. Berbicara dengan amat santun dengan wejangan untuk anak-anak tiru. Menjadi panutan semua orang.

Dia adalah cerminan murid telanan, mandiri, populer, bersahabat.

Meski kenyataan, dia adalah semua yang bukan.

***

Kuhentikan langkahku sebelum tiba di kelas.

Aku mengenali anak laki-laki itu, atau setidaknya kupikir aku mengenalinya. Aku juga mengenali perempuan yang berdiri di hadapannya, tampak kecil karena perbedaan tinggi mereka. Dia teman sekelasku, Candy. Candy tampak tersenyum malu sambil sesekali menatap sepatu sementara laki-laki itu berbicara padanya.

"Boleh minta nomor hapenya?"

Tanpa kuminta, aku mendengar pembicaraan keduanya. Laki-laki dari ruang musik dan Candy. Candy tampak terkejut, namun senang. Sementara aku nyaris gagal menyimpan dengkusan untuk diriku sendiri.

Ini bukan masalah bagiku. Dan aku akan dengan senang hati berlalu tanpa menghakimi seandainya, aku tidak melihatnya tempo hari. Berjalan bersama Veloxa, tertawa bersamanya, tampak begitu dekat dan ... akrab.

Mustahil dia tidak mengenali sifat wanita itu.

Orang berkata, birds with the same feathers flock together, orang hanya akan berkumpul dengan orang-orang yang sama dengannya. Mungkin, dia adalah orang yang sama. Ketua OSIS hanya topengnya. Senyum yang pernah ia tawarkan itu palsu. Dia hanya terlihat baik dari luar saja.

Meski aslinya, dia mungkin bajingan busuk.

"Kita ... bisa temenan, kan?" tanyanya lagi sembari tersenyum.

Aku tidak bisa memercayai senyum itu. Aku melanjutkan langkah, dengan sengaja memotong jalan di antara mereka, dengan sengaja membuat bahuku menyenggol pria itu.

Aksal, namanya. Dan dengan alasan yang belum pasti, aku sudah tidak menyukainya.

***

Menatap sketsa wajah itu nyaris seperti kebiasaan.

Kini aku bahkan dapat memperbaikinya. Menggantikan gurat halus di wajahnya menjadi bentuk yang lebih tegas, menebalkan alisnya, mempertajam matanya, menambahkan tahi lalat kecil di pelipisnya.

Aku bahkan dapat menamainya. Pandawa.

Aku tidak tahu pasti perasaanku padanya. Yang aku tahu, dia menyelamatkanku. Dia satu-satunya orang yang peduli saat semua orang berlalu acuh. Dia yang ada di sana, saat duniaku runtuh.

Dan aku sedikit serakah. Aku penasaran apakah dia juga mengingatku sama seperti aku mengingatnya? Aku ingin dia tahu namaku, mengingatku. Aku ingin memiliki senyumannya untuk diriku sendiri....

Tanganku tersapu di wajahnya. Rambutnya, aku harus mengganti rambutnya dengan gayanya yang sekarang. Dan apakah dia juga memiliki tahi lalat di leher? Aku tidak begitu yakin─

Lamunanku terputus akibat pintu yang didorong terbuka. Wajah bulat Bia melongok dari sana dengan cengirannya..

"Kak Isa?" panggilnya, setengah berbisik.

Dengan gegas aku menyelipkan sketsa itu di antara halaman tebal buku Matematika di hadapanku dan berpaling padanya, masih sambil duduk di kursiku dengan kesal. Aku tidak pernah menyukai anak itu, dan dia yang menerobos ranah pribadiku membuatku semakin tidak menyukainya.

"Ketuk pintu, bisa?"

Ia meringis. "Maaf, lupa."

Aku memutar bolamata. Namun meski begitu, ia belum pergi juga.

"Kak Isa! Kak Isa!" panggilnya lagi. Kali ini, ia langsung masuk tanpa bertanya. "Lagi sibuk apa?"

Aku menatapnya datar, melirik meja yang penuh tumpukan buku sekilas, lalu kembali padanya. Semua itu menjelaskan. Bodoh jika dia masih tidak mengerti.

"Oh, lagi belajar," simpulnya sembari mengangguk-angguk. "Kak, Bia ganggu nggak?"

Sangat! Namun aku memilih tidak bersuara.

Ia duduk di kasurku, lantas meraih bantalku untuk didekap di pangkuan. Semua dilakukan tanpa permisi. Pilihanku adalah untuk mengabaikannya. Jadi aku membuka halaman yang kupelajari sebelumnya dan meraih pensil.

"Kak, Kak Isa punya pacar, nggak?"

Pertanyaannya begitu tiba-tiba hingga jariku berhenti menulis. Aku menunggu Bia mengucapkan penjelasannya atas pertanyaan itu, tetapi tidak kunjung dilakukan.

"Kenapa?" Akhirnya, aku bertanya.

Dia terkekeh. "Habisnya Kak Isa cantik banget! Pasti banyak yang naksir, deh! Mau Bia kenalin, nggak? Bia kenal beberapa kakel yang cakep!"

Cantik? Setengah mati aku untuk tidak tertawa. Aku tidak tahu apakah dia sedang memuji atau mengolok. Keduanya terdengar sama saja.

"Tapi, Kak Isa janji untuk nggak bilang-bilang Papa, ya? Papa tuh kolot banget! Nyeremin juga kalau marah!"

"Janji... apa?" Aku menatapnya.

Bia balas menatapku, ada kilat jahil di mataku. Dan aku punya firasat, ia akan menjerumuskanku dalam satu persekongkolan rahasianya. Atau semacam itu.

"... Bia punya pacar!" bisiknya bersemangat. "Ganteng, baik, jago main musik juga. Anak The Effects."

Prince Effect [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang